Oleh karena itu, melalui lembaga adat atau kedamangan yang ada di Seruyan, masyarakat setempat meminta Gubernur Kalimantan Tengah (Kalteng) Agustin Teras Narang untuk dapat mengambil keputusan dalam rangka menyelesaikan sengketa lahan perkebunan kelapa sawit di daerah itu.
Menurutnya, masyarakat merasa sangat dirugikan, sehingga meminta hak-hak adat yang seharusnya dimiliki harus dikembalikan oleh perusahaan. Salah satunya adalah ketersediaan lahan plasma untuk masyarakat oleh perusahaan sebagai kompensasi hilangnya lokasi mata pencaharian mereka. "Kami masyarakat adat di Seruyan hanya meminta perusahaan memenuhi kewajibannya sesuai yang diatur Undang-undang, yakni memberikan lahan plasma perkebunan sawit," ucapnya.
Sekretaris Damang Kecamatan Hanau dan Danau Seluluk, Suryadi menyatakan, awal dari permasalahan sengketa perkebunan ini adalah ketika perusahaan tersebut menanam pohon kelapa sawit melebihi dari batas perizinan yang dimiliki. Pihaknya sudah melakukan pengukuran ulang melalui ahli GPS yang juga ikut didampingi dari pegawai perusahaan untuk membuat peta perkebunan tersebut sesuai izin. Hasilnya kedua perusahaan itu menanam melebihi lahan perizinan yang dimiliki dengan total luasan 3.339 hektar. "Masyarakat disana merasa dirugikan oleh perusahaan, sebab kawasan hutan yang merupakan lokasi mata pencaharian warga setempat telah diambil alih oleh perusahaan perkebunan tersebut. Sehingga wajar masyarakat meminta lembaga adat untuk memfasilitasi masalah ini,".
Suryadi menilai, perusahaan perkebunan yang beroperasional di Seruyan tidak menjunjung tinggi hukum adat yang berlaku di Kalteng. Buktinya, kewajiban perusahaan memberikan lahan plasma tidak ada, bahkan melakukan penanaman pohon melebihi lokasi perizinan yang seharusnya itu adalah milik masyarakat.
Pihak perusahaan sudah sering dipanggil untuk melakukan musyawarah mufakat dengan masyarakat, namun tidak mendapat tanggapan serius. Oleh sebab itu pihaknya, melakukan sidang adat yang keputusan di dalamnya menyerahkan hasil akhir kepada Gubernur Kalteng Agustin Teras Narang untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. "Perusahaan sebetulnya sudah melanggar aturan, yang pertama tidak mengeluarkan lahan plasma, kedua menanam melebihi lokasi perizinan,".
Kemudian aturan yang paling jelas dilanggar oleh perusahaan tersebut adalah Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, pada pasal 50 ayat 3 yang bunyinya, setiap orang dilarang merusak kawasan hutan dengan radius tertentu yang berdekatan dengan sungai, danau, tepi anak sungai, rawa, dan mata air.
PT Musirawas Citraharpindo dan PT Sumur Pandanwangi tidak mematuhi aturan tersebut, bahkan pohon sawit ditanam sampai tepi pinggiran sungai. Masyarakat di sana sudah cukup menderita akibat lokasi mata pencaharian mereka hilang akibat ulah perusahaan. "Oleh karena itu, kami memperjuangkan hak-hak masyarakat adat yang ada di Seruyan. Gubernur Kalteng telah mengeluarkan berbagai macam Peraturan Daerah dan Peraturan Gubernur yang menjunjung tinggi hak-hak adat, apabila itu tidak dilaksanakan maka hukum ada artinya sudah tidak berlaku lagi,".
Terkait dengan kepedulian Pemerintah Kabupaten Seruyan terhadap masalah tersebut, mereka sangat kecewa karena keinginan masyarakat tidak mendapatkan respon. Bahkan terkesan pemerintah lebih mendukung perusahaan dibandingkan dengan masyarakat setempat. (ANTARA)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar