PALANGKA RAYA Sabtu, 09 Februari 2013, Bupati Kotawaringin Timur (Kotim) Supian Hadi diberi waktu dua pekan oleh Gubernur Kalteng Agustin Teras Narang untuk menyelesaikan sengketa lahan antara warga Desa Tangar dengan anak perusahaan PT Wilmar Group di wilayahnya. Jika tak bisa diselesaikan dalam batas waktu tersebut, Diran meminta bupati untuk melapor ke Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kalteng agar kasus tersebut ditangani Pemprov. Instruksi yang sama juga berlaku untuk bupati/walikota lainnya di Kalteng.
“Pak Gubernur tegas, saat ini surat edaran sudah ada di tangan saya, dan beliau menugaskan saya untuk menandatangani surat itu. Melalui Surat Edaran Gubernur, maka para bupati/wali kota hanya diberikan waktu dua minggu untuk menyelesaikan persoalan tersebut (sengketa lahan),” kata Wakil Gubernur Achmad Diran.
Sekadar diketahui, keluarnya instruksi ini bermula ketika sejumlah masyarakat yang mengaku dari Desa Tangar Kotim, terpaksa mengadu ke Pemprov Kalteng pada 28 Januari 2013 lalu karena sengketa lahan antara warga dengan perusahaan perkebunan sawit yang terjadi bertahun-tahun tak kunjung selesai ditangani Pemkab Kotim. Warga berharap ada keadilan dari pemerintah untuk mengembalikan hak-haknya yang dirampas.
Permasalahan sengketa lahan antara warga dengan salah satu anak perusahaan perkebunan Wilmar Group tersebut mendapat ditanggapi serius Wakil Gubernur Achmad Diran. Bahkan, Diran menegaskan akan memanggil manajemen perusahaan dan melakukan pertemuan dengan warga Tangar. Namun, kedatangan Diran tersebut batal karena Gubernur meminta kasus itu harus ditangani bupati dan menjadi tanggung jawabnya selaku kepala daerah di wilayah itu.
Diran menegaskan, apabila dalam waktu dua pekan ternyata Bupati Kotim serta kepala daerah lainnya tetap tidak mampu menyelesaikan sengketa lahan yang terjadi di wilayahnya, maka para kepala daerah tersebut diminta segera melapor ke provinsi, agar pemprov bisa turun tangan menyelesaikan masalah tersebut.
Namun, jika itu terjadi, hal tersebut memperlihatkan ketidakmampuan seorang kepala daerah menyelesaikan masalah di wilayahnya. Kualitas sebagai seorang pemimpin patut dipertanyakan dan sanksinya berupa sanksi sosial dari masyarakat.
“Seharusnya, kalau ada perosalan antara pihak perusahaan dengan masyarakat, maka pemerintah setempat harus menjembatinnya dan bupati harus merundingkannya. Begitu juga kalau bupati sudah angkat tangan dan secara tertulis menyatakan tidak mampu, lalu melimpahkanya ke provinsi, maka provinsi yang akan langsung menanganinya dengan cara membentuk tim,” jelasnya.
Diran menegaskan, untuk melayani rakyat dan menyelesaikan semua persoalan rakyat, porsinya sudah jelas, misalnya, pada tataran pemerintah pusat ada presiden, provinsi ada gubernur, dan jika di kabupaten/kota ada bupati/wali kota. Sehingga ketika ada persoalan yang membelit masyarakat di kabupaten, maka penyelesainya terlebih dahulu dilakukan di tingkat kabupaten/kota yang bertanggung jawab.
“Provinsi baru bisa membantu menyelesaikan persoalan itu jika kabupaten/kota sudah tidak mampu menyelesaikannya dalam bentuk surat tertulis. Selain itu, sesuai dengan surat Gubernur Kalteng termasuk dari pemerintah pusat, kejadian sengketa lahan yang melibatkan masyarakat dengan investor yang ada di daerah harus diselesaikan bupati/wali kota setempat, karena para kepala daerah itulah yang memberi izin kepada investor untuk beroperasi di wilayahnya,” tegasnya.
Kepala Dinas Perkebunan Kalteng Rawing Rambang menuturkan, apabila terjadi ganguan usaha perkebunan antara perusahaan perkebunan dengan masyarakat, harusnya masalah itu diselesaikan di tingkat kabupaten terlebih dulu melalui musyawarah dan mufakat. Namun, apabila perusahaan tetap membandel, merupakan hak kabupaten untuk mengevaluasi izin yang perusahaan tersebut dan memberi sanksi.
”Kalau perusahaan dinilai tidak mau menyelesaikan persoalan tersebut baik-baik, ya tinggal kabupaten saja mengenai izinnya bagaimana, sesuai dengan ketentuan yang berlaku,” tegasnya.
Rawing juga meminta kepada para investor agar dalam melaksanakan kegiatan dapat melibatkan masyarakat sekitar dengan pola kemitraan. Dengan cara itu, masyarakat benar-benar dapat merasakan dampak postif dari pembangunan perkebunan kelapa sawit di wilayahnya. Menurutnya, sengketa lahan yang kerap terjadi selama ini sebagian besar diakibatkan kurangnya komunikasi dan interaksi antara perusahaan dengan masyarakat sekitar.
“Karena itu, pihak perusahaan jangan sampai menutup jalur komunikasinya dengan masyarakat. Begitu juga masyarakat, dalam menyelesaikan setiap persoalan yang terjadi dengan para investor, diharapkan yang mewakili masyarakat adalah benar-benar tokoh masyarakat setempat yang bisa dipercaya dan berjuang murni demi keperluan masyarakat, seperti kepala desa dan tokoh adat,” tandasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar