PALANGKA RAYA - Pemerintah di tingkat provinsi maupun kabupaten yang menangani penyelesaian sengketa lahan di Bumi Tambun Bungai terus menuai kritik. Para pengambil kebijakan publik ini dituntut dapat bersikap tegas dan berani mengedepankan kepentingan masyarakat. Misalnya sengketa lahan di Kotawaringin Timur (Kotim) dan Kasongan, Presiden Majelis Adat Dayak Nasional (MADN), Agustin Teras Narang, dituntut terlibat secara langsung menyelesaikan permasalahan. "Kotim dan Kasongan harus libatkan presiden MADN, karena disana ada sengketa lahan," kata Ketua Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Fokus Kalteng, Zakaria Agan kepada kalteng Pos, Sabtu 29/1) lalu.
Sedangkan sengketa lahan yang terjadi di Kabupaten Kapuas dan Kabupaten Gunung Mas, Zakaria mengatakan untuk melibatkan presiden MADN, Bupati yang tidak lain adalah Ketua Dewan Adat Dayak (DAD). "Sengketa lahan di Kapuas dan Gunung Mas, wajib libatkan MADN dan Bupati (Ketua DAD)," ujarnya. Ditambahkan dia, dalam Pergub nomor 13/2009 tentang tanah adat dan hak-hak adat di atas tanah di Kalteng Pasal 7 Gubernur dan Bupati/Wali Kota merupakan pengayom bagi masyarakat adat Dayak. Menurut dia, para pihak terkait harus mempunyai hubungan konsultatif dan pembinaan terhadap perkembangan kelembagaan dan hukum adat Kalteng. "Ada dua kabupaten yang tidak memiliki izin pembukaan lahan (IPL). Perusahaan tersebut yakni PT Dwie Warna Karya (DWK) dan PT Agro Lestari Sentosa (ALS). Kedua perusahaan tersebut tidak punya izin pembukaan lahan, namun sudah panen sawit yang ditanamnya di atas tanah adat (tanah hak masyarakat)," ungkapnya. Sehingga, kata dia, keduanya tidak menghormati adat istiadat setempat, yakni Kecamatan Kapuas Hulu dan Kecamatan di Gunung Mas. Pihaknya sudah melakukan pelaporan dan pengajuan kasus tersebut ke Pengadilan Negeri (PN) Palangka Raya. Zakaria menyayangkan ketetapan hakim, karena tidak dimediasi oleh presiden MADN. "Memang sudah diajukan ke Pengadilan Negeri Palangka Raya, seharusnya saat mediasi oleh MADN, namun tidak, dan hakim menetapkannya," ujarnya. Secara terpisah Presiden Eksekutif Wahana Lingkungan (Walhi) Kalteng Arie Rompas melalui pres rilis ke redaksi Kalteng Pos menegaskan, Pemprov Kalteng seharusnya melibatkan semua pihak dalam pembentukan tim terpadu penyelesaian sengketa lahan di Kalteng. Dengan begitu, lanjut dia, hal ini diharapkan dapat memenuhi rasa keadilan bagi setiap warga yang terancam dan sedang dirampas hak atas tanahnya oleh perusahaan sawit dan pertambangan di Kalteng. Disampaikannya, persoalan konflik agaria dan SDA ini adalah dampak yang tak terhindarkan dari kebijakan pemerintah yang membuka lebar-lebar pintu bagi investasi,namun tidak melindungi akses dan hak kelola warga atas tanah. Menurut Arie Rompas, hal ini harus diantisipasi untuk mencegah peningkatan konflik agraria di Kalteng yang akan meningkat seiring dengan meninggkatnya investasi, dan pengusahaan lahan di Kalteng oleh kebijakan pemerintah.
Ditandaskannya pula, kebijakan tersebut adalah penerbitan izin untuk Hak Pengusahaan Hutan (HPH) atau Hutan Tanaman Industri (HTI), pertambangan dan perkebuan sawit dan izin konsesi restorasi ekosistem dengan skema REDD dan Taman Nasional yang membatasi akses dan merampas tanah-tanh dan ruang hidup rakyat. Dia menyatakan, segala upaya yang dilakukan Pemprov harus menyentuh pada subtansi dasar yaitu dengan melakukan Pembaruan Agraria. "Pemerintah dituntut untuk melakukan penataan ulang atau restrukturisasi pemilikan, pengusahaan, dan penggunaan sumber-sumber agraria, untuk kepentingan petani, buruh tani, perempuan dan golongan ekonomi lemah," tukas Arie Rompas. Dia menjelaskan, Walhi mendasarkannya pada Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) 1966. Hal itu, disampaikannya, untuk melindungai dan menjamin tanah-tanah warga dari ancaman perampasan dan pengusuran yang dilakukan oleh perusahaan pemerintah. "Kita dari Walhi menuntut Pemprov harus dapat memastikan tanah-tanah komunal dan adat dengan mengoptimalkan kebijakan Peraturan Gubernur (Pergub) nomor 13 tahun 2009 tentang tanah adat di Kalteng," ujar Arie Rompas. Lebih jauh Arie Rompas mengungkapkan, sepanjang 2011, Walhi Kalteng mencatat ada 20 warga yang telah dikriminalisasi termasuk 12 orang warga yang di tahan oleh Polres Seruyan atas konflik tanah dengan PT WSSL di Kecamatan Hanau. Selain itu, kata dia, Walhi juga mencatat ada 30 kasus konflik agraria yang dilaporkan dan sedang bersentuhan dengan advokasi Walhi Kalteng yang belum terselesaikan oleh pemerintah hingga saat ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar