PT.
Mustika Sembuluh, Tidak Ada Kata 20% Untuk Masyarakat Pondok Damar
Palangkaraya - Kesadaran
para Investor rupanya belum memihak kepada masyarakat yang berada di kawasan
konsesi perkebunan Wilmar di Kalimantan Tengah. Tercatat 20.515 Ha areal
perkebunan yang beroperasi di Bumi Tambun Bungai ini, namun hanya 128 Ha saja areal perkebunan rakyat atau
plasma yang sudah terbangun. Jika ditelisik lebih dalam bukan pemilik
Perkebunan Besar Swasta (PBS) yang memiliki kebun Plasma melainkan beberapa
koperasi, kelompok tani dan bukan milik Perusahaan Kelapa sawit yang di- miliki
oleh Investor asing.
Menurut
Direktur Save Our Borneo, Nordin, mengatakan di sela-sela kegiatannya
berkunjung langsung ke Desa Pondok Damar dengan beberapa orang Journalis asing
mengungkapkan “PT. Mustika Sembuluh yang beroperasi di desa Pondok Damar
memiliki luasan perkebunan yang cukup luas yaitu 17,500 Ha, yang dikeluarkan oleh Bupati Kotim, namun kebun plasmanya hanya 182 Ha dari rencana 250
Ha, namun karena tidak ada lahan lagi yang
bisa disediakan masyarkat, karena masuk
dalam wilayah desa lain, maka hanya ada 182 Ha yang bisa di realisasikan kepada
masyarakat”.
Sedangkan
menurut pengakuan Mingadi, Ketua Kelompok Tani Plasma Desa Pondok Damar, “kami sampai
saat ini hanya baru menerima dana talangan sebesar 125.000/ ha. Sedangkan bagi
hasil panen belum ada kejelasan perhitungannya dan mereka tidak tahu Jumlah
kredit plasma yang mendera mereka dibagian lain, saat ini sudah tahun ke-6 jalan tahun ke-7 belum jelas juga pembayaran
kreditnya dan pihak perusahaa Wilmar/ Mustika Sembuluh belum menjelaskan apapun
alasan terkait permsalahan tersebut”. Ucuapnya.
Terungkap
beberapa fakta yang menyatakan bahwa para pemodal asing yang berinvestasi di
kalteng hanya meraup keuntungan pribadi di bandingkan dengan melakukan
pemberdayaan bagi masyarakat yang tinggal di sekitar perkebunan tersebut.
Wilmar saja contohnya dari sekian ribu hectare luasan perkebunannya hanya ada
beberapa ratus hectare saja yang menjadi kebun plasma di wilayah Kabupaten
Kotim itupun masyarakat harus menerima hasil tak sesuai.
Kewajiban
perusahaan untuk menyediakan plasma ini, sudah diatur dalam Peraturan Daerah
(Perda) Nomor 5 tahun 2011 tentang pengelolaan usaha perkebunan perkelanjutan
di Kalteng. Dalam peraturan tersebut perusahaan perkebunan yang beroperasi di
wilayah Kalteng untuk menyediakan perkebunan rakyat. Jika dilihat dari lamannya
Perda tersebut, maka perusahaan perkebunan kelapa sawit wajib menyediakan
perkebunan plasma bagi rakyat.
Direktur
Save Our Borneo, Nordin, menegaskan bahwa ada beberapa point dari Kemitraan
Perkebunan Kelapa Sawit/ sekilas Plasma dan ini juga di terapkan oleh
perusahaan besar seperti Wilmar, dengan banyak sekali anak perusahaannya, sebut
saja salah satunya adalah PT. Mustika Sembuluh (MS) yang beoperasi di Desa
Pondok Damar, Kabupaten Kotim.
1.
Tanah /lahan untuk kebun plasma adalah tanah/lahan yang berasal dari tanah
warga, bukan tanah/lahan dari konsesi Perkebunan Inti yang disisihkan sejumlah
tertentu untuk menjadi lahan plasma/kemitraan. Perusahaan tidak akan mau
mengurangi areal konsesinya untuk dijadikan kebun plasma.
2.
Setelah memastikan bahwa lahan/tanah masyarakat diserahkan untuk kebun
plasma/kemitraan, perkebunan inti juga selalu menekankan agar lahan tidak ada
permasalahan apapun, bila ada masalah sata itu atau kemudian hari, maka menjadi
tanggungjwab warga atau koperasi warga. Perkebunan inti maunya enak sendiri,
lepas tangan dalam hal penyelesaian masalah sengketa diareal plasma.
3.
Ketika lahan/tanah telah diserahkan kepada perkebunan inti, untuk dikelola,
maka lahan tersebut kemudian tidak dapat dialihkan kepada pihak lain tanpa
persetujuan inti. Meskipun kredit plasma telah lunas.
4.
Perkebunan inti menyuruh plasma/kelompok mengurus ijin dan lain-lainnya dengan
menyediakan dana talangan yang kemudian dianggap utang plasma. Dana talangan
ini akan dimasukan sebagai utang plasma, meskipun alokasi penggunaannya tidak
terlalu jelas, bahkan bias saja digunakan juga untuk praktik sogok, suap dan
intertainment kepada pejabat yang berhubungan dengan izin.
5.
Perkebunan inti mewajibkan plasma menjual hasil panen [Tandan Buah Segar]
kepada kebun inti bahkan sampai setelah selesainya kredit plasma, yaitu sampai
satu siklus tanam +/- 25 tahun.
6.
Praktik seacara tidak transfaran mengenai harga dan tonase TBS yang diserahkan
kepada pabrik dari perkebunan inti, kemudian dikatakan sebagai harga patokan
pemerintah atau harga pasar.
7.
Ikut campur menyeleksi anggota kelompok, bahkan tidak jarang management inti
memasukan orang-orang yang menjadi koleganya, atau karyawannya atau bahkan top
manajemen dari perkebunan inti sebagai peserta plasma, untuk mengamankan
usahanya dan menguasai koperasi, baik itu pejabat ataupun lainnya.
8.
Tidak transfaran dalam pengajuan dan pembayaran kredit ke bank. Kelompok plasma
hanya disodorkan hasil akhir yang tidak pernah dilaporkan secara terbuka.
Selain itu ada biaya-biaya yang seharusnya sudah ter-cover dari kredit yang
diajukan ke bank masih dianggap sebagai biaya yang dikeluarkan oleh inti,
sehingga inti memotong hasil panen lagi [selain biaya untuk pelunasan kredit],
yaitu biaya operasional, biaya investasi, biaya sarana dan prasarana dan juga
biaya siluman berupa management fee.
9.
Setelah “dipaksa” menjual TBS kepada Pabrik kelapa sawit milik perkebunan inti,
plasma masih harus juga menyetor / dipotong biaya sebesar 5% sebagai management
fee dari hasil panen TBS.
10.
berdalihPerkebunan inti memberikan bantuan untuk institusional building
koperasi atau kelompok warga, tetapi dimasukan sebagai utang, yang mana
jumlahnya juga tidak diketahui oleh koperasi/kelompok, sampai saatnya hutang
koperasi/kelompok membengkak.
11.
Sarana dan prasarana dalam dan dibangun untuk plasma [misalnya gudang, pondok
karyawan plasma, saprodi dan lain-lain] dikuasi sepenuhnya oleh perusahaan
inti, sementara biaya pembangunan sarana prasarana itu sebenarnya telah
dibebankan / diambil dari biaya plasma dari hasil kredit bank dan bukan milik
perkebunan inti.
12.
Sertifikasi lahan plasma, termasuk skema pelunasaan dan kredit dengan agunan
sertifikat plasma tidak dijelaskan dan seolah telah diserahkan sepenuhnya
kepada inti, jika inti melakukan praktik “ngemplang” utang kepada bank, maka
sertifikat plasma akan disandera bank seumur hidup dan anggota plasma akan
gigit jari selamanya.
13.
Perusahaan inti juga meminta secara memaksa dalam perjanjian untuk melakukan
pemotongan didepan terhadap dana yang dikucurkan kredit dari bank sebesar 5 %
dengan alasan biaya yang tidak jelas, yaitu biaya yang disebut inti sebagai
“overhead”.
14.
Inti selalu berusaha membodohi dan menjerat plasma dengan pasal perjanjian
harus jual ke inti selama satu siklus tanam, padahal seharusnya ketika plasma
telah melunasi kreditnya, maka keduanya akan menjadi para pihak yang bebas dan
perjanjian harus ditinjau ulang.
15.
Besarnya kredit tidak diketahui oleh pihak koperasi/kelompok plasma dan dan
cicilan kredit tidak juga diketahui oleh koperasi plasma dimana pihak inti
[sebagai avails] tidak melaporkan secara transparan berkala kepada koperasi
plasma dan tidak ada ruang untuk koperasi melakukan audit.
16.
Perjanjian yang dibuat inti diajukan untuk mengikat selama 1 siklus tanam
bahkan sampai batas waktu yang tidak terbatas, hrsnya hanya sampai ketika
kredit lunas, maka perjanjian harus diperbaharui, dan bila tidak terjadi
kesepakatan baru nantinya, masing-masing pihak sudah bebas dan mandiri serta
perikatan awal dinyatakan selesai.
Perda Tidak Memihak
Kepada Rakyat
Sementara
itu, Peraturan Daerah (Perda) Kalteng Nomor 5 tahun 2011 tentang Pengelolaan
Usaha Perkebunan Berkelanjutan langsung menuai reaksi. Pasalnya, perda tersebut
dinilai belum sepenuhnya berpihak pada rakyat.
Perda
tersebut dinilai masih menguntungkan para pengusaha dan merugikan rakyat.
Karena itu, Gubernur Kalteng Agustin Teras Narang didesak harus meninjau
kembali Perda tersebut.
Direktur
Save Our Borneo (SOB) Nordin mengungkapkan hal itu. “Dari paparan dan dokumen
cetak perda tersebut yang sudah final, terdapat ayat-ayat dalam pasal 18 Perda tersebut
yang jelas-jelas sangat merugikan rakyat dan sangat menguntungkan investor
perkebunan sawit,” katanya.
Ayat
dimaksud tercantum dalam ayat (4) yang menyebutkan, bagi perusahaan perkebunan
yang kebunnya telah terbangun tetapi belum melakukan pembangunan kebun bagi
masyarakat sekitarnya, secara bertahap segera membangun kebun bagi masyarakat,
dengan batasan waktu paling lambat 2 tahun sejak berlakunya Peraturan Daerah
ini. Serta ayat (5), lahan untuk pembangunan kebun masyarakat sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) dapat berasal dari lahan masyarakat sendiri, atau lahan
lain yang jelas status kepemilikannya.
Menurut
Nordin, yang jadi masalah adalah ayat 4, dimana sebenarnya yang menjadi
tuntutan warga selama ini adalah lahan untuk pembangunan kebun masyarakat
seharusnya berasal dari HGU (Hak Guna Usaha) perusahaan yang disisihkan untuk
masyarakat seluas 20% dari luas HGU yang dimiliki perusahaan.
“Jika
ketentuannya adalah seperti ayat 5, dimana Lahan untuk pembangunan kebun
masyarakat berasal dari lahan masyarakat sendiri, maka akan terjadi beberapa
hal, diantaranya, lahan untuk diversifikasi usaha masyarakat guna keperluan
pertanian dan lainnya akan habis tergerus untuk sawit semuanya, sehingga akan
lebih menampakan situasi monokultur yang sangat tidak ramah lingkungan.
Akibatnya, investor kelapa sawit raksasa dapat mencari kambing hitam untuk
menyalahkan rakyat sebagai pelaku kerusakan lingkungan,”
Kemudian,
lanjut Nordin, ketahanan pangan dan kemampuan produksi pangan masyarakat secara
mandiri ditingkat lokal akan hancur, karena alat produksinya hilang bersamaan
dengan sawitisasi massif yang disokong kebijakan perda. Masyarakt tidak bisa
lagi berladang, berkebun, berburu, atau lainya karena seluruh lahannya akan dan
hanya menjadi kebun sawit, sementara PBS tidak sejengkalpun terusik karena
mereka tidak diwajibkan menyerahkan 20% lahan HGU mereka untuk rakyat.
Akibat
dari beberapa hal tersebut, tegas Nordin, akan muncul sengketa horizontal antar
warga yang saling mengklaim lahan. Selain itu, akan memunculkan bisnis SKT
tanah oleh makelar tanah. dan ini akan sangat berbahaya dalam jangka panjang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar