PALANGKA RAYA - Berdasarkan hasil Operasi Penertiban Pengamanan Hutan Terpadu (OPPHT) Dinas Kehutanan Provinsi Kalteng, ditemukan ratusan izin yang tumpang tindih di Kabupaten Barito Timur (Bartim).
Masalah lainnya, ratusan perusahaan tambang juga belum mengantongi Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) dari Menteri Kehutanan, Izin Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal), Izin Pembukaan Jalan, dan Izin Pemanfaatan Kayu (IPK). Dari 132 Izin Usaha Pertambangan (IUP), hanya 3 perusahaan yang memiliki IPPKH, yakni PT Bumi Nusantara Jaya Mandiri, PT Batubara Bandung, dan PT Senamas Energindo Mining.
Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Kalteng Sipet Hermanto mengatakan, pihaknya segera melakukan audit dan complain terhadap perizinan yang tumpang tindih itu melalui UNDP. Selain itu, Pemprov melalui Dinas Kehutanan Kalteng juga akan melakukan evaluasi menyeluruh terhadap 132 perizinan tersebut.
“Hasilnya akan dilaporkan langsung kepada Gubernur Kalteng. Surat rekomendasi dari Gubernur selanjutnya akan disampaikan kepada kepala daerah untuk ditindaklanjuti,” kata Sipet di Palangka Raya, Selasa (16/10).
Pada prinsipnya, Lanjut Sipet, masalah perizinan ini dapat disikapi secara teknis dengan adanya koordinasi yang baik. Gunung es dari tumpang tindihnya izin dan sebagainya, terletak pada koordinasi yang terarah dan konsisten.
“Memang benar ada areal perkebunan kelapa sawit yang telah memiliki IPPKH, tetapi di dalamnya ada juga izin tambang yang diterbitkan Bupati. Ini nanti akan kita evaluasi secara terpadu. Selanjutnya akan ada rekomendasi dari Pemprov, kita imbau agar perusahaan-perusahaan tersebut secepatnya menyikapi persoalan dimaksud,” kata Sipet.
Dalam mengeluarkan perizinan, kepala daerah tentunya melihat dari berbagai sisi aturan dan ketentuan berlaku. Aturan mana yang dipakai dalam penerbitan perizinan, nantinya akan disikapi secara benar. Operasi terpadu ini akan terus dilakukan secara berkala. Sipet meminta agar perusahaan perkebunan, pertambangan, dan lainnya segera menyelesaikan perizinan lebih dulu sebelum beroperasi.
“Kalau memang harus dicabut, tentu kita melihat berbagai aspek, supaya tidak merugikan iklim investasi di daerah,” katanya.
Hasil tim operasi berkala ini juga akan dikoordinasikan dengan bidang yang berkompeten. Operasi yang difokuskan pada penggunaan kawasan bagi kegiatan pertambangan ini menilai, penerimaan Negara dari ratusan perusahaan pada pembukaan lahan (nilai kayu dan atau tegakan pohon), tidak optimal.
Dijelaskan Sipet, berdasarkan hasil pemeriksaan sampel secara uji petik pada 3 perusahaan batu bara, yaitu PT Kike, PT Karya Gemilang Limpah Rejeki (KGLR), dan PT Senamas Energindo Mineral (SEM). Diketahui bahwa PT Kike berada pada areal perkebunan kelapa sawit PT Ketapang Subur Lestari (KSL), yang telah mendapat IPPKH dari Menteri Kehutanan No.SK.9/Menhut-II/2012 tentang Pelepasan Kawasan Hutan Produksi yang Dapat Dikonservasi.
Areal tambang PT Kike ada dalam areal penggunaan lainnya (APL), belum memiliki izin pemanfaatan kayu, terkait pembukaan lahan seluas 60 hektare untuk produksi pertambangan. PT Kike belum memiliki izin Amdal untuk kegiatan produksi/eksploitasi.
Sedangkan areal PT KGLR berada di kawasan hak guna usaha (HGU) PT Polymers Kalimantan Plantation, yang telah mendapatkan IPPKH sesuai Keputusan Menteri Kehutanan No.SK.407/Kpts-II/1994. PT KGLR juga belum ada IPK, izin Amdal, dan belum ada IPK terhadap pembukaan lahan.
Menyikapi perihal tersebut, tokoh pemuda Bartim, Amonius secara tegas mendesak agar pemerintah bersikap tegas terhadap perusahaan-perusahaan nakal. Hal ini secara jelas sangat merugikan masyarakat Bartim dan investor yang benar-benar bekerja untuk kepentingan daerah.
Dampak dari tumpang tindih dan ilegalnya perizinan cukup memberatkan. Apalagi kebutuhan batubara untuk mesin PLTU di Bartim sangat besar tapi sampai saat ini tidak terakomodir dengan baik.
“Kami sudah menghadap Kementerian Kehutanan, dari 60 IPPKH yang diajukan, tidak satupun yang disetujui. Sampai tahun 2012 ini, belum ada IPPKH yang terbit,” kata Amonius.
Tapi apa yang terjadi saat ini adalah seluruh perizinan belum keluar tapi areal pertambangan itu sudah digarap oleh para investor. Di Bartim ada 9 perusahaan tambang yang telah beroperasi, tapi hanya 3 yang memiliki izin lengkap sesuai prosedur.
“Harusnya bila tidak ada kegiatan selama 2 tahun, Kuasa Pertambangan (KP) itu dicabut. Izin yang tumpang tindih harus segera dituntaskan tanpa embel-embel apapun. Bupati Bartim seharusnya segera mencabut izin yang tumpang tindih. Jangan asal mengeluarkan izin saja,” kata Amonius.
Pasalnya, perusahaan-perusahaan tersebut tidak ada izin penggunaan jalan pemerintah, izin pembuatan jalan angkutan, izin pelabuhan batubara, dan izin amdal. Harusnya perusahaan tambang ini memperhatikan proses perizinan dan prosedur tetap sebelum melakukan penambangan lagi.
Diungkapkan untuk tahun ini saja, PT Senamas sudah menjual lebih dari 500.000 metrik ton batubara. Retribusi jalan yang dikelola Asosiasi Penambang Batubara tidak jelas hasilnya untuk daerah. PLTU yang akan dibangun itu hanya tameng untuk mengeruk batu bara di Bartim.
“Belum selesai mesin uap itu beroperasi, batubara sudah dibawa keluar dan tidak ada reklamasi secara prosedural,” pungkas Amonius.
Sekadar diketahui masalah pertambangan nasional, saat ini terdapat 5.806 izin usaha pertambangan (IUP) Indonesia yang belum mendapat status Clean and Clear (CNC). Saat ini, IUP eksplorasi batu bara yang tercatat lulus CNC mencapai 1.128.
Sekretaris Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara (Ditjen Minerba) Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Harya Aditya Warman mengatakan, dalam skala nasional saat ini sudah ada 4.834 IUP yang menyandang status CNC. Namun, angka tersebut masih lebih rendah dibanding izin yang belum CNC yaitu sebanyak 5.806 IUP.
"Izin eksplorasi mineral yang sudah CNC mencapai 1.163 izin dan yang sudah produksi sebanyak 1.754 izin. Sedangkan yang belum CNC, izin eksplorasi mencapai 1.732 izin dan yang sudah produksi sebanyak 2.180," kata Harya, di Kantornya, Jakarta, Selasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar