Oleh :
Gwirman (ucuy)
Pembangunan
hakekatnya merupakan upaya sadar dan terencana yang diarahkan dengan tujuan
’mulia” yakni meningkatkan kapasitas dan kualitas tatanan kehidupan sosial yang
lebih baik dengan sasaran akhirnya untuk memberikan kemakmuran dan
kesejahteraan bagi rakyat. Wilayah yang memiliki potensi untuk memberikan
kesejahteraan tersebut meliputi segala kekayaan yang ada diperut bumi ini,
yakni berupa hutan-tanah-air-beserta isinya.
Namun
demikian, sadarkah kita kalau ”rayuan” kesejahteraan atas nama pembangunan itu
seringkali malah jauh dari harapan? Kebijakan pembukaan kawasan hutan skala
besar melalui perkebunan monokultur (sawit) boleh menjadi bukti betapa
kebijakan pembangunan disektor ini telah memberikan sejumlah dampak yang tidak
menguntungkan bagi masa depan lingkungan, maupun terhadap kondisi sosial dan
budaya masyarakat kita yang sebagian besar mengandalkan hidup dan kehidupannya
dari hasil sumber daya alam selama ini.
Atas
nama pembangunan, hutan-tanah-air sebagai sumber hidup dan kehidupan diambang
kehancuran. Hutan sebagai ”apotik dan supermarket” masyarakat selama ini secara
pasti hilang, karena pembukaan kawasan hutan skala besar tanpa menyisakan
sebatang pohon pun seperti perkebunan sawit sama artinya dengan menghilangkan
fungsi hutan. Kebijakan perluasan perkebunan sawit melalui program pembangunan
dalam kenyataannya lebih mengedepankan aspek keuntungan ekonomi semata,
sementara aspek sosial, adat-budaya dan ekologi yang harusnya mendapatkan
tempat teratas yang turut menjadi pertimbangan justru seringkali ”diabaikan”.
Akibatnya,
cita-cita pembangunan itu malah kandas dan menyisakan masalah bagi warga. Bila
demikian, pantaskah kebijakan dengan ”rayuan” kesejahteraan tersebut dikatakan
sebagai sebuah pembangunan bila hasilnya bukan malah memberikan kemakmuran,
tetapi malah merugikan masyarakat dan lingkungannya yang harusnya dilindungi
oleh Negara (Pemerintah) ?
Dengan
demikian, upaya menumbuhkan kesadaran rakyat dengan memahami sejumlah dampak
sebagai akibat dari kebijakan perluasan perkebunan monokultur yang juga
sekaligus sebagai potensi ancaman bagi kehidupan sosial dan ekologi menjadi
penting. Ketika rakyat kian kritis berjuang secara sadar dan berdaulat atas sumber
daya alam, maka sesungguhnya negara berhasil ”mencerdaskan” warganya.
Sebaliknya, bila warganya hanya menjadi penonton dan bukan tuan serta hanya
bersifat acuh (tidak peduli) terhadap kebijakan pembangunan (tidak memiliki
keinginan untuk berpartisipasi) pengelolaan sumber daya alam misalnya, maka
patut dipertanyakan serta dapat menjadi sebuah refleksi bahwa sesungguhnya
negara (pemerintah) gagal “mencerdaskan” warganya.
Sedikitnya
ada sejumlah persoalan yang MENJADI potensi ANCAMAN (Tulah) yang dihadapi
terkait dengan pembukaan kawasan hutan skala besar melalui perkebunan
monokultur diantaranya;
·
Tanah
masyarakat diambil perusahaan,
·
Konflik
terjadi di masyarakat,
·
Kriminalisasi
terhadap masyarakat,
·
Budaya
di masyarakat hilang,
·
Krisis
pangan di kampung,
·
Hutan
menjadi hilang,
·
Binatang
dihutan Musnah,
·
Tumbuhan
obat-obatan di hutan hilang,
·
Terjadi
bencana banjir,
·
Terjadi
bencana kekeringan,
·
Terjadi
bencana asap,
·
Terjadi
krisis air bersih,
·
Tanam
tumbuh dan Tembawang masyarakat menjadi lenyap,
·
Sungai-sungai
menjadi rusak,
·
Penyumbang
emisi karbondioksida diatmosfir,
·
Penyumbang
terjadinya pemanasan global dan perubahan iklim, dan
·
Lahan
Gambut Rusak.
Komitmen
Pemerintah untuk melakukan ”moratorium” dalam pengelolaan sumber daya alam
khususnya hutan seiring dengan upaya mengurangi dampak dari pemanasan global
yang menjadi pemicu terjadinya perubahan iklim sejatinya baik adanya. Karena
dalam dalam tataran realita dilapangan akumulasi emisi akibat aktifitas manusia
telah memberikan pengaruh negatif bagi sistem sosial budaya, ekologi,
produktifitas hasil pertanian warga, maupun hasil tangkapan perikanan para
nelayan.
Namun
demikian, dengan lahirnya Permentan Nomor 14/Permentan/PL.110/2009 yang
memberikan ruang untuk pemanfaatan Lahan Gambut untuk dapat di konversi
Budidaya Perkebunan Sawit. Padahal sebagaimana diketahui kawasan Gambut
merupakan areal penting yang perlu diselamatkan. Ketika hutan tropis maupun
kawasan gambut sebagai kawasan penyangga, pengatur hidrologi air, penyerap
emisi (karbondioksida/CO2) digunduli oleh kebijakan investasi perkebunan sawit,
maka jelas berkontribusi menambah meningkatnya suhu bumi (emisi).
Ekosistem
lahan gambut sangat penting bagi lingkungan hidup karena merupakan penyangga hidrologi
(penyimpan air, pencegah banjir) dan sebagai penyimpan cadangan karbon yang
sangat besar. Gambut merupakan ekosistem penting yang dapat memberikan
sumbangan terhadap kestabilan iklim global. Sebagai kawasan dengan tipe lahan
basah, salah satu hal penting dari lahan gambut dapat mengatur keseimbangan
pelepasan air, juga sebagai kawasan sumber flora dan fauna (sumber daya alam
hayati).
Lahirnya
Peraturan Menteri Pertanian Nomor 14/Permentan/PL.110/2/2009 ini jelas menjadi
ancaman bagi ekosistem gambut dan masa depan bumi. Aspek legal mengenai
konservasi lahan gambut juga telah diatur dalam Keppres Nomor 32 tahun 1990
tentang Kawasan Lindung. Lahan gambut Kalbar seluas 1,72 juta Ha perlu
diselamatkan dari kebijakan yang hanya mengutamakan keuntungan ekonomi semata,
karena kita tidak punya cadangan bumi baru. Peran serta semua pihak menjadi
urgen untuk melakukan antisipasi bersama dengan menekan laju dampak perubahan
iklim yang telah mempengaruhi iklim kehidupan ekonomi, sosial, budaya, adat
istiadat masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar