[berdasar release Saveourborneo, ditulis oleh Norjani – LKBN Antara]
“Bupati dapat diduga melakukan praktik pengalihan aset pemerintah dan hal ini dapat merupakan tindakan koruptif,”
Sampit (Antara Kalteng) – Aktivis
lingkungan di Kalimantan Tengah mengancam melaporkan Pemerintah
Kabupaten Kotawaringin Timur ke Komisi Pemberantasan Korupsi jika
membiarkan perkebunan sawit bermasalah tetap beroperasi.
“Apabila penyitaan tidak dilakukan atau
nantinya dilakukan penyerahan sepihak tanpa proses hukum terhadap aset
dari hasil praktik tidak sah yang dilakukan PBS (perusahaan besar
swasta) kelapa sawit oleh pemda, maka kami akan melaporkannya ke KPK
atas dugaan penyalahgunaan wewenang atau menguntungkan diri sendiri atau
orang lain atas penyerahan aset tersebut,” kata Direktur Eksekutif Save
Our Borneo Nordin di Sampit, Senin.
Hal ini diungkapkan Nordin terkait
sebuah perusahaan besar swasta perkebunan kelapa sawit, PT Hati Prima
Agro, yang beroperasi di Kecamatan Antang Kalang, Kotim.
Perusahaan tersebut tidak diperbolehkan lagi beroperasi karena sebagian lahan yang mereka garap tidak mendapat izin yang sah.
Aktivis lingkungan yang pernah menjabat
sebagai anggota dewan Walhi Nasional ini menjelaskan, keluarnya
Keputusan Mahkamah Agung tanggal 24 Desember 2013 Nomor 435 K/TUN/2013
merupakan keputusan final.
PT Hati Prima Agro yang bernaung di
bawah bendera BGA Group tersebut dinyatakan telah membuka lahan
perkebunan kelapa sawit tanpa disertai Izin Pelepasan Kawasan Hutan dari
Menteri Kehutanan. Selain itu, izin lokasi perusahaan tersebut juga
telah dicabut oleh bupati Kotim. Untuk itulah, bupati disarankan segera
segera melakukan eksekusi dengan mengambil alih lahan tersebut.
Selanjutnya, lahan tersebut secara legal
dijadikan aset milik pemerintah daerah untuk dikelola dengan berbagai
cara, baik oleh BUMD ataupun Kerjasama Operasional dengan perusahaan
lain, dengan status lahan tetap menjadi milik pemerintah.
SOB khawatir, dengan tidak jelasnya
eksekusi tersebut dapat memunculkan kemungkinan kongkalingkong antara
pemerintah daerah dengan perusahaan pemilik asal yang telah nyata-nyata
dinyatakan tidak sah. Jika areal tersebut dialihkan sepihak kepada
perusahaan secoki baru dari perusahaan atau grup lama, Nordin
menegaskan, hal itu sama saja berarti bupati dapat dikatakan lalai dalam
menjalankan kewenangannya atau bahkan menyalahgunakan wewenangnya.
“Apabila areal tersebut tetap dialihkan
kepada perusahaan lama atau secokinya secara sepihak oleh bupati karena
adanya lobi-lobi tingkat tinggi, maka bupati dapat diduga melakukan
praktik pengalihan aset pemerintah dan hal ini dapat merupakan tindakan
koruptif,” tegas Nordin.
SOB mengusulkan agar lahan tersebut
segera diambil alih dan dimasukkan menjadi bagian dari asset daerah,
setelah sebagiannya dikembalikan kepada pemilik lahan asal dari
masyarakat lokal dan diserahkan sebagai kemitraan sebesar minimal 20
persen.
Data SOB terkait kronologis kasus ini,
yakni Kementerian Kehutanan pada tahun 2000 pernah mengeluarkan Surat
Keputusan No 186/Kpts-II/2000 tentang pelepasan sebagian Kawasan Hutan
dari Kelompok Hutan Sungai Mentaya seluas 5.369,80 hektare, untuk
perkebunan Kkelapa sawit atas nama PT Hati Prima Agro.
Berdasarkan evaluasi yang dilakukan
Kemenhut dengan memperhatikan aspek kemajuan aktivitas yang dilakukan
HPA ternyata didapakan bukti-bukti bahwa HPA tidak melakukan aktivitas
apapun dan tidak melakukan pengurusan apapun sejak izin pelepasan
kawasan hutan No 186/Kpts-II/2000 dikeluarkan.
Atas dasar itu, pada 11 Maret 2008,
Kemenhut megeluarkan SK No : SK.51/Menhut-II/2008 tentang tentang
Pencabutan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan nomor
186/KPTS-II/2000 tanggal 29 Juni 2000 tentang pelepasan sebagian kawasan
hutan dari Kelompok Hutan Sungai Mentaya seluas 5.369,80 hektare
tersebut.
Selanjutnya, Bupati Kotawaringin Timur
telah mengeluarkan surat tanggal 19 April 2012 Nomor
525.25/228/Ek.SDA/IV/2012 tentang pencabutan persetujuan prinsip arahan
lokasi maupun izin lokasi atas nama PT HPA dan memerintahkan PT HPA
segera meninggalkan lokasi.
Bupati juga tidak menyetujui permohonan
perpanjangan izin lokasi yang diajukan oleh PT HPA. Keputusan itu
ditegaskan dalam surat Nomor 525.26 / 256 / Ek.SDA / IV / 2012 tanggal
24 April 2012.
Menanggapi surat pencabutan oleh Bupati
Kotim dan Pencabutan IPKH oleh Kementerian Kehutanan RI tersebut, PT HPA
membawa persoalan ini ke PTUN Palangka Raya. PTUN melalui sidang
putusan pada 4 Desember 2012 mengabulkan tuntutan PT HPA dan menyatakan
bahwa pencabutan dan pembatalan izin lokasi dan izin pelepasan kawasan
hutan oleh Bupati Kotawaringin Timur dan oleh Menteri Kehutanan, tidak
sah.
Kementerian Kehutanan masih mengajukan
upaya banding ke PTTUN Jakarta. Keputusan Banding di PTTUN keluar pada
tanggal 20 Mei 2013, yang justru menguatkan putusan PTUN Palangka Raya,
yakni memenangkan PT HPA.
Kementerian Kehutanan RI kemudian
mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung. Selanjutnya pada 24
Desember 2013 keluar keputusan Mahkamah Agung Nomor 435 K/TUN/2013,
yakni menerima permohonan kasasi Kementerian Kehutanan Republik
Indonesia, sekaligus membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara Jakarta Nomor 35/B/2013/PT.TUN.JKT tanggal 20 Mei 2013 yang
menguatkan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Palangkaraya Nomor
12/G/2012/PTUN-PLK tanggal 4 Desember 2012.
“Dengan dicabutnya SK 186/Kpts-II/2000
dengan SK.51/Menhut-II/2008 dapat dipastikan areal yang semula
diperuntukkan bagi rencana konsesi perkebunan kelapa sawit untuk PT. HPA
batal. Sesuai amar putusan yang termuat dalam SK.51/Menhut-II/2008.
Yang pasti, seharusnya Pemkab Kotim harus melakukan eksekusi pengambil
alihan lahan bekas PT Hati Prima Agro tersebut terlebih dahulu,” tegas
Nordin.
Sementara itu, Bupati Kotim, H Supian
Hadi yang sempat dimintai komentar terkait masalah ini belum lama ini,
mengaku masih menunggu salinan putusan tersebut. Selanjutnya akan
dipelajari lebih lanjut sebagai bahan pertimbangan pemerintah daerah
mengambil langkah selanjutnya.