Kamis, 28 November 2013

Kewajiban Membangun Kebun Plasma setelah terbitnya Permentan No. 98 Tahun 2013


Permentan No. 98 tahun 2013 itu mengatur beberapa hal pokok. “Pertama, Perusahaan perkebunan yang memiliki Izin Usaha Perkebunan (IUP) atau Izin Usaha Perkebunan untuk Budidaya (IUP-B) wajib membangun kebun untuk masyarakat sekitar (perkebunan plasma) paling rendah seluas 20% dari total luas area kebun yang diusahakan oleh perusahaan,”


Selanjutnya, Usaha Industri Pengolahan Hasil Perkebunan untuk mendapatkan IUP-P sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, harus memenuhi penyediaan bahan baku paling rendah 20% (dua puluh per seratus) berasal dari kebun sendiri dan kekurangannya wajib dipenuhi dari kebun masyarakat/Perusahaan Perkebunan lain melalui kemitraan pengolahan berkelanjutan.


Dalam hal suatu wilayah perkebunan swadaya masyarakat belum ada Usaha Industri Pengolahan Hasil Perkebunan dan lahan untuk penyediaan paling rendah 20 % (dua puluh perseratus) bahan baku dari kebun sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 tidak tersedia, dapat didirikan Usaha Industri Pengolahan Hasil Perkebunan oleh Perusahaan Perkebunan.


Rencana pembangunan kebun untuk masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat satu harus diketahui oleh Bupati/ walikota atas usulan dari camat setempat.


Dengan keterlibatan masyarakat di bidang perkebunan, otomatis aturan tersebut diharapkan dapat mendongkrak pertumbuhan ekonomi masyarakat di sekitar perusahaan.Keterlibatan petani plasma dalam sebuah perkebunan bisa meminimalisasi sengketa lahan antara masyarakat dengan perusahaan perkebunan itu sendiri.


Pemda memperhatikan benar regulasi tersebut, jangan sampai salah interpretasi, misalnya menganggap bahwa keluarnya Permentan tersebut berlaku surut. Sehingga Pemda bersama dengan DPRD membuat Perda untuk mewajibkan semua perkebunan di daerahnya membangun kebun plasma 20% dari areal konsesinya.”Padahal yang benar adalah, bahwa Permentan itu tidak berlaku surut, jadi hanya perusahaan yang IUP atau IUP-B keluar sesudah berlakunya Permentan sajalah yang harus membangun kebun plasma 20% itu,”


Kalau yang sebelumnya terkena aturan tersebut, tentu perusahaan akan kesulitan karena terbatasnya lahan, apalagi banyak perusahaan perkebunan besar yang berdiri sejak pemerintahan Belanda. Kecuali pemerintah bisa menyiapkan lahan, dan perusahaan tinggal membinanya.”


Pemerintah akan melakukan pengawasan terhadap penerapan Permentan no 98 tahun 2013 pasal 11 dan 13 tentang kewajiban membangun kebun untuk masyarakat sekitar paling rendah seluas 20% dari total luas areal kebun yang diusahakan. Di dalam Permentan disebutkan pembangunanya dapat dilakukan dengan pola kredit, hibah atau bagi hasil. Pembangunan kebun untuk masyarakat ini dilakukan bersamaan dengan pembangunan kebun perusahaan dan rencana pembangunan kebun untuk masyarakat harus diketahui bupati/walikota.


Permentan ini berlaku bagi seluruh perkebunan setelah tahun 2007. Sedangkan untuk perkebunan yang sudah memiliki HGU sebelum tahun tersebut tetap diwajibkan untuk bermitra dengan masyarakat melalui CSR berdasarkan UU perseroan. Namun pada saat perpanjangan HGU, aturan plasma 20 persen tersebut tetap dikenakan pada perusahaan tersebut.


Pembangun kebun masyarakat tidak harus dilaksanakan di areal HGU milik perusahaan, karena kalau seperti ini maka masyarakat bisa menuntut kebun-kebun yang HGUnya sudah tertanami semua. Perusahaan bisa membangun kebun masyarakat di luar HGU atau dilahan milik masyarakat dengan pola apa saja yang penting minimal 20% bisa tercapai.


Hal ini akan memudahkan perusahaan untuk membangun kemitraan. Masyarakat sekitar kebun juga mendapat manfaat dari adanya perusahaan perkebunan sebab lahan mereka bisa dibangunkan kebun sawit. Tetapi kalau ada perusahaan yang sedang membangun dan menyisihkan 20% dari luar HGUnya untuk kebun kelapa sawit masyarakat hal itu lebih bagus.


pada tahun 2014, setiap perusahaan kelapa sawit wajib memiliki sertifikat ISPO. Dan salah satu hal yang akan dievaluasi dalam penilaian ini adalah soal pembangunan plasma. “Selain itu pemerintah akan melakukan pengawasan terhadap pembangunan plasma dan menindak tegas perusahaan yang tidak membangun kebun-kebun tersebut dengan baik dengan luasan sesuai dengan ketentuan”.

Lagi, Perusahaan Besar Sawit Hilang Dari Peta Dinas Perkebunan

Palangkaraya, (30/10/2013) – Perusahaan Besar Swasta (PBS) sawit bermasalah mungkin jadi momok persoalan yang amat sangat bermasalah bagi masyarakat lokal yang berdiam di kawasan konsesi perusahaan perkebunan tersebut jika terlebih lagi perusahaan perkebunan yang bergerak dibidang komoditas kelapa sawit ini tidak mengantongi izin dan bahkan berani melakukan operasi besar-besaran dengan membabat hutan alam serta mencemari lingkungan sekitarnya.

Menurut data yang diterima Save Our Borneo (SOB) melalui Peta Sebaran Perkebunan Besar se-Kalimantan Tengah yang di sahkan per Desember 2012 oleh Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Tengah Ir. Rawing Rambang M.P. lalu, ada enam perusahaan perkebunan kelapa sawit hilang dari data peta tersebut. Ke-enam perusahaan ini antara lain :

1. PT. Sakti Mait Jaya Langit (SMJL), lokasi Desa Lahei Mangkutup, Kecamatan Mantangai, Kabupaten kapuas, Kalteng.
2. PT. Agro Indomas (AI), lokasi Kabupaten Kotim, Kalteng.
3. PT. Antang Sawit Perkasa (ASP), lokasi Desa Garong, Henda, Simpur, Sakakajang, dan Jabiren. Kabupaten Pulang Pisau, Kalteng.
4. PT. Hati Prima Agro (HPA), Kabupaten Kotim, Kalteng
5. PT. Rimba Sawit Utama Planindo (RSUP), Kabupaten Seruyan, Kalteng.
6 PT. Handala Usaha Perkasa (UHP), lokasi Sei. Hambiye, Sei. Jangkit, Desa Mantangai Hulu, Kecamatan Mantangai, Kabupaten Kapuas, Kalteng.

Dari enam perusahaan perusahaan perkebunan yang hilang dari data peta tersebut adalah perusahaan yang dikatakan nakal atau bermasalah, baik itu dengan masyarakat lokal maupun masalah perizinan yang notabene belum terselesaikan sejak berdirinya perkebunan tersebut hingga saat sekarang ini.

Menurut penuturan Koordinator Save Our Borneo, Nordin, perusahaan yang hilang dari data peta dinas perkebunan tersebut sudah sejak lama bermasalah seperti contohnya saja PT. Hati Prima Agro, yang telah dengan gamlang menjarah hasil hutan berupa kayu yang dimana menyebabkan kerugian negara mencapai milyaran rupiah. Belum lagi jika kita berbicara masalah perizinan dan pencemaran dan dampak buruk bagi lingkungan yang dilakukan perusahaan tersebut.

izin yang begitu cepat keluar semestinya jadi perhatian utama, dari sekian PBS itu beberapa di antaranya sudah punya HGU, tapi tidak memiliki IPKH. Sebagian hanya mengantongi izin lokasi, tapi sudah membuka kawasan tanpa ada pelepasan apalagi HGU, ucap Nordin.


Karena itu, ia mengatakan apakah ke-enam perusahaan yang hilang dari data peta dinas perkebunan Kalteng sudah clean and clear atau perusahaan tersebut memang betul-betul tidak ada. (u.cy)