Jumat, 30 Agustus 2013

Ekspansi Sawit Ancaman Serius Bagi Masyarakat Lokal


Oleh : Gwirman (ucuy)


Beberapa kejadian seperti konflik serta bencana Ekologis kerap sekali menerpa sejumlah daerah. Sejumlah kasus Kriminalisasi serta berbagai bencana aneh ini erat kaitannya dengan laju kerusakan hutan di Kalimantan Tengah yang kian meningkat. Sebanyak 80 persen dari hutan Kalimatan Tengah telah musnah, dan setengah dari yang masih ada terancam keberadaannya oleh penebangan komersil, kebakaran hutan dan terlebih pula pembukaan hutan untuk kebun kelapa sawit.

Menurut data SOB Laju kerusakan hutan kita, lebih dari 2 persen atau 1,87 juta hektar per tahun. Dengan kata lain, 51 km persegi hutan kita rusak setiap setiap hari atau atau 300 kali lapangan sepak bola setiap jamnya. Pembukaan perkebunan kelapa sawit merupakan ancaman utama terhadap kelestarian hutan beserta ekosistem alamiahnya, apalagi hal ini memperoleh legalitas dari pemerintah. Tak tanggung-tanggung luas areal kebun sawit di Kalimantan tengah seluas 791.667 hektar, dan tidak menutup kemungkinan masih akan terus diperluas. 

Selayaknya pemerintah mengkaji kembali, kegiatan konversi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit. Perkebunan kelapa sawit lebih baik dilakukan di areal hutan yang sudah rusak akibat kebakaran atau illegal logging. Akan tetapi faktanya pembukaan perkebunan sawit selama ini dilakukan pada areal hutan alam, karenanya sejumlah pihak mencurigai pengambilan kayu dari hutan yang dikonversi sebagai motif utama konversi hutan untuk sawit. Pembukaan areal perkebunan sawit selama ini hanya melihat sisi ekonomi serta keuntungannya saja, tak pernah dipikirkan dampaknya di masa mendatang bagi kelangsungan biodiversitas serta kehidupan.

Keuntungan ekonomi yang dihasilkan dari investasi perkebunan sawit tidak setimpal jika dibandingkan dengan kerugian yang diakibatkannya. selain menggerus luasan hutan alam yang selama ini menjadi penyangga ekosistim alam dan iklim secara global, perkebunan sawit juga mengancam katahanan pangan bagi masyarakat yang berada didalamnya. Ditengah upaya keras bangsa ini untuk mewujudkan ketahanan dan kedaulatan pangan, sejumlah areal pertanian tanaman pangan mengalami kerusakan serius akibat dari kehancuran ekosistem hutan, bahkan sejumlah areal produksi tanaman pangan dikonversi menjadi areal perkebunan sawit.

Selain kerusakan lingkungan, investasi perkebunan kelapa sawit juga mengancam keberadaan masyarakat lokal beserta hak-hak tradisionalnya. Secara umum diskriminasi terhadap masyarakat lokal sangat banyak terjadi dalam pengelolaan sumber daya hutan dan lahan hutan di Kalimantan Tengah. Seringkali hutan lindung, hutan konservasi dan kawasan tambang ditetapkan oleh pemerintah sendiri tanpa melibatkan komunitas masyarakat lokal.

Ekspansi kebun sawit berdampak pada deforestasi dan degradasi hutan terhadap masyarakat Lokal. Bagi masyarakat Lokal yang tinggal di dalam dan sekitar hutan, deforestasi dan degradasi hutan berdampak pada seluruh aspek kehidupan. Dampak tersebut bukan hanya dibidang ekonomi tapi juga bidang politik, sosial dan budaya.

Ekonomi, Masyarakat akan kehilangan kemandirian dalam mencukupi kehidupan hidupnya karena kehilangan sumber makanan dan tempat tinggal. Jika ditelusuri lebih dalam masyarakat yang berada di kawasan hutan akan lebih mudah untuk menggantungkan hidupnya dari hasil hutan, jika kita kembali kejaman dahulu, kebanyakan masyarakat local memanfaatkan hasil hutan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari seperti berburu dan berladang bahkan tak jarang juga dari mereka memanfaatkan beberapa jenis tanaman untuk dijadikan obat-obatan dan bahan pokok makanan. Jika dibahas masalah pencemaran yang dilakukan pabrik-pabrik besar berdiri megah yang terus menerus membuang limbah ke sungai kemudian pupuk kimia yang digunakan, tak jarang dari kasus ini di beberapa sungai telah tercemar yang menyebabkan ikan mati mendadak, air sungai tidak dapat dikonsumsi lagi.

Politik, Masyarakat local (komunitas adat) kehilangan jati diri dan kedaulatan dalam menentukan hidupnya. Kehilangan hutan adat menyebabkan masyarakat tidak mampu lagi mengatur hidupnya sendiri. Di Kalimantan Tengah, banyak kasus menyebutkan bahwa masyarakat adat kehilangan hutan adat salah satunya karena perluasan areal perkebunan sawit. Bahkan mereka terpaksa menjadi buruh di tanahnya sendiri. Ada juga yang terpaksa bekerja sebagai buruh penoreh karet di wilayah masyarakat lainnya dan sebagai penambang tradisional. Tak dipungkiri kekuasaan para pemodal dari luar lebih berkuasa ketimbang para pejabat setempat pemberi izin yang harus merelakan nasib rakyatnya terjajah. Tak jarang dari hasil kekeuasaan tersebut banyak praktek-praktek buruk yang diperlihatkan oleh para Investor telah membinasakan hak-hak manusia yang berada di dalamnya seperti, kriminalisasi, pengambilan paksa lahan masyarakat, penggusuran perkampungan dan lain-lain. 

Budaya, Masyarakat adat terancam tidak dapat melestarikan warisan budaya dari leluhur dikarenakan sifat serakah, rakus dan semena-mena para pejabat setempat dan Investor yang sepertinya berkerjasama dengan sengaja menghilangkan beberapa situs keramat, Pukung Pahewan, Tajah Antang, Kaleka (tempat tinggal orang berladang berpindah pada jaman dahulu), Kuburan Keramat dan Sandung, yang bagi masyarakat local itu sendiri lebih penting keberadaannya ketimbang dengan harus adanya perkebunan kelapa sawit di wilayahnya. Beberapa kasus misalnya yang telah terjadi, di kabupaten Kotim, Seruyan, Kobar, Kapuas, akibat ekspansi perkebunan kelapa sawit besar-besaran telah menghilangkan kuburan, Kaleka, dan Situs keramat telah habis tanpa sisa dan menjadi sasaran amuk mesin penggusur milik perusahaan. 

Dilihat dari hal tersebut di atas perlawanan akan hak-hak akan keadilan hidup yang layaklah yang sekarang ini terus diperjuangkan, guna menapak keberlangsungan hidup yang akan datang menjaga agar hutan tetap lestari.

Pembakar Lahan Dipenjara

Kasus Pembakaran Lahan PT Kalimantan Hamparan Sawit di Gunung Mas


PALANGKA RAYA – Ini suatu peringatan bagi para pembakar lahan di negeri, termasuk di Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng). Jika masih nekad membakar hutan atau lahan tanpa prosedur yang aman, maka hukum bisa bertindak. Seperti yang dialami Ibrahim Lisaholit bin Husein Lisaholit. Salah satu unsure manajemen di PT Kalimantan Hamparan Sawit (KHS) itu harus masuk bui karena terbukti secara hukum telah membakar lahan.

Bahkan untuk membuktikan kasus itu, perkaranya sampai ke tangan Mahkamah Agung setelah jaksa penuntut umum mengajukan kasasi. Setelah turun putusan kasasi, Ibrahim Lisaholit pun dieksekusi dan harus menjalani hukuman penjara selama 1 tahun dan denda 200 juta.


Ibrahim yang dijerat pasal pidana lingkungan hidup itu dieksekusi jaksa, senin (26/08) siang berdasarkan putusan MA Nomor 1363 K / PID.SUS / 2012 tertanggal 10 Oktober 2012. Ibrahim akhirnya menjalani eksekusi di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas II A Palangka Raya, kemarin siang.


Manejer Estate Perusahaan Perkebunan Besar (PBS) PT KHS yang berlokasi di Kecamatan Manuhing Kabupaten Gunung Mas (Gumas) itu dieksekusi oleh Kejaksaan negeri (Kejari) Kuala Kurun yang dipimpin Kasi Pidana Umum (Kasipidum) Kejari Kalteng, Adi Indradi SH, kemarin (26/08).


Ibrahim Lisaholit mendatangi Lapas Klas IIA Palangka Raya sekitar puku 12:45 WIB dengan diantar menggunakan mobol Avanza hitam KH 1694 AO yang dikemudikan oleh Kepala Kantor Perwakilan PT KHS Palangka Raya Margonti Sianturi dan beberapa karyawan kantor perwakilan PBS itu.


Saat Ibrahim berada di dalam mobil yang di parker depan pintu masuk lapas, terlihat ekspresi wajahnya tercengan setelah setelah disambut sorotan camera belasan wartawan yang sudah menunggu sebelumnya. Mereka sempat bertahan beberapa menit didalam mobil, hingga akhirnya didatangi Kasipidum Adi Indradi untuk meyakinkan mereka agar segera keluar dari dalam mobil.


Saat keluar dari mobil, didampingi Kasipidum Kejari Palangka Raya, Ibrahim yang mengenakan jaket hitam, berkacamata sambil menenteng koper, berusaha menghindar dari sorotan camera para wartawan sambil menutup wajahnya dengan tangan, lalu berjalan menuju pintu lapas yang sempat terlewatkan, sampai-sampai wartawan yang harus memberitahukan terpidana pintu masuk ke dalam lapas Klas IIA Palangka Raya. “Bapak salah Masuk,” teriak salah satu wartawan.


Ibrahim pun, dengan wajah tertutup dan posisi badan membungkuk akhirnya balik arah sambil berlari kecil dan masuk pintu yang sudah dibuka oleh petugas lapas.


Sementara Kasipidum Kejari Kuala Kurun Adi Indradi yang ditemui wartawan di Lapas Klas IIA Palangka raya sesaat sebelum eksekusi berlangsung mengatakan, setelah pihaknya menerima salinan putusan MA Nomor 1363 K / PID.SUS / 2012 dari Pengadilan Negeri (PN) Palangka Raya, terpidana Ibrahim telah dipanggil dua kali.


“Terpidana telah dipanggil dua kali. Panggilan pertama tidak sampai, panggilan kedua dan panggilan ketiga secara kooperatif mau menyerahkan diri dan mau datang langsung ke Lapas Palangka Raya untuk menjalani hukuman,” kata Adi Indradi kepada wartawan.


Seperti yang diberitakan sebelumnya, perkara yang menjerat Ibrahim Lisaholit setahun penjara dan denda 200 juta, dangan ketentuan apabila tersebut tidak dibayar, maka kepada terdakwa dikenakan pidana pengganti berupa pidana kurungan selama 6 bulan, bermula dari kasus pembiaran terjadinya kebakaran di lokasi PBS PT KHS sekitar tahun 2009 lalu.


Kasus tersebut ditangi oleh Penyidik Pegaawai Negeri Sipil (PPNS) Badan Lingkungan Hidup (BLH) Gumas yang kemudian berkasnya dilimpahkan ke Polres Gumas. Dalam perkembangannya, penyidik Polres Gumas pada Tahun 2011 lalu menetapkan status Ibrahim Lisaholit sebagai tersangka.


Setelah berkas dinyatakan lengkap dan dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Kuala Kurun dan menuntut terdakwa di Pengadilan Negeri Palangka Raya. Namum, putusan PN Palangka Raya No. 406 / PID.SUS / 2011 / PN.PL.R. tanggal 07 Februari 2012 membebaskan terdakwa dari segala dakwaan.


Atas putusan PN Palangka Raya tersebut, kemudian pada tanggal 17 Februari 2012 Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Kuala Kurun mengajuka Kasasi, sebagaimana akta tentang permohonan Kasasi No. 04 / Akta / Pid / K /-2012 / PN.PL.R yang dibuat oleh Panitera pada Pengadilan Negeri Palangka Raya.


Berdasarkan uraian-uraian Jaksa, Majelis Hakim MA yang diketuai oleh Djoko Sarwako SH MH dan Prof DR Komariah, Sapardjaja SH serta Sri Murwahyuni SH MH sebagai anggota, mengabulkan permohonan Kasasi tersebut dan membatalkan putusan PN Palangka Raya No. 406 / Pid.SUS / 2011 / PN.PL.R. tanggal 07 Februari 2012.


“Terdakwa Ibrahim Lisaholi bin Husein Lisaholit terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana. Karena kealpaannya mengakibatkan pencemaran dan/ atau perusakan lingkungan hidup dengan menjatuhkan hukuman 1 tahun penjara dan denda Rp 200 juta,” kata Ketua Majelis MA sebagaimana dikutip dalam Direktori Putusan MA RI, putusan.mahkamahagung.go.id.

Selasa, 20 Agustus 2013

Laporkan Kelakuan PT SMG, Warga Desa Anjang Dikriminalkan


“Warga Desa Ajang, Kecamatan Permata Kecubung, Kabupaten Sukamara melaporkan Management Perusahaan pekebunan sawit PT Sumber Mahardhika Graha (PT SMG) ke Bareskrim Polri, BPN Pusat, dan Kementrian Kehutanan. Ironisnya, malah diproses pihak polisi Sukamara atas tuduhan telah melakukan tindakan kurang menyenangkan terhadap PT SMG.”

SUKAMARA - Perwakilan masyarakat Desa Ajang Kabupaten Kecamatan Permata Kecubung Kabupaten Sukamara, Kalimantan Tengah melaporkan manajemen PT. SUMBER MAHARDHIKA GRAHA ke-Kepolisian terkait Dugaan Tindak Pidana Perusakan Kawasan Hutan Produksi & Pembiaran Penebangan Liar di Wilayah Desa Ajang Kec. Permata Kecubung Kabupaten Sukamara, Kalimantan Tengah.

Berdasarkan penuturan masyarakat, mereka mengelola lahan tersebut sejak tahun 1978 yang sampai sekarang masih dikelola oleh warga desa Anjang dengan penggara sekitar 600 Kepala Keluarga (KK) untuk bercocok tanam seperti, karet, padi gunung dan buah-buahan dengan laus lebih dari 2.400 Ha. Di kawasan ini juga trdapat tanah hak Ulayat Desa (Hutan desa) seluas 4.892 Ha yang telah habis digarap dan diambil hasil hutanya berupa kayu oleh perusahaan perkebunan sawit PT SMG tanpa ada pemberitahuan kepada pihak desa maupun kepada pemilik lahan.

“Kami tidak tahu persis bagaimana kejadiannya, pada saat itu kami tidak berada di desa dan jarak antara desa dan lahan tersebut cukup jauh,” ungkap seorang warga. PT MSG yang mengantongi izin Hak Guna Usaha (HGU) tertanggal 02 Agustus 2007 dengan luas 7.292 Ha, melakukan penggarapan pada awal tahun 2012 yang kemudian berujung pada konflik antara pihak perusahaan dengan masyarakat yang pada tanggal 28 April 2013 warga desa Ajang turun langsung ke lokasi meminta agar pihak perusahaan segera menghentikan segala aktivitasnya dengan menyita alat berat.

Penyitaan alat berat ditandai dengan menyegel 1 unit Buldozer dan mengusir para pekerja dari lahan dengan alasan pihak perusahaan belum sepenuhnya memiliki izin untuk menggarap lahan milik warga tersebut. Mengetahui hal tersebut pihak perusahaan kemudian memanggil beberapa orang perwakilan warga untuk melakukan koordinasi lebih lanjut terkait aksi yang di lakukan oleh warga desa Ajang. 

Dalam kesempatan tersebut M. Andriansyah. SH dan Eddy Sulistya, selaku perwakilan warga meminta kepada management perusahaan agar tidak melakukan penggarapan dan meminta agar perusahaan menghentikan aktivitas sampai adanya penyelesaian permasalahan dengan masyarakat atau memenuhi tuntutan warga agar lahan masyarakat yang di gusur oleh Perusahaan dikembalikan. 


“Kami (warga desa Ajang, red) meminta kepada PT Sumber Mahardhika Graha (PT SMG) agar mengembalikan lahan masyarakat yang digusur dan segera menghentikan segala aktivitasnya tanpa izin yang sesuai dengan prosedur dan membayar konpensasi (ganti rugi) kepada masyarakat atas beberapa jumlah kayu yang di tebang kemudian diambil guna bahan material pembuatan barak bagi pekerja,” ucap M. Andriansyah. SH, (28/04/2013) lalu.

Namun setelah beberapa waktu pihak perusahaan belum membuat keputusan atas tuntutan warga, sehingga atas insiataif warga kemudian melaporkan pihak PT SMG ke- Bareskrim Polri dan Polres Kabupaten Sukamara dengan tuduhan telah melakukan aktivitas perusakan lingkungan dan dugaan illegal loging yang dilakukan oleh PT SMG pada awal tahun 2012 lalu. Selain itu juga disampaikan bahwa SMG melakukan penggarapan lahan masyarakat Desa Ajang, tanpa ada surat izin yang sesuai dengan prosdur yang berlaku. Namun malang bagi pelapor, (Edi Sulistya als. Herman Bin Mahmudin, warga Desa Ajang RT.04 Kec. Permata Kecubung Kab. Sukamara Kalteng) yang berharap ketegasan dari pihak terkait malah dilaporkan dan dipenjarakan oleh pihak perusahaan dengan pasal Perbuatan Tidak Menyenangkan. 

Sebelumnya pihak kepolisian telah mengaman salah seorang perwakilan warga lainnya yang di jemput langsung dirumahnya setelah beberapa saat pulang dari Jakarta oleh pihak kepolisian Sukamara pada Mei 2013 siang. Pihak perusahaan juga beserta Polres Sukamara juga mengancam akan menangkap salah satu warga masyarakat (M. Andriansyah. SH, red) yang ikut serta ke Jakarta (Masyarakat yang melaporkan Aktivitas PT. Sumber Mahardika Graha kepada Pemerintah Pusat), apabila tidak menghadiri panggilan. “Kakak saya di jemput dirumah oleh polisi tanpa ada surat penangkapan, dan mengancam apabila salah seorang rekan kakak saya tidak menyerahkan diri maka akan di jemput paksa juga,” ucap adik Edi yang pada saat itu berada di rumah.

Di tempat terpisah, berdasarkan progres pelepasan Kawasan Hutan untuk Budidaya Perkebunan Tahap Persetujuan Prinsip Pelepasan Tahun 2011 tercatat Pemohon PT. Sumber Mahardika Graha nomor : 964/MENHUT-VII/97 tertanggal 27 Agustus 1997 Luas areal dimohon 17.500 Ha sampai sekarang Izin Pelepasan Belum dikeluarkan oleh Kementerian Kehutanan. Bahwa Permohonan Persetujuan Prinsip yang dimohon oleh Pihak PT. Sumber Mahardika Graha kepada Menteri Kehutanan, belum bisa dikatakan dapat Melakukan Aktifitas/Kegiatan Produksi dan land Clearing karena PT SGM sebelum memiliki Izin Pelepasan Kawasan Hutan dari Kementerian Kehutanan RI.“PT Sumber Mahardhika Graha (PT SMG) memang belum mengantongi Surat Izin Pelepasan Kawasan Hutan dari Kementrian Kehutanan dan areal tersebut tidak dikatakan sebagai lahan terlantar tapi merupakan kawasan Hutan Produksi,” ujar Supardi selaku Biro Hukum Kementrian Kehutanan, (14 Mei 2013). 

Hal senada sebelumnya juga disampaikan oleh Badan Pertanahan Nasional pusat tanggal 13 Mei 2013, melalui Deputi Empat-nya Suheru Andrian,“Hak Guna Usaha (HGU) PT. Sumber Mahardhika Graha sudah dikeluarkan Surat Keputusan (SK) penetapan tanah terlantar oleh kepala BPN RI, sehingga kawasan tersebut berada dalam status QUO,” dan BPN pusat telah memberikan surat tembusan mengenai status Izin Hak Guna Usaha tersebut kepada kepala Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Sukamara tentang pencabutan Izin Hak Guna Usaha (HGU) PT Sumber Mahardhika Graha (PT SMG) seluas 7.292 Ha, yang berlokasi di Desa Ajang, Kecamatan Permata Kecubung, Kabupaten Sukamara, Kalimantan Tengah.

\Pernyataan tersebut di benarkan oleh kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Sukamara, bahwa telah menerima surat tembusan dari Badan Pertanahan Nasional pusat terkait Izin Hak Gun Usaha PT Sumber Mahardhika Graha (PT SMG) yang telah dicabut. “Kami telah menerima surat tembusan dari BPN pusat, bahwa Izin Hak Guna Usaha (HGU) atas nama PT. Sumber Mahardika Graha (PT SMG) seluas 7.292 Ha, telah di cabut,” ucap Sihombing, Kepala Dinas Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Sukamara.

Warga Desa Ajang yang di krimialkan oleh pihak perusahaan pada Mei 2013 lalu sampai sekarang ini masih menjalani proses peradilan. “Saudara Edi sulistya masih dalam proses pemeriksaan dan juga beberapa saksi telah kami periksa sekarang tinggal menunggu hasil proses selanjutnya” ucap BiBag Ops Polres Sukamara Briptu Kharima Daniel.