Rabu, 27 Februari 2013

Potensi Pencemaran Lingkungan Di Kotim Sangat Tinggi

"Kalau pemerintah daerah tidak tegas, kasus-kasus seperti ini akan terus terjadi dan terulang"



Sampit, Kalteng,  - Lembaga Swadaya Masyarakat Save Our Borneo, Kalimantan Tengah menilai potensi pencemaran lingkungan di Kabupaten Kotawaringin Timur sangat tinggi, karena di daerah itu banyak beroperasi perusahaan besar swasta.


"Kami harap pemerintah Kotim meningkatkan pengawasan aktivitas perusahaan besar swasta (PBS) perkebunan dan pertambangan karena keberadaannya rentan pencemaran lingkungan," kata Direktur Eksekutif SOB Kalimantan Tengah (Kalteng), Nordin di Sampit, Senin.



Banyaknya jumlah perusahaan perkebunan dan pertambangan di Kotim, membuat potensi pencemaran lingkungan sangat tinggi. Oleh karena itu, pengawasan yang dilakukan Badan Lingkungan Hidup (BLH), perlu diperketat agar tidak terjadi pelanggaran aturan, mulai masalah perizinan hingga pencemaran limbah.



"Saat ini saja kami menduga ada sejumlah perusahaan perkebunan kelapa sawit yang pembuangan limbahnya bocor sehingga mengalir deras ke sungai. Kami masih mendalami masalah ini karena informasi dan data yang kami dapat, ini terjadi di beberapa lokasi di Kotim," katanya.



Mantan Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalteng itu berpendapat, lemahnya pengawasan membuat perusahaan makin berani melawan aturan. 



Bukan hanya pembuangan limbah mereka bocor, bahkan ada pula perusahaan yang diduga membuang langsung limbah mereka melalui anak-anak sungai yang kemudian mengalir ke danau dan sungai besar. 



"Kami berani berkata PBS perkebunan kelapa sawit dan pertambangan di Kabupaten Kotim melakukan pelanggaran karena kami sudah memiliki datanya," ungkapnya.



Kondisi tersebut sangat memprihatinkan karena dampaknya mengganggu kesehatan masyarakat, bahkan mengancam keselamatan penduduk yang berada di sekitarnya. 



Pemerintah daerah diminta bisa lebih tegas terhadap masalah pelanggaran aturan itu agar masyarakat tidak menjadi korban.



Nordin juga menyoroti polemik terkait salah satu pabrik milik PT Mustika Sembuluh yang diduga telah beroperasi padahal belum mengantongi izin Upaya Pengelolaan lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UKL-UPL).



Menurut Nordin, pemerintah daerah harus bertindak tegas dengan melarang pabrik tersebut beroperasi sampai perizinan yang diharuskan bisa dipenuhi. 



"Kalau pemerintah daerah tidak tegas, kasus-kasus seperti ini akan terus terjadi dan terulang.

Selasa, 26 Februari 2013

Empat Juta Hektare Hutan Boleh Ditebang, Jutaan Kubik Kayu Dibabat Setiap Tahun


PALANGKA RAYA, Kawasan hutan seluas 4,051 juta hektar (Ha) di Kalimantan Tengah (Kalteng) dilegalkan untuk ditebang. Kawasan seluas itu merupakan areal dari 60 pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) yang diberikan kepada investor. Dari sebagian besar areal yang legal ditebang itu, jutaan pohon ditebang setiap tahunnya.
Hal tersebut terungkap dalam data Dinas Kehutanan Kalteng. Dari sekitar empat juta hektar kawasan hutan tersebut, pada 2012 lalu jumlah kayu yang ditebang mencapai 2,015 juta meter kubik. Jumlah tersebut sedikit menurun dibanding tahun 2011 yang menghasilkan tebangan sebanyak 2,154 juta meter kubik. Sementara pada 2010 kayu yang ditebang mencapai 1,914 juta meter kubik.
“Jumlah produksi kayu di Kalteng ini rata-rata mencapai sekitar 2,2 juta meter kubik per tahun, dan ini diluar dari Hutan Tanaman Industri (HTI) dan Izin Pemanfaatan Kayu (IPK),” kata Kabid Produksi Hasil Hutan Dinas Kehutanan Kalteng Sapta Wartono, baru-baru ini.
Sapta mengatakan, dari 60 unit pemegang HPH di Kalteng, hanya 15 HPH yang mengantongi sertifikat pengelolaan hutan produksi lestari. Dengan memiliki sertifikat tersebut, 15 HPH itu bisa mengesahkan rencana kerja tahunan (RKT) sendiri serta memiliki pengakuan untuk mengapalkan kayu ke luar negeri.
“HPH yang belum memiliki sertifikat pengelolaan hutan produksi lestari mungkin masih dalam proses penilaian yang dilakukan oleh tim independen yang ditunjuk Kementerian Kehutanan. Penilaian kepada HPH itu dilakukan selama dua tahun sekali, sementara yang dinilai adalah proses penebangan atau produksi, sosial, ekologi, dan beberapa hal lainnya,” katanya.
Lebih lanjut Sapta mengatakan, Penghasilan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang dihasilkan dari sektor kehutanan pada 2011 mencapai Rp 458,708 miliar. Dari jumlah tersebut, untuk Kalteng sebesar Rp 224,920 miliar, dan dari dana yang diterima oleh Pemerintah Provinsi Kalteng sebesar Rp 24,5 miliar. Prosentase dana bagi hasil dari sector tersebut yakni, Pemerintah Pusat 20 persen, Pemprov 16 persen, kabupaten/kota penghasil 32 persen, dan 32 persen lainnya dibagi rata untuk kabupaten/kota.
“Sementara PNBP pada 2012 sebesar Rp 486,407 milir, dimana Kalteng menerima sebesar Rp 258.186 miliar. Dari jumlah itu, yang diterima Pemprov Kalteng sebesar Rp 25 miliar. Data ini berdasarkan hasil rekonsiliasi penerimaan negara bukan pajak antara Dinas Kehutanan dengan Biro Keuangan Kementrian Kehutanan beberapa waktu lalu,” jelasnya.
Direktur Esekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalteng sebelumnya mengatakan, semakin berkurangnya hutan di Kalteng mulai berdampak pada munculnya berbagai bencana di wilayah ini, terutama banjir. Daerah yang sebelumnya bebas banjir, kini mulai dihantui banjir. Hamper setiap tahun sebagian besar daerah di Kalteng diterjang banjir ketika musim hujan.
“Tingkat deforestasi hutan di Kalteng sangat tinggi, sementara rehabilitasinya minim, akibatnya, bencana-bencana terus bermunculan, seperti banjir, kabut asap, dan bencana lainnya yang disebabkan semakin berkurangnya hutan. (sumber Radar Sampit)

Minggu, 17 Februari 2013

KSE_Short #1

Sustainable Lost #short version

Campaign#1

Campaign#2

Wilmar Group VS Masyarakat Desa Tangar

The Sustainability Lie

LAHAN MASYARAKAT SERUYAN HABIS DIBABAT PERUSAHAAN PERKEBUNAN


Damang (Kepala Adat) Kecamatan Hanau dan Danau Seluluk Kabupaten Seruyan, Sunarto Masra mengatakan, lahan masyarakat setempat yang merupakan tempat mata pencaharian untuk bertahap hidup habis dibabat oleh perusahaan perkebunan untuk penanaman pohon kelapa sawit. "Perusahaan yang membabat habis lahan milik masyarakat tersebut adalah PT Musirawas Citraharpindo dan PT Sumur Pandanwangi. Bahkan kedua perusahaan tersebut melakukan penanaman dan menguasai lahan melebihi batas perizinan yang dimiliki," katanya di Palangka Raya, Jumat.

Oleh karena itu, melalui lembaga adat atau kedamangan yang ada di Seruyan, masyarakat setempat meminta Gubernur Kalimantan Tengah (Kalteng) Agustin Teras Narang untuk dapat mengambil keputusan dalam rangka menyelesaikan sengketa lahan perkebunan kelapa sawit di daerah itu.

Menurutnya, masyarakat merasa sangat dirugikan, sehingga meminta hak-hak adat yang seharusnya dimiliki harus dikembalikan oleh perusahaan. Salah satunya adalah ketersediaan lahan plasma untuk masyarakat oleh perusahaan sebagai kompensasi hilangnya lokasi mata pencaharian mereka. "Kami masyarakat adat di Seruyan hanya meminta perusahaan memenuhi kewajibannya sesuai yang diatur Undang-undang, yakni memberikan lahan plasma perkebunan sawit," ucapnya.

Sekretaris Damang Kecamatan Hanau dan Danau Seluluk, Suryadi menyatakan, awal dari permasalahan sengketa perkebunan ini adalah ketika perusahaan tersebut menanam pohon kelapa sawit melebihi dari batas perizinan yang dimiliki. Pihaknya sudah melakukan pengukuran ulang melalui ahli GPS yang juga ikut didampingi dari pegawai perusahaan untuk membuat peta perkebunan tersebut sesuai izin. Hasilnya kedua perusahaan itu menanam melebihi lahan perizinan yang dimiliki dengan total luasan 3.339 hektar. "Masyarakat disana merasa dirugikan oleh perusahaan, sebab kawasan hutan yang merupakan lokasi mata pencaharian warga setempat telah diambil alih oleh perusahaan perkebunan tersebut. Sehingga wajar masyarakat meminta lembaga adat untuk memfasilitasi masalah ini,".

Suryadi menilai, perusahaan perkebunan yang beroperasional di Seruyan tidak menjunjung tinggi hukum adat yang berlaku di Kalteng. Buktinya, kewajiban perusahaan memberikan lahan plasma tidak ada, bahkan melakukan penanaman pohon melebihi lokasi perizinan yang seharusnya itu adalah milik masyarakat.

Pihak perusahaan sudah sering dipanggil untuk melakukan musyawarah mufakat dengan masyarakat, namun tidak mendapat tanggapan serius. Oleh sebab itu pihaknya, melakukan sidang adat yang keputusan di dalamnya menyerahkan hasil akhir kepada Gubernur Kalteng Agustin Teras Narang untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. "Perusahaan sebetulnya sudah melanggar aturan, yang pertama tidak mengeluarkan lahan plasma, kedua menanam melebihi lokasi perizinan,".

Kemudian aturan yang paling jelas dilanggar oleh perusahaan tersebut adalah Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, pada pasal 50 ayat 3 yang bunyinya, setiap orang dilarang merusak kawasan hutan dengan radius tertentu yang berdekatan dengan sungai, danau, tepi anak sungai, rawa, dan mata air.

PT Musirawas Citraharpindo dan PT Sumur Pandanwangi tidak mematuhi aturan tersebut, bahkan pohon sawit ditanam sampai tepi pinggiran sungai. Masyarakat di sana sudah cukup menderita akibat lokasi mata pencaharian mereka hilang akibat ulah perusahaan. "Oleh karena itu, kami memperjuangkan hak-hak masyarakat adat yang ada di Seruyan. Gubernur Kalteng telah mengeluarkan berbagai macam Peraturan Daerah dan Peraturan Gubernur yang menjunjung tinggi hak-hak adat, apabila itu tidak dilaksanakan maka hukum ada artinya sudah tidak berlaku lagi,".

Terkait dengan kepedulian Pemerintah Kabupaten Seruyan terhadap masalah tersebut, mereka sangat kecewa karena keinginan masyarakat tidak mendapatkan respon. Bahkan terkesan pemerintah lebih mendukung perusahaan dibandingkan dengan masyarakat setempat. (ANTARA)

Pesimistis Penuhi Deadline, Pemkab Bantah Abaikan Sengketa Lahan


SAMPIT, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kotawaringin Timur (Kotim) menegaskan tidak pernah mengabaikan masalah sengketa lahan yang terjadi di daerah ini, termasuk sengketa antara masyarakat Tangar Kecamatan Telawang dengan perusahaan besar swasta (PBS) kelapa sawit. Meski pemkab mengaku kesulitan untuk menyelesaikan sengketa itu dalam waktu dekat, apalagi dideadline hanya dua minggu oleh Pemerintah Provinsi Kalteng.
Pemkab Kotim telah membentuk tim bahkan sudah turun ke lapangan untuk memfasilitasi penyelesaian sengketa lahan tersebut. Tim sudah lama bergerak di lapangan meski tidak ada surat keputusan pembentukan tim sekalipun karena memang sudah menjadi tugas pokok dan fungsinya (tupoksi) mereka.
“Jadi, tidak benar bahwa kami (Pemkab Kotim) tidak turun ke lapangan dan tidak menindaklanjuti keluhan masyarat di Desa Tangar. Kami sudah cek kelapangan dengan melibatkan beberapa orang yang tergabung dalam tim walaupun tanpa SK Bupati,” ungkap Kabag Administrasi Pemerintahan Umum (Adpum) Setda Kabupaten Kotim Hawianan, Rabu (13/2).
Saat cek kelapangan, lanjutnya, ternyata ada tiga kelompok masyarakat pemilik lahan yang diduga dicaplok oleh perusahaan grup Wilmar yang beroperasi di wilayah Desa Tangar Kecamatan Telawang. Ketiga kelompok itu meminta ganti rugi atau lahan mereka yang telah digarap oleh perusahaan tersebut dikembalikan. “Untuk sementara ini tim akan melakukan verifikasi data,” ujar mantan Camat Bukit  Santuai ini.
Untuk mencocokkan data ini, tidaklah mudah. Pihaknya harus meminta data yang dimiliki perusahaan kemudian mencocokkan dengan data yang dimiliki masyarakat, terutama tiga kelompok yang mengklaim lahannya telah digarap oleh perusahaan sawit tersebut. “Memang pada saat kami berada di lapangan yang pertama kami lakukan adalah melihat titik-titik koordinat. Nah, titik-titik koordinat inilah yang nantinya akan kita cocokan,” katanya.
Titik koordinat itu untuk memudahkan mengetahui lebih jelas lahan mana saja milik perusahaan dan milik masyarakat. Akan tetapi, ucapnya, untuk sementara pihaknya masih belum bisa menentukan karena masih belum dilakukan verifikasi. “Yang jelas dalam minggu-minggu ini tim akan melakukan rapat dulu untuk melakukan verifikasi. Nanti, dari situlah bisa kelihatan dengan jelas siapa saja pemilik lahan yang dianggap bersengketa,” jelasnya.
Meskipun demikian, Hawianan menegaskan, pihaknya tetap akan memberikan laporan kepada Gubernur Kalteng Agustin Teras Narang tentang perkembangan kasus lahan di Desa Tangar Kecamatan Telawang ini. “Setiap ada perkembangan akan tetap kami laporkan supaya gubernur mengetahui bahwa kita (Pemkab Kotim) tidak tinggal diam terhadap kasus sengketa lahan ini,” janjinya.
Ditanya mengenai deadline yang diberikan orang nomor satu di Kalteng ini, Hawianan kembali menegaskan, tidak mungkin dalam waktu dua minggu bisa menyelesaikan kasus tersebut. “Tidak mungkin kita bisa menyelesaikan permasalahan ini dalam waktu dekat. Kita butuh waktu. Yang jelas, setiap perkembangannya akan kami laporkan karena yang kita tangani bukan hanya lahan di Desa Tangar saja melainkan masih ada yang lain,” alasannya.
Untuk itu, pihaknya dalam waktu dekat segera mengadakan rapat dengan tim yang telah dibentuk untuk melakukan verifikasi data baik yang didapat dari tiga kelompok masyarakat setempat maupun dengan pihak perusahaan. “Tunggu saja perkembangannya, nanti juga akan kami beberkan ke publik mengenai hasilnya,” tutupnya. (Sumber : http://id-mg61.mail.yahoo.com/neo/launch?.rand=4eeug41forn1l#mail)

Warga-WNL Sepakat Mediasi Lagi


PALANGKA RAYA - Setelah gagal mencapai kesepakatan, Selasa-Rabu lalu, PT Windu Nabatindo Lestari (WNL) dan warga sepakat untuk melanjutkan mediasi pada Selasa, 19 Februari mendatang. Keduanya sepakat bertemu lagi dengan mediasi Damang. Kesepakatan diambil setelah negosiasi dengan mediasi Kapospol Pelantaran, Ipda Topan Irian, Kamis (14/2).
Dalam rapat tersebut, baik PT WNL maupun warga yang dipimpin Anang Priadi akan membawa bukti legalitas atas tanah yang mereka klaim. Rapat akan menghadirkan kepala desa dan camat sebagai pihak yang mengeluarkan Surat Keterangan Tanah (SKT) yang dipegang Anang.
Sebelum kesepakatan tersebut, warga sempat memanen sawit di kebun Blok B/5 Lahan Plantaran Agro Estate. Melihat warga melakukan aksi panen, perusahaan kemudian meminta petugas Pos Pol Pelantaran untuk menghentikan. Situasi yang sempat memanas berhasil didinginkan Kapospol, yang membawa kedua belah pihak ke Pos Pol.
Rapat kemudian mulai menemukan titik temu saat Manager PAD PT WNL Iwan Kusnandar datang ke Pospol. Buah yang terlanjur dipanen disepakati untuk sementara diamankan perusahaan. Setelah ada keputusan, buah akan diserahkan kepada pihak yang ditetapkan sebagai pemilik lahan yang sah. (HARIAN UMUM TABENGAN)

Senin, 11 Februari 2013

Warga Tangar Mengugat PT.Wilmar Group, di Kotawaringin Timur



TRIBUN KALTENG.COM, PALANGKARAYA - Sudah selama tujuh tahun tanpa penyelesaian, membuat warga dan tokoh Desa Tangar Kecamatan Mentayahulu, Kotawaringin Timur, hampir patah arang. Dengan penuh harapan, mereka pun meminta Pemprov Kalteng bertindak. Kepada Wakil Gubernur Achmad Diran, Senin (28/1), warga menyatakan selama ini nyaris putus asa memperjuangkan lahan milik mereka yang dikuasai oleh sebuah perusahaan yang beroperasi di daerah tersebut. "Kami sudah minta Pemkab Kotim untuk membantu menyelesaikannya. Tapi rasanya sudah jenuh, karena tidak ada penyelesaian," ujar Kades Tangar Sukarsih. Selain warga setempat, Sukaarsih datang menemui wagub juga didampingi beberapa tokoh adat Dayak. Seperti Ketua DAD Kalteng Sabran Achmad yang mengaku prihatin atas nasib warga tersebut.

Pemkab Tak Mampu, Mengadu ke PemprovPALANGKA RAYA - Karena menilai Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kotawaringin Timur (Kotim) tidak mampu menyelesaikan sengketa lahan dengan perkebunan kelapa sawit, akhirnya warga Desa Tangar Kecamatan Mentaya Hulu, langsung mengadu ke Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kalteng. Pengaduan warga dari hulu Sungai Mentaya itu diterima Wagub H Achmad Diran di ruang kerjanya, Senin (28/1) siang. Kedatangan 10 orang perwakilan dari 287 kepala keluarga itu didampingi kepala desanya, Sukarsih yang merupakan satu-satunya perempuan dalam rombongan dari Desa Tangar kemarin. Mereka didampingi sejumlah pengurus Dewan Adat Dayak (DAD) termasuk Ketua DAD Kalteng Sabran Achmad, mengadukan tentang tindakan salah satu anak perusahaan PT Wilmar Group yang dinilai telah menggarap lahan milik warga Desa Tangar. Menurut Kades Tangar Sukarsih, perusahaan itu telah menggarap lahan masyarakat dan disinyalir telah melebihi izin sesuai hak guna usaha (HGU) yang diberikan pemerintah. Warga desa itu sudah berusaha menyelesaikannya melalui Pemkab Kotim. Namun hingga saat ini belum ada titik terang. Akhirnya warga memilih langsung mengadu ke Pemprov Kalteng. Kami telah berusaha melakukan mediasi, namun tetap tidak ada jalan tengah dan tak kunjung diselesaikan, kata Sukarsih yang juga dibenarkan sejumlah warganya yang ikut mengadu ke wagub. Sukarsih menjelaskan, sengketa lahan antara warga dengan salah satu anak perusahaan Wilmar Group itu terjadi sejak 2007. Perselisihan berawal dari perusahaan yang dinilai telah menggarap lahan warga yang sudah ditempati turun temurun. Sejak tahun 2005 sampai sekarang, nasib kami selalu tertindas dan terhina oleh salah satu anak perusahaan Wilmar Group itu, karena hak kami dirampas tanpa ada penyelesaian sampai sekarang, kata Sukarsih saat bertemu dengan Wagub Achmad Diran, kemarin. Untuk menyelesaikan sengketa lahan itu, lanjut Sukarsih, sudah berlangsung cukup panjang, mulai dari tingkat desa, kecamatan, kabupaten hingga ke Pemprov Kalteng. Kami akan mempertahankan tanah kami sampai titik darah penghabisan dan kami tidak akan mundur sejengkal pun demi mempertahankan hak-hak kami, ungkapnya. Selain merampas lahan warga Desa Tangar, menurut Sukarsih, salah satu perusahaan Wilmar Group yang beroperasi di Kecamatan Mentaya Hulu itu telah merusak situs keramat. Pengerusakan itu terjadi pada 20 Januari 2013. Selain itu, terjadi pemukulan dan intimidasi terhadap warga Desa Tangar oleh oknum brimob berinisial Wid di kebun kelapa sawit terhadap saudara Juang, ungkapnya. Menanggapi pengaduan tersebut, Wagub Achmad Diran berjanji akan membentuk tim khusus serta memanggil manajemen PT Wilmar Group dalam waktu dekat. Kita akan bentuk sebuah tim yang bertugas melakukan penelitian dan mengecek hak guna usaha perusahaan dan turun langsung ke lokasi, kata Diran kepada wartawan usai pertemuan dengan warga. Dijelaskan Diran, bahwa saat bertemu manajemen perusahaan nanti, akan didampingi perwakilan dari Polda Kalteng, Dinas Kehutanan serta Pemkab Kotim, untuk memastikan izin perusahaan itu legal atau tidak. Kalau perusahaan menggarap lahan di luar hak guna usaha bisa diberikan sanksi karena melanggar hukum. Kalau sampai itu terjadi sanksi pidana akan menanti pihak perusahaan, karena tanah itu bukan hak mereka tetapi tanah negara, tegasnya.

Minggu, 10 Februari 2013

Wilmar


SAMPIT – Pernyataan Gubernur Kalimantan Tengah Agustin Teras Narang yang seakan menyalahkan Bupati Kotawaringin Timur Supian Hadi, terkait sengketa lahan puluhan warga Desa Tangar dengan perusahaan grup PT Wilmar menurut anggota DPRD Kotim Dadang H Syamsu menunjukkan arogansi gubernur.
“Saya menilai pernyataan dari pak gubernur itu terlalu arogan terhadap kepala daerah kabupaten/kota. Karena gubernur dan bupati itu seharusnya saling terintegrasi dan bersinergi untuk memecahkan berbagai persoalan di Kalteng. Perlu diingat, Kotim juga bagian dari Kalteng,” tegas dia.
“Alangkah lebih baik, pak gubernur setiap ada permasalahan memanggil bupati/wali kota untuk memecahkan persoalannya dan mencari jalan keluar terbaik. Bukan malah menampakkan ketidaksenangan dengan bupati/walikota,” saran Dadang. borneonews.co.id

Akibat Pemda Cuek Terhadap Rekomendasi DPRD, Maraknya Sengketa Lahan di Kotim


SAMPIT Sabtu, 09 Februari 2013, Kasus sengketa lahan antara warga desa dengan sejumlah perusahaan Perkebunan Sawit di Kotim terus saja terjadi. Nampaknya Pemerintah Kabupaten belum menemukan formula untuk menyelesaikan masalah tersebut, disamping seringnya rekomendasi DPRD Kotim untuk penyelesaian sengketa lahan yang diabaikan oleh pihak eksekutif.
Contohnya seperti yang terjadi di Desa Tangar baru-baru ini. Kamis lalu, puluhan masyarakat Desa Tangar meluruk ke areal perusahaan PT  Wilmar terkait sengketa lahan.Akibat tidak ada tindaklanjut dan peran mediasi dari pemerintah daerah, akhirnya masyarakat mengadukan masalah tersebut Pemerintah Provinsi  (Pemprov). Akibatnya juga Pemprov Kalteng melalui Gubernur Kalteng Teras Narang menganggap bupati Kotim Supian Hadi tidak mampu menyelesaian permasalahan tersebut.
Menurut Ketua DPRD Kotim Jhon Krisli, hal tersebut adalah imbas karena  sering diabaikanya rekomendasi dari  lembaga legislatif yang telah melaksanakan mediasi dari kedua belah pihak yang bersengketa. “ Dewan sudah sering bertindak sebagai mediasi baik itu melalui Rapat Dengar Pendapat (RDP) dan menghasilkan rekomendasi penyelesaian agar dilaksanakan oleh eksekutif. Namun nampaknya rekomendasi itu diabaikan,” tegasnya.
Sementara itu pandangan bebeda diungkaplkan oleh Anggota Komisi II DPRD Kotim Dadang H Syamsu, dia menilai peryataan gubernur tersebut terlalu arogan terhadap seorang kepala daerah yang notabene menjadi  satu susunan pemerintahan yang bersinergi.
”Saya menilai peryataan dari pak Gubernur terlalu arogan terhadap kepala daerah, karenakan gubernur dan bupati itu saling integral dan saling bersinergi untuk memecahkan permasalahan di Kalimantan Tengah ini, Kotim kan bagian dari Kalteng juga ,” terang Politisi PAN tersebut.
Diberitakan sebelumnya, sejumlah masyarakat yang mengaku dari Desa Tangar terpaksa mengadu ke Pemprov Kalteng pada 28 Januari 2013 lalu. Hal ini dikarenakan sengketa lahan antara warga dengan perusahaan perkebunan sawit yang terjadi bertahun-tahun tak kunjung selesai dan ditangani pemerintah daerah (Pemkab). Warga berharap ada keadilan dari pemerintah untuk mengembalikan hak-haknya yang dirampas.
Menanggapi pengaduan masyarakat Kotim ke Pemprov tersebut, Gubernur Kalteng Teras Narang mengungkapkan, selama ini ada kecenderungan masalah lahan yang seharusnya menjadi tanggung jawab kabupaten/kota selalu dilaporkan ke Pemprov Kalteng.  Sebab, lanjutnya Pemprov dinilai lebih mampu menyelesaikan masalah sengketa lahan tersebut.
“ Seharusnya, ada ketegasan dan kemauan dari kepala daerah wilayahnya masing-masing untuk menyelesaikan sengketa lahan. “Semuanya mau ke provinsi, karena dianggap provinsi yang (bisa) melayani dengan baik, karena selama ini jika mengadu ke bupati tak pernah dilayani,” katanya.
Teras menegaskan, rakyat berhak memberi sanksi sosial kepada kepala daerah yang tidak bisa menyelesaikan masalah sengketa lahan yang ada. Sanksi diberikan atas ketidakmampuan kepala daerah tersebut mengakomodir keluhan dan kesulitan rakyat. “Pemerintah daerah harus mampu menjadi jembatan yang baik bagi permasalahan rakyatnya,” tandas Teras.

Bupati Dideadline Dua Pekan, Selesaikan Sengketa Lahan Desa Tangar



PALANGKA RAYA Sabtu, 09 Februari 2013, Bupati Kotawaringin Timur (Kotim) Supian Hadi diberi waktu dua pekan oleh Gubernur Kalteng Agustin Teras Narang untuk menyelesaikan sengketa lahan antara warga Desa Tangar dengan anak perusahaan PT Wilmar Group di wilayahnya. Jika tak bisa diselesaikan dalam batas waktu tersebut, Diran meminta bupati untuk melapor ke Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kalteng agar kasus tersebut ditangani Pemprov. Instruksi yang sama juga berlaku untuk bupati/walikota lainnya di Kalteng.
“Pak Gubernur tegas, saat ini surat edaran sudah ada di tangan saya, dan beliau menugaskan saya untuk menandatangani surat itu. Melalui Surat Edaran Gubernur, maka para bupati/wali kota hanya diberikan waktu dua minggu untuk menyelesaikan persoalan tersebut (sengketa lahan),” kata Wakil Gubernur Achmad Diran.
Sekadar diketahui, keluarnya instruksi ini bermula ketika sejumlah masyarakat yang mengaku dari Desa Tangar Kotim, terpaksa mengadu ke Pemprov Kalteng pada 28 Januari 2013 lalu karena sengketa lahan antara warga dengan perusahaan perkebunan sawit yang terjadi bertahun-tahun tak kunjung selesai ditangani Pemkab Kotim. Warga berharap ada keadilan dari pemerintah untuk mengembalikan hak-haknya yang dirampas.
Permasalahan sengketa lahan antara warga dengan salah satu anak perusahaan perkebunan Wilmar Group tersebut mendapat ditanggapi serius Wakil Gubernur Achmad Diran. Bahkan, Diran menegaskan akan memanggil manajemen perusahaan dan melakukan pertemuan dengan warga Tangar. Namun, kedatangan Diran tersebut batal karena Gubernur meminta kasus itu harus ditangani bupati dan menjadi tanggung jawabnya selaku kepala daerah di wilayah itu.
Diran menegaskan, apabila dalam waktu dua pekan ternyata Bupati Kotim serta kepala daerah lainnya tetap tidak mampu menyelesaikan sengketa lahan yang terjadi di wilayahnya, maka para kepala daerah tersebut diminta segera melapor ke provinsi, agar pemprov bisa turun tangan menyelesaikan masalah tersebut.
Namun, jika itu terjadi, hal tersebut memperlihatkan ketidakmampuan seorang kepala daerah menyelesaikan masalah di wilayahnya. Kualitas sebagai seorang pemimpin patut dipertanyakan dan sanksinya berupa sanksi sosial dari masyarakat.
“Seharusnya, kalau ada perosalan antara pihak perusahaan dengan masyarakat, maka pemerintah setempat harus menjembatinnya dan bupati harus merundingkannya. Begitu juga kalau bupati sudah angkat tangan dan secara tertulis menyatakan tidak mampu, lalu melimpahkanya ke provinsi, maka provinsi yang akan langsung menanganinya dengan cara membentuk tim,” jelasnya.

Diran menegaskan, untuk melayani rakyat dan menyelesaikan semua persoalan rakyat, porsinya sudah jelas, misalnya, pada tataran pemerintah pusat ada presiden, provinsi ada gubernur, dan jika di kabupaten/kota ada bupati/wali kota. Sehingga ketika ada persoalan yang membelit masyarakat di kabupaten, maka penyelesainya terlebih dahulu dilakukan di tingkat kabupaten/kota yang bertanggung jawab.


“Provinsi baru bisa membantu menyelesaikan persoalan itu jika kabupaten/kota sudah tidak mampu menyelesaikannya dalam bentuk surat tertulis. Selain itu, sesuai dengan surat Gubernur Kalteng termasuk dari pemerintah pusat, kejadian sengketa lahan yang melibatkan masyarakat dengan investor yang ada di daerah harus diselesaikan bupati/wali kota setempat, karena para kepala daerah itulah yang memberi izin kepada investor untuk beroperasi di wilayahnya,” tegasnya.
Kepala Dinas Perkebunan Kalteng Rawing Rambang menuturkan, apabila terjadi ganguan usaha perkebunan antara perusahaan perkebunan dengan masyarakat, harusnya masalah itu diselesaikan di tingkat kabupaten terlebih dulu melalui musyawarah dan mufakat.  Namun, apabila perusahaan tetap membandel, merupakan hak kabupaten untuk mengevaluasi izin yang perusahaan tersebut dan memberi sanksi.
”Kalau perusahaan dinilai tidak mau menyelesaikan persoalan tersebut baik-baik, ya tinggal kabupaten saja mengenai izinnya bagaimana, sesuai dengan ketentuan yang berlaku,” tegasnya.
Rawing juga meminta kepada para investor agar dalam melaksanakan kegiatan dapat melibatkan masyarakat sekitar dengan pola kemitraan. Dengan cara itu, masyarakat benar-benar dapat merasakan dampak postif dari pembangunan perkebunan kelapa sawit di wilayahnya. Menurutnya, sengketa lahan yang kerap terjadi selama ini sebagian besar diakibatkan kurangnya komunikasi dan interaksi antara perusahaan dengan masyarakat sekitar. 

“Karena itu, pihak perusahaan jangan sampai menutup jalur komunikasinya dengan masyarakat. Begitu juga masyarakat, dalam menyelesaikan setiap persoalan yang terjadi dengan para investor, diharapkan yang mewakili masyarakat adalah benar-benar tokoh masyarakat setempat yang bisa dipercaya dan berjuang murni demi keperluan masyarakat, seperti kepala desa dan tokoh adat,” tandasnya. 

Sabtu, 09 Februari 2013

Bupati Harus Selesaikan Masalah Warga


TERKAIT SENGKETA LAHAN
PALANGKA RAYA – Pemprov Kalteng belum memutuskan apakah permasalahan sengketa lahan yang terjadi antara masyarakat Desa Hanau dan Danau Seluluk, Kabupaten Seruyan dengan perusahaan perkebunan PT Musirawas dan PT Sumber Pandan Wangi (anak perusahaan PT Musiwaras Group), akan diambil alih Pemprov.
Pemprov Kalteng masih memberikan tenggat waktu selama 2 pekan sejak masalah itu diungkapkan masyarakat 2 desa itu kepada Wakil Gubernur Achmad Diran di ruang kerjanya, Jumat (1/2) lalu. Diran menegaskan bahwa Gubernur Kalteng Agustin Teras Narang telah meminta dirinya untuk memerintahkan Bupati Seruyan Darwan Ali segera menyelesaikan masalah tersebut.
Demikian disampaikan Diran di sela-sela menghadiri puncak peringatan Bulan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Tingkat Provinsi Kalteng di Kantor Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Provinsi Kalteng, Kamis (7/2). “Masalah ini harus diselesaikan oleh Bupati Seruyan melalui perundingan yang melibatkan masyarakat dan perusahaan,” katanya.
Masih berkaitan dengan maraknya sengketa lahan antara masyarakat dan perusahaan terutama perkebunan kelapa sawit, Diran mengaku telah diminta Gubernur untuk menandatangani surat edaran kepada bupati/walikota se-Kalteng. Surat itu, kata dia, antara lain, meminta kepada bupati/walikota segera menyelesaikan masalah sengketa lahan di daerahnya, paling lambat selama 2 pekan.
Menurut mantan Bupati Barito Selatan ini, pada dasarnya wilayah di Indonesia sudah terbagi habis dan memiliki pemimpin masing-masing. Pemerintah Pusat ada Presiden, provinsi ada gubernur, di kabupaten/kota ada bupati/walikota, hingga kecamatan dan desa.
Karena itu, apabila ada masalah antara masyarakat dan perusahaan, ia minta agar persoalan tersebut diselesaikan di tingkat kabupaten. “Harus diselesaikan dulu di kabupaten, karena merekalah (bupati) yang memberi izin di daeranya,” tegas Diran.
Apabila masalah yang dihadapi tidak mampu diselesaikan di kabupaten/kota, maka bisa saja diambil alih oleh Pemprov. Namun begitu, bupati/walikota harus membuat surat pernyataan tidak sanggup menangani masalah di daerahnya dan melimpahkan kepada Pemprov Kalteng. Selanjutnya, Pemprov akan membentuk tim untuk menyelesaikan persoalan itu. Tim tersebut melibatkan pihak kepolisian, TNI, dan berbagai instansi terkait lainnya.
“Kalau ada bupati menyatakan tidak mampu menyelesaikan persoalan itu, maka kualitasnya sebagai seorang bupati patut dipertannyakan dan sanksi sosial dari masyarakatnya,” katanya.
Diberitakan sebelumnya, persoalan warga dengan perusahaan sawit di Seruyan sudah berlangsung cukup lama, lebih dari 10 tahun namun belum selesai. Namun yang menjadi persoalan, ketika masyarakat memohon bantuan kepada Pemkab Seruyan dan DPRD setempat, seolah tidak mempedulikan sehingga persoalan itu berlarut.
Kegalauan warga itu dilatari persoalan antara masyarakat setempat dan pihak perusahaan sawit yang dinilai belum membangun kebun plasma 20 persen dan menjalankan Corporate Social Responsibility (CSR) untuk masyarakat sekitar perusahaan.

Pemkab Kotim Diminta Ukur Ulang HGU PT Wilmar


PALANGKA RAYA – Konflik antara warga Desa Tangar, Kecamatan Mentaya Hulu, Kotim dan PT Wilmar Group harus segera dicarikan titik temu. Salah satunya dengan cara mengukur ulang HGU PBS itu.
Komisi B DPRD Kalteng meminta Pemkab Kotawaringin Timur (Kotim) mengukur ulang izin hak guna usaha (HGU) PT Wilmar Group, yang diduga telah merambah tanah masyarakat Desa Tangar, Kecamatan Mentaya Hulu. Tujuannya, untuk mengetahui kebenaran laporan masyarakat di desa itu, kemudian memberikan solusi atas sengketa lahan masyarakat dengan pihak perusahaan besar swasta (PBS) yang bergerak di bidang perkebunan kelapa sawit itu.a
Menurut anggota DPRD Kalteng Punding LH Bangkan, tuntutan masyarakat Desa Tangar kepada PT Wilmar Group harus disikapi secara bijak oleh pemerintah, terlebih Pemkab Kotim. Sehingga, persoalan yang telah berlangsung bertahun-tahun tersebut dapat diselesaikan dengan baik.
Salah satu yang perlu diingat dan dipegang oleh para investor yang menanamkan modalnya di Bumi Tambun Bungai ini, mempunyai izin yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Perizinan itu harus ditaati dan jangan sampai dilanggar. Hal itu pulalah yang harus diingat oleh PT Wilmar, agar bekerja dan berusaha di daerah ini sesuai dengan izin yang telah ditetapkan.
Jika dalam HGU PT Wilmar itu ada tanah rakyat, maka sesuai klausul dalam peraturan perkebunan, PT Wilmar harus mengganti rugi tanah rakyat itu atau diinklapkan. Hal itu untuk menghindari adanya gesekan antara pihak perusahaan dan masyarakat setempat.
“Hal yang perlu dipegang adalah investor harus mempunyai izin, aturan itu harus ditaati dan jangan sampai dilanggar. Apabila di dalam HGU itu ada tanah rakyat, ganti rugi dong dan inklapkan,” kata Punding, Selasa (29/1).
Lebih lanjut, anggota Komisi B DPRD Kalteng, yang membidangi masalah perekonomian ini mengatakan, jika memang ada laporan masyarakat mengenai PT Wilmar Group yang diduga membuka lahan diluar izin yang telah ditetapkan, kiranya Bupati sebagai pemberi izin harus dapat bertindak tegas.
“Kalau sampai mereka membuka lahan diluar izin sesuai dengan laporan masyarakat, maka mereka telah melanggar aturan hukum. Pemberi izin harus tegas, beri sanksi kepada mereka. Kalau perlu cabut saja izinnya, sehingga pelanggaran tidak terjadi lagi di kemudian hari,” tegas Punding.
Wakil rakyat dari daerah pemilihan (Dapil) Kalteng V, yang meliputi Kabupaten Kapuas dan Pulang Pisau ini mengatakan, yang sering terjadi dan tidak jalan di Kalteng sekarang ini, banyak klausul dalam izin yang tidak diperhatikan oleh pihak perusahaan. Dimana klausul-klausul dalam perizinan itu dilanggar seenaknya, tanpa ada tindakan tegas dari Bupati sebagai pemberi izin. “Agar laporan masyarakat itu tidak menjadi fitnah, Pemkab Kotim harus ukur ulang HGU PTR Wilmar Group, agar tidak menimbulkan gejala sosial dan ekonomi,” terangnya.
Ia juga meminta kepada Pemkab Kotim untuk tidak tinggal diam dalam menerima laporan masyarakat. Adanya laporan harus disikapi secara bijak, agar persoalan yang terjadi antara masyarakat dan pihak PT Wilmar Group itu tidak berlarut-larut. Untuk itu ia mendesak perlunya mengukur ulang HGU PBS itu.
Menurutnya, selama ini Komisi B DPRD Kalteng selalu jadi tumbal karena permasalahan perkebunan maupun pertambangan ini. Sementara Bupati seakan cuci tangan terhadap masalah yang menimpa masyarakat. Untuk itulah, jika ada permasalahan lagi ke depannya, pihaknya akan langsung memanggil Bupati setempat.
“Kita dari Komisi B jadi tumbal terus. Suatu saat kita panggil Bupati untuk menyelesaikan masalah ini. Kalau memang ada hak rakyat, kami minta itu segera dikembalikan oleh PT Wilmar Group, agar tidak terkatung-katung. Kalau tidak mau mentaati aturan, Wilmar disuruh hengkang dari wilayah ini,” tegasnya.

Tanggung Jawab Bupati, Teras Perintahkan Diran Surati Supian Hadi


PALANGKA RAYA, Bupati Kotawaringin Timur (Kotim) Supian Hadi diminta bertanggungjawab terhadap masalah sengketa lahan di wilayah itu, khususnya yang terjadi di Desa Tangar, Kotim, dimana sengketa tersebut dilaporkan ke Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kalimantan Tengah (Kalteng). Jika masalah konflik lahan tidak bisa diselesaikan, artinya, Supian Hadi bukan seorang bupati yang baik, dimana seharusnya dapat merespons permasalahan rakyat di wilayahnya.
“Pemerintah harus mampu menjadi jembatan yang baik, kalau tak mampu menyelesaikan (masalah sengketa lahan), berarti bukan sebagai bupati yang baik,” kata Gubernur Kalteng Agustin Teras Narang, Selasa (5/2).
Seperti diketahui, sejumlah masyarakat yang mengaku dari Desa Tangar, Kotim, terpaksa mengadu ke Pemprov Kalteng pada 28 Januari 2013 lalu karena sengketa lahan antara warga dengan perusahaan perkebunan sawit yang terjadi bertahun-tahun tak kunjung selesai ditangani Pemkab. Warga berharap ada keadilan dari pemerintah untuk mengembalikan hak-haknya yang dirampas.
Permasalahan sengketa lahan antara warga dengan salah satu anak perusahaan perkebunan Wilmar Group tersebut mendapat ditanggapi serius Wakil Gubernur Achmad Diran. Bahkan, Diran menegaskanakan akan memanggil manajemen perusahaan dan melakukan pertemuan dengan warga Tangar.

Dari laporan warga Tangar, lahan milik 287 kepala keluarga di desa itu sudah habis digarap perusahaan. Bahkan, sejak tahun 2005 masyarakat di Desa Tangar menuntut lahan plasma namun tidak dihiraukan. Diran menegaskan akan berupaya menyelesaikan masalah itu dengan membentuk tim dan segera mengecek ke lapangan.
Menurut Teras, dirinya telah meminta Diran untuk menyurati Supian Hadi agar dapat menyelesaikan permasalahan sengketa lahan di Desa Tangar tersebut. Kalau ternyata masalah tersebut tak kunjung selesai, lanjutnya, artinya bupatinya tidak mampu menyelesaikan masalah yang menjadi keluhan rakyatnya.
“Kami sudah memberikan petunjuk apa yang harus diselesaikan bupati karena itu adalah tugas dari bupati. Jadi sesuai dengan mekanisme yang ada, bahwa penyelesaian itu selalu kita minta ke kabupaten,” tegas Teras.
Teras mengungkapkan, selama ini ada kecenderungan masalah lahan yang seharusnya menjadi tanggung jawab kabupaten/kota selalu dilaporkan ke Pemprov Kalteng, sebab, Pemprov dinilai lebih mampu menyelesaikan masalah sengketa lahan tersebut. Seharusnya, ada ketegasan dan kemauan dari kepala daerah wilayahnya masing-masing untuk menyelesaikan sengketa lahan. “Semuanya mau ke provinsi, karena dianggap provinsi yang (bisa) melayani dengan baik, karena selama ini ke bupati tak pernah dilayani,” katanya.
Teras menegaskan, rakyat berhak memberi sanksi sosial kepada kepala daerah yang tidak bisa menyelesaikan masalah sengketa lahan yang ada. Sanksi diberikan atas ketidakmampuan kepala daerah tersebut mengakomodir keluhan dan kesulitan rakyat. “Pemerintah harus mampu menjadi jembatan yang baik bagi permasalahan rakyatnya,” tandas Teras.
Di tempat lain, rapat dengar pendapat (RDP) Komisi B Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Kalteng dengan PT. Antang Ganda Utama (AGU) , Rabu (6/2/) batal terlaksana. Penyebabnya, pihak perusahaan yang diundang tidak bisa hadir. Terang saja, atas pembatalan ini, komisi B dibuat kecewa, padahal dewan akan meminta pemaparan terkait sengketa lahan antar masyarakat di empat desa dengan PT. AGU.
"Saya sayangkan rapat tidak jadi digelar, padahal agenda rapat ini jauh-jauh hari sudah dipersiapkan. Kita ingin mencari solusi terkait sengketa lahan ini. Kalau seperti ini, kita tidak bisa berbuat apa-apa,” ungkap  Komarudin Hadi, anggota DPRD setempat. Dikatakan Komarudin, pihaknya baru menerima surat yang tidak ada tanggal dari PT. AGU yang menerangkan Bahwa mereka tidak bisa hadir dalam rapat ini.
Walter S. Penyang selaku ketua Komisi B sangat menyangkan sengketa lahan yang sering terjadi di wilayah Kalteng. Seharusnya sengketa lahan ini diselesaikan dulu di kabupaten, karena ini adalah suatu tanggung jawab kepala daerah.
Komisi B akan kembali menjadwalkan rapat setelah melakukan rapat internal dan melaporakan kepada Ketua DPRD Provinsi Kalteng. Menurut Walter S. Penyang, rapat dengar pendapat diupayakan dilaksanakan secepatnya, mengingat masayarakat mendesak agar sengketa lahan ini segera diselesaikan.

Jumat, 01 Februari 2013

Mabes Polri Bidik Perkebunan Sawit Kalteng


Pejabat Daerah Terancam Terseret
SAMPIT – Banyaknya permasalahan di sektor perkebunan kelapa sawit di Kalteng, ternyata menjadi perhatian Mabes Polri. Bahkan, kabarnya Mabes Polri segera menurunkan tim untuk menyelidiki berbagai kasus pelanggaran hukum yang terjadi di sejumlah perusahaan perkebunan kelapa sawit.
Seperti diketahui, berbagai permasalahan yang sering disebut-sebut banyak dilakukan perusahaan perkebunan kelapa sawit adalah merambah kawasan hutan tanpa ada izin pelepasan kawasan hutan (IPKH) dari Menteri Kehutanan. Tidak sedikit pula perizinan yang dikeluarkan diduga tidak sesuai aturan yang berlaku dan memanfaatkan kayu-kayu yang telah ditebang secara ilegal.
Informasi rencana turunnya tim dari Mabes Polri diungkap sumber Radar Sampit di internal Mabes Polri yang menolak identitasnya disebutkan. “Jika waktunya tepat, tim akan diturunkan ke lapangan. Jadi tunggu saja,” katanya, Selasa (20/12).
Menurut sumber tersebut, di Kalteng memang banyak perusahaan perkebunan yang terindikasi beroperasi secara ilegal serta kerap bersengketa dengan warga. Hal itu menjadi perhatian pemerintah pusat, apalagi perusahaan yang beroperasi ilegal itu telah merugikan negara miliaran hingga triliunan rupiah.
Dia menambahkan, izin-izin yang terindikasi illegal dan diperoleh perusahaan perkebunan itu melibatkan pejabat pemerintah daerah, sehingga tidak menutup kemungkinan jika ada perusahaan perkebunan yang dijerat hukum, pejabat tersebut juga bisa terseret.
Meski demikian, sumber tersebut menolak mengungkap sejauh mana inventarisasi kasus yang dilakukan Mabes Polri. Jika itu diungkap, dikhawatirkan target operasi bisa menghilangkan barang bukti dan sudah mengambil ancang-ancang untuk menghindar.        
“Pokoknya tunggu saja, yang pasti kita tidak tinggal diam terhadap pelanggaran-pelanggaran hukum yang terjadi, baik oleh perusahaan baik pejabat pemerintahan,” tegasnya.
Indonesian Cooruption Watch (ICW) sebelumnya mengungkapkan, praktek perkebunan illegal di Kalteng disinyalir telah merugikan negara sebesar Rp 47,17 trilyun. Jumlah tersebut merupakan pendapatan daerah yang seharusnya diterima Kalteng dari perkebunan illegal tersebut selama kurun waktu empat tahun, yakni, dari 2005 - 2010.
Peneliti divisi monitoring analisis anggaran ICW, Mouna Wasef mengatakan, potensi penerimaan negara yang hilang akibat laju deforestasi di Kalteng mencapai Rp 51,36 triliun dari tahun 2006-2009.
Namun, lanjutnya, berdasarkan data yang diolah dari realisasai APBD Kalteng dan statistik BPS tahun 2010, pemasukan yang diperoleh dari sektor kehutanan dan perkebunan itu yakni, dari PSDH, DR, PBB kehutanan dan perkebunan, BPHTB, dan dana bagi hasil pajak dan bukan pajak hanya berkisar Rp 2,56 triliun dengan total pendapatan daerah sebesar Rp 4,19 triliun. “Jadi terdapat selisih yang cukup besar dari total potensi aset negara yang seharusnya dapat diterima, yaitu Rp 47,17 trliyun selama empat tahun,” katanya.
Sementara berdasarkan data Save Our Borneo (SOB) Kalteng, perusahaan besar swasta (PBS) perkebunan kelapa sawit yang beroperasi di Kalteng sebanyak 145 izin, namun, hanya 66 PBS dengan total seluas 786.228 hektare yang telah mendapat izin pelepasan kawasan hutan (IPKH) dari Menteri Kehutanan, sementara sisanya sebanya 86 izinnya diduga bermasalah.
Penyelidikan terhadap perusahaan perkebunan illegal sebelumnya telah dilakukan oleh tim gabungan yang terdiri dari, Kementerian Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup, Mabes Polri, dan Kejaksaan Agung. Pada Juni 2011 lalu mereka disebar ke sejumlah wilayah di Kalteng untuk melakukan penyidikan secara itensif.
 “Di Kalteng tim gabungan sudah turun semua. Memang ada unsur penyalahgunaan wewenang dan diduga ada korupsi serta menduduki kawasan tanpa izin berdasarkan UU 41/1999 dan kami serahkan ke KPK. Sudah ada 20 penyidik disini (Kalteng) dan KPK menurunkan timnya sendiri. Ada yang hampir ditetapkan tersangka, namun masih dalam penyidikan dulu,” kata Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (Dirjen PHKA) Kementerian Kehutanan, Darori  kepada wartawan, 28 Juni 2011 lalu di Palangkaraya.
Namun, hingga kini, belum ada informasi terkait hasil penyelidikan tim gabungan tersebut. Menurut data Kemenhut, kasus pemberian izin di luar prosedur di Kalteng terdiri dari pertambangan sebanyak 629 kasus dengan lahan seluas 3.570.519ha, kemudian perkebunan 282 kasus seluas 3.934.963ha dan hanya 12 izin yang dinilai memenuhi syarat (prosedur).

Sengketa Kawasan HPA Resahkan Masyarakat


Sampit, Kalteng - Sengketa kawasan di wilayah Kecamatan Antang Kalang, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah yang melibatkan perusahaan perkebunan kelapa sawit Hati Prima Agro (PT HPA) meresahkan masyarakat daerah itu. "Beberapa warga masyarakat daerah itu sudah ada yang mendatangi kami untuk menyampaikan dampak dari dicabutnya izin PT HPA oleh Bupati Kotim Supian Hadi," kata Wakil Ketua DPRD kabupaten Kotim, Juanda di Sampit, Senin.

Selain mengaku resah akan kehilangan pekerjaan, sekelompok masyarakat tersebut bahkan rencananya akan menggelar demonstrasi ke pemerintah daerah. Mereka berniat menggelar demonstrasi, namun DPRD menyarankan agar masalah tersebut disampaikan melalui Rapat Dengar Pendapat (RDP) saja di lembaga legislatif.

Informasinya setelah izin PT HPA dicabut akan segera berpindah tangan. Sementara pihak PT HPA, masih melakukan klarifikasi ke Kementerian Kehutanan (Kemenhut) di Jakarta.
Menurut Juanda, permasalahan cabut mencabut izin dan kemudian memberikan kepada perusahaan lain akan menyebabkan implikasi hukum, dan keributan di kalangan masyarakat.

Untuk mengantisipasi hal tersebut, DPRD Kabupaten Kotim akan memfasilitasi dan melalui komisi I yang membidangi hal itu sudah disampaikan untuk segera dijadwalkan RDP. "Dengan dilakukan RDP kami harap duduk permasalahannya akan jelas dan segera di carikan jalan keluarnya agar tidak ada pihak yang dirugikan," katanya.
Sementara Ketua Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Gerbong Kepentingan Rakyat (Bongkar) Kabupaten Kotim, Audi Valent, mendukung permasalahan itu diselesaikan dengan duduk bersama pada ajang RDP.

Terkait tentang adanya kabar bahwa izin PT HPA akan diberikan kepada perusahaan lain, dia mengaku terkejut dan turut mempertanyakan cepatnya perkembangan masalah tersebut. "Padahal kami tahu PT HPA sedang melakukan klarifikasi ke Kemenhut, tapi kok izin arealnya akan diserahkan ke perusahaan lain. Tentu itu ada sesuatu, apakah ini ada unsur tukar kepentingan atau gratifikasi kepada para pejabat daerah perlu diawasi bersama-sama, termasuk masyarakat sekitar lokasi sengketa.

Lebih lanjut Audi menyatakan, lembaganya juga mendukung agar permasalahan itu bisa dibawa dalam sebuah forum untuk mengupas kenapa dan ada apa dibalik pencabutan izin tersebut.

Warga Khawatirkan Dampak Kebocoroan Limbah Minyak Sawit


INSTALASI pengolahan limbah minyak sawit (crude palm oil/CPO) dari pabrik milik PT Mustika Sembuluh di Desa Pondok Damar, Kecamatan Mentaya Hilir Utara diduga mengalami kebocoran.

Menurut penuturan warga, limbah pabrik CPO yang ber­asal dari kolam satu pada instalasi itu mengalir ke parit-parit di sekitar perkebunan. “Limbah yang keluar tersebut mengeluarkan bau yang tidak sedap dan membuat kulit gatal-gatal,” ungkap warga Desa Pondok Damar bernama Wanto kepada Borneonews, kemarin.

Dia menambahkan, kejadian itu sudah berlangsung tiga hari yang lalu. Dahlan, warga lainnya, mengaku sangat terganggu dengan bau limbah tersebut. Selain mengeluarkan bau tak sedap, air sungai yang berada tidak jauh dari areal perkebun­an kini berubah berwarna menjadi merah kehitam-hitaman. “Sekarang pihak perusahaan sibuk menutupi bekas limbah yang bocor. Mereka mengerahkan ekskavator untuk mengeruk dan menutupi aliran limbah,” lanjut Dahlan.

Berdasarkan pantauan Borneonews, kemarin, hampir separuh isi kolam limbah yang di­duga bocor tidak ada lagi di kolam pembuangan. Satu ekskavator dikerahkan pihak perusahaan untuk membuat tanggul di sisi kolam serta menimbun bekas aliran limbah yang bocor ke parit-parit. Namun, bekas kebocoran limbah di sisi-sisi parit tidak bisa disembunyikan. Bekas kerukan tanah dengan ekskavator yang digunakan menimbun aliran limbah yang bocor terlihat jelas. Genangan air berwarna hitam pekat dan berminyak juga masih tampak di sisi parit.

Saat diverifikasi ke pihak perusahaan, seorang petugas keamanan yang sedang berjaga di pos menyatakan pihak manajemen tidak bisa ditemui karena sedang cuti, sebagian lagi tengah dalam per­jalanan dinas ke Palangkaraya. “Maaf Pak, pimpinan tidak bisa menemui. Pak Jhon, Kepala Bagian HRD, sedang cuti. Sedangkan Robi Alamsyah, dari  Bagian RO, sedang ke Palangka raya,” ucap petugas bernama Hadi Mulyadi itu.

Waspada di musim hujan 
Terpisah, Kepala Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kotawaringin Timur (Kotim), menyatakan pihaknya telah mengingatkan jauh-jauh hari kebocoran limbah CPO saat musim hujan. BLH telah me-ngeluarkan peringatan terhadap sebagian pabrik pengolah­an minyak mentah kelapa sawit.

Warga Tumbang Pesangon Khawatir PT KAP Babat Hutan Penyangga


PALANGKARAYA - Pihak perusahaan telah melakukan survei dengan aparat desa setempat ke hutan penyangga. Warga khawatir perusahaan itu tetap membabat hutan tersebut, meskipun sudah ada penolakan.
Masyarakat Desa Tumbang Pesangon, Kecamatan Kahayan Hulu Utara, Kabupaten Gunung Mas, khawatir hutan yang selama ini mereka jaga akan habis dibabat oleh perusahaan besar swasta (PBS) PT Kahayan Agro Plantation (PT KAP) yang bergerak di bidang perkebunan kelapa sawit. Hutan tersebut merupakan satu-satunya hutan yang selama ini dijadikan sebagai penyangga.
Berdasarkan laporan masyarakat yang disampaikan warga kepada anggota DPRD Kalteng Punding LH Bangkan, PT KAP tetap memaksakan kehendak menggarap hutan di wilayah tersebut untuk dijadikan lahan perkebunan kelapa sawit. Padahal sebelumnya, masyarakat dengan tegas menolak, karena sebagian besar lahan yang masuk dalam areal perusahaan itu adalah kebun karet masyarakat. “Berdasarkan laporan masyarakat kepada kita, PT KAP tetap ngotot menggarap hutan di wilayah itu. Bahkan belum lama ini pihak perusahaan telah melakukan survei dengan aparat desa setempat ke hutan itu,” 
Dikatakannya, ditolaknya PBS bidang perkebunan tersebut oleh masyarakat disebabkan dari luas total areal sebesar 17.500 hektare, dari data vegetasi perusahaan itu, sebanyak 67,58 persen adalah hak masyarakat. Yang mana 12,34 persen adalah belukar dan 55,24 persen kebun karet masyarakat. Sedangkan sisanya sebesar 32,42 persen adalah hutan. “Hutan yang besarnya 32,42 persen inilah yang ingin tetap mereka garap. Padahal hutan ini merupakan satu-satunya hutan yang dijadikan penyangga di wilayah tersebut,” jelas Punding.
Lebih lanjut, anggota Komisi B DPRD Kalteng ini mengatakan, yang dikhawatirkan masyarakat, dengan adanya survei tersebut, hutan yang selama ini dipertahankan masyarakat untuk dijadikan sebagai penyangga akan dibabat dan dibasmi. Ini nantinya akan berdampak langsung terhadap kerusakan lingkungan di wilayah tersebut. Untuk itu ia meminta kepada pemerintah daerah, baik Pemerintah Kabupaten Gunung Mas maupun Pemprov Kalteng melihat persoalan itu. Sebab, selama ini jika ada hutan gundul dan ditebang, yang disalahkan selalu masyarakat.
Tapi, dengan adanya niat yang baik dari masyarakat diwilayah itu untuk tetap mempertahankan fungsi hutan tersebut, harusnya didukung penuh oleh pemerintah, khususnya pemerintah daerah.  Dari laporan masyarakat yang ia terima, PT KAP ingin menggarap hutan tersebut karena adanya izin dari pemkab. Namun perusahaan lupa dengan aturan, meskipun sudah ada izin dari pemkab, tetapi kalau belum mengantongi izin pelepasan kawasan hutan, mereka tidak bisa menggarap lahan tersebut, terlebih melakukan aktivitasnya.
“Lahan yang ada itukan juga masuk dalam perkebunan karet rakyat, yang hasilnya selama ini terbukti bisa meningkatkan perekonomian masyarakat di desa itu. Di lahan tersebut juga merupakan wilayah tempat masyarakat bertani. Sebagai wakil rakyat saya salut terhadap masyarakat setempat yang tetap konsisten menjaga hutan, dan ini perlu didukung oleh semua pihak,” pungkasnya.
Wakil rakyat dari daerah pemilihan (Dapil) Kalteng V, yang meliputi Kabupaten Kapuas dan Pulang Pisau ini juga meminta kepada aparat penegak hukum dan Dinas Kehutanan agar bertindak tegas dalam menyikapi permasalahan tersebut. Jangan sampai melakukan pembiaran. Memaksakan kehendak kepada masyarakat.
Politisi dari Partai Demokrat ini juga mengatakan, gelombang penolakan masyarakat Kalteng terhadap perusahaan besar swasta (PBS) perkebunan sawit di beberapa wilayah di Kalteng dapat dipelajari dan dicermati oleh pemerintah. Penolakan tersebut mempunyai alasan untuk mempertahankan haknya.