Rabu, 26 Juni 2013

Delapan Bulan, Putusan MA Belum Turun

Eksekusi Manager Estate PT KHS Ibrahim Lisaholit Tunggu Putusan

Palangka Raya – Manager Estate perusahaan perkebunan besar swata (PBS) PT Kalimantan Hamparan Sawit (KHS) Ibrahim Lisaholit Bin Husein Lisaholit di Tumbang Talaken, Kecamatan manuhing, Kabupaten Gunung Mas (Gumas) Kalimantan Tengah (Kalteng) tampak masih menghirup udara segar.

Pasalnya, delapan bulan putusan Mahkamah Agung (MA) nomor 1363 K/PID/.SUS/2012, tanggal 10 Oktober 2012 yang menetapkan terdakwa bersalah melakukan tindak pidana “melakukan kealpaannya mengakibatkan pencemaran Dan/ atau perusakan lingkungan hidup” dengan hukuman kurungan penjara 1 tahun dan denda sebesar Rp200.000.000, belum juga diterima oleh Kejaksaan Negeri Kuala Kurun.

Kepala Kejaksaan Negeri Kuala Kurun, Jaja SH ketika di konfirmasi Via Telepon, senin (24/6) sore mengatakan, hingga saat ini, pihaknya belum menerima salinan putusan MA, sebgai mana yang dimaksud. Karena itu, dia memerintahkan Jaksa untuk menelusuri putusan MA Nomor. 1363 K/PID.SUS/2012 tersebut.

“Hingga saat ini, kami belum juga menerima salinan putusan. Tetapi saya sudah memerintahkan Jaksa untuk menelusurinya. Kalau memang sudah ada salinan putusan MA tersebut, tidak ada alasan bagi kami untuk tidak mengeksekusinya, sesuai amar putusan MA dimaksud ,”tukasnya.
Seperti diketahui, perkara yang menjerat Ibrahim Lisaholit satu tahunpenjara dan denda Rp200 juta, dengan ketentuan apabila tersebut tidak dibayar, maka kepada terpidana dikenakan pidana pengganti berupa pidana kurungan selama enam bulan, bermula dari kasus pembiayaan terjadinya kasus kebakaran dilokasi PBS PT KHS sekitar tahun 2009 lalu.

Kasus tersebut ditangani oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kabupaten Gunung Mas yang kemudian berkasnya dilimpahkan ke Polres Gunung Mas. Dalam perkembangannya, penyidik polres Gumas pada tahun 2011 lalu menetapkan status Ibrahim Lisaholit sebagai tersangka.

Setelah berkasnya dinyakan lengkap dan berkasnya dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Kuala Kurun sebagai penuntut, menuntut terdakwa di Pengadilan Negeri Palangka Raya. Namun, putusan Pengadilan Negeri Palangka Raya nomor 406/Pid.SUS/2011/PN.PL.R tanggal 7 Februari 2012 membebaskan terdakwa dari segala dakwaan Jaksa pengadilan Negeri Kuala Kurun.

Atas putusan PN Palangka Raya tersebut, kmudian tanggal 17 februari 2012 Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan negeri Kuala Kurun mengajukan permohonan kasasi terhadap putusan Pengadilan Negeri, sebagai akta tentang permohonan kasasi nomor 04/Akta/Pid/K/-2012/PN.PL.R yang dibuat oleh Panitera pada Pengadilan negeri Palangka Raya.

Dalam uraian direktorat Putusan MA, berdasarkan alasan-alasan yang diuraikan oleh Jaksa Penuntut, Mahkamah Agung berpendapat, bahwa Putusan Pengadilan Negeri Palangka Rayanomor 406/Pid.SUS/2011/PN.PL.R tanggal 7 Februari 2012 tidak dapat dipertahankan lagi, oleh karena itu harus dibatalkan .

Karena permohonan kasasi oleh pemohon kasasi/Jaksa/Penuntut Umum dikabulkan dan Terdakwa dijatuhi Pidana, maka tingkat peradilan dan dalam tingkat kasasi dibebankan kepada terdakwa sebagaimana Pasal 42 Ayat (1) Undang Undang Nomor. 23 Tahun 1997, Undang Undang Nomor. 48 Tahun 2009.

Undang Undang Nomor. 8 Tahun 1981, Undang Undang Nomor. 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang Undang Nomor. 5 Tahun 2004, dan perubahan kedua Undang Undang nomor 3 tahun 2009 serta peraturan perundang-undangan lain yang bersangkutan.

Berdasarkan uraian  Jaksa Penuntut, Majelis Hakim MA yang di ketuai oleh Djoko Suwarko SH MH dan Prof Dr Komariah E Sapardjaja SH serta Sri Murwahyuni SH MH sebagai Anggota, mengabulkan permohonan kasasi dari pemohon kasasi: Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Kuala Kurun tersebut.  Kemudian membatalkan putusan Pengadilan Negeri Palangka Raya nomor 406/ Pid.SUS/PN.PL.R. tanggal 07 Februari 2012.


“Terdakwa Ibrahim Lisaholit bin Husein Lisaholit terbukti secara syah meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana ‘karena kealapaanya mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup’ dengan menjatuhkan hukuman satu penjara dan denda Rp200 juta,” ujar Ketua Majelis Hakim MA, sebagaimana dikutip dalam direktori putusan MA RI. putusan mahkamahagung.go.id

Minggu, 09 Juni 2013

Ancaman Pembukaan Hutan Gambut untuk Perkebunan Kelapa Sawit Berskala Besar

Oleh : Gwirman (ucuy)

Pembangunan hakekatnya merupakan upaya sadar dan terencana yang diarahkan dengan tujuan ’mulia” yakni meningkatkan kapasitas dan kualitas tatanan kehidupan sosial yang lebih baik dengan sasaran akhirnya untuk memberikan kemakmuran dan kesejahteraan bagi rakyat. Wilayah yang memiliki potensi untuk memberikan kesejahteraan tersebut meliputi segala kekayaan yang ada diperut bumi ini, yakni berupa hutan-tanah-air-beserta isinya.

Namun demikian, sadarkah kita kalau ”rayuan” kesejahteraan atas nama pembangunan itu seringkali malah jauh dari harapan? Kebijakan pembukaan kawasan hutan skala besar melalui perkebunan monokultur (sawit) boleh menjadi bukti betapa kebijakan pembangunan disektor ini telah memberikan sejumlah dampak yang tidak menguntungkan bagi masa depan lingkungan, maupun terhadap kondisi sosial dan budaya masyarakat kita yang sebagian besar mengandalkan hidup dan kehidupannya dari hasil sumber daya alam selama ini.

Atas nama pembangunan, hutan-tanah-air sebagai sumber hidup dan kehidupan diambang kehancuran. Hutan sebagai ”apotik dan supermarket” masyarakat selama ini secara pasti hilang, karena pembukaan kawasan hutan skala besar tanpa menyisakan sebatang pohon pun seperti perkebunan sawit sama artinya dengan menghilangkan fungsi hutan. Kebijakan perluasan perkebunan sawit melalui program pembangunan dalam kenyataannya lebih mengedepankan aspek keuntungan ekonomi semata, sementara aspek sosial, adat-budaya dan ekologi yang harusnya mendapatkan tempat teratas yang turut menjadi pertimbangan justru seringkali ”diabaikan”.

Akibatnya, cita-cita pembangunan itu malah kandas dan menyisakan masalah bagi warga. Bila demikian, pantaskah kebijakan dengan ”rayuan” kesejahteraan tersebut dikatakan sebagai sebuah pembangunan bila hasilnya bukan malah memberikan kemakmuran, tetapi malah merugikan masyarakat dan lingkungannya yang harusnya dilindungi oleh Negara (Pemerintah) ?

Dengan demikian, upaya menumbuhkan kesadaran rakyat dengan memahami sejumlah dampak sebagai akibat dari kebijakan perluasan perkebunan monokultur yang juga sekaligus sebagai potensi ancaman bagi kehidupan sosial dan ekologi menjadi penting. Ketika rakyat kian kritis berjuang secara sadar dan berdaulat atas sumber daya alam, maka sesungguhnya negara berhasil ”mencerdaskan” warganya. Sebaliknya, bila warganya hanya menjadi penonton dan bukan tuan serta hanya bersifat acuh (tidak peduli) terhadap kebijakan pembangunan (tidak memiliki keinginan untuk berpartisipasi) pengelolaan sumber daya alam misalnya, maka patut dipertanyakan serta dapat menjadi sebuah refleksi bahwa sesungguhnya negara (pemerintah) gagal “mencerdaskan” warganya.

Sedikitnya ada sejumlah persoalan yang MENJADI potensi ANCAMAN (Tulah) yang dihadapi terkait dengan pembukaan kawasan hutan skala besar melalui perkebunan monokultur diantaranya;

·         Tanah masyarakat diambil perusahaan,
·         Konflik terjadi di masyarakat,
·         Kriminalisasi terhadap masyarakat,
·         Budaya di masyarakat hilang,
·         Krisis pangan di kampung,
·         Hutan menjadi hilang,
·         Binatang dihutan Musnah,
·         Tumbuhan obat-obatan di hutan hilang,
·         Terjadi bencana banjir,
·         Terjadi bencana kekeringan,
·         Terjadi bencana asap,
·         Terjadi krisis air bersih,
·         Tanam tumbuh dan Tembawang masyarakat menjadi lenyap,
·         Sungai-sungai menjadi rusak,
·         Penyumbang emisi karbondioksida diatmosfir,
·         Penyumbang terjadinya pemanasan global dan perubahan iklim, dan
·         Lahan Gambut Rusak.

Komitmen Pemerintah untuk melakukan ”moratorium” dalam pengelolaan sumber daya alam khususnya hutan seiring dengan upaya mengurangi dampak dari pemanasan global yang menjadi pemicu terjadinya perubahan iklim sejatinya baik adanya. Karena dalam dalam tataran realita dilapangan akumulasi emisi akibat aktifitas manusia telah memberikan pengaruh negatif bagi sistem sosial budaya, ekologi, produktifitas hasil pertanian warga, maupun hasil tangkapan perikanan para nelayan.

Namun demikian, dengan lahirnya Permentan Nomor 14/Permentan/PL.110/2009 yang memberikan ruang untuk pemanfaatan Lahan Gambut untuk dapat di konversi Budidaya Perkebunan Sawit. Padahal sebagaimana diketahui kawasan Gambut merupakan areal penting yang perlu diselamatkan. Ketika hutan tropis maupun kawasan gambut sebagai kawasan penyangga, pengatur hidrologi air, penyerap emisi (karbondioksida/CO2) digunduli oleh kebijakan investasi perkebunan sawit, maka jelas berkontribusi menambah meningkatnya suhu bumi (emisi).

Ekosistem lahan gambut sangat penting bagi lingkungan hidup karena merupakan penyangga hidrologi (penyimpan air, pencegah banjir) dan sebagai penyimpan cadangan karbon yang sangat besar. Gambut merupakan ekosistem penting yang dapat memberikan sumbangan terhadap kestabilan iklim global. Sebagai kawasan dengan tipe lahan basah, salah satu hal penting dari lahan gambut dapat mengatur keseimbangan pelepasan air, juga sebagai kawasan sumber flora dan fauna (sumber daya alam hayati).


Lahirnya Peraturan Menteri Pertanian Nomor 14/Permentan/PL.110/2/2009 ini jelas menjadi ancaman bagi ekosistem gambut dan masa depan bumi. Aspek legal mengenai konservasi lahan gambut juga telah diatur dalam Keppres Nomor 32 tahun 1990 tentang Kawasan Lindung. Lahan gambut Kalbar seluas 1,72 juta Ha perlu diselamatkan dari kebijakan yang hanya mengutamakan keuntungan ekonomi semata, karena kita tidak punya cadangan bumi baru. Peran serta semua pihak menjadi urgen untuk melakukan antisipasi bersama dengan menekan laju dampak perubahan iklim yang telah mempengaruhi iklim kehidupan ekonomi, sosial, budaya, adat istiadat masyarakat.