Kamis, 30 Mei 2013

Perusahaan Abaikan Peringatan

SAMPIT, Peringatan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kotawaringin Timur (Kotim) terhadap perusahaan besar swasta (PBS) kelapa sawit PT Tunas Agro Sumber Kencana (TASK) untuk membuka aliran sungai yang ditutup perusahaan di Desa Patai, Kecamatan Cempaga, diabaikan. Sungai yang ditutup itu belum juga dibuka oleh pihak perusahaan, padahal, kecaman dari beberapa pihak sudah cukup keras.

“Perusahaan belum mengembalikan kondisi sungai seperti yang kami minta beberap waktu lalu di DPRD Kotim,” kata perwakilan masyarakat Desa Patai, Agus, kemarin.

Agus menegaskan, pihaknya meminta kejelasan terkait masalah itu. Dia juga mempertanyakan sikap pemerintah daerah terkait tindakan yang akan diambil dan langkah kebijakan untuk menyikapi masalah yang dihadapi warga setempat. “Jika pemerintah sudah melayangkan surat untuk menindak lanjuti hasil RPD, lantas pihak perusahaan juga tidak mengubris surat itu, ada apa?,” katanya.

Dia menilai perusahaan tidak patuh terhadap aturan dan perundang-udangan yang berlaku. “Kami masyarakat sangat dirugikan. Saat ini sungai tersebut tidak lagi bisa kami gunakan untuk jalur sungai sebagai alternatif transportasi keseharian warga desa kami,” jelasnya.

Sebelumnya, Asisten II Pemkab Kotim Halikinor mengaku sudah menindaklanjuti hasil RDP beberapa waktu lalu. “Saat ini kami sudah melayangkan surat peringatan pertama kepada pihak perusahaan untuk menormalisasi kondisi sungai itu seperti semula,” katanya.

Halikin mengatakan, seperti yang dikeluhkan oleh sejumlah masyarakat ke DPRD Kotim melalui RDP, Kondisi sungai tersebut diduga kuat terjadi pencemaran yang disinyalir ada kesengajaan pihak perusahaan dalam melakukan dan memindahkan aliran sungai tersebut ketempat yang tidak seharusnya.

“Dalam peringatan pertama yang kami layangkan kepada pihak perusahaan tersebut, tidak akan hanya berhenti disitu saja. Artinya, apabila tidak digubris, kami akan melayangkan peringatan kedua dan sanksi seterusnya. Yang jelas, kita pemerintah daerah memberikan jalan serta solusi dimana investor yang datang ke Kotim bisa nyaman begitu pula dengan masyarakatnya. Investor bisa datang ke Kotim, asalkan mengikuti aturan yang ada didaerah ini,” tegasnya.

Pihak PT TASK sebelumnya telah berjanji kepada DPRD Kotim untuk secepatnya bisa mengembalikan aliran sungai yang ditutup itu berdasarkan hasil rekomendasi. Namun, ternyata janji itu belum direalisasikan, terbukti masih adanya protes dari warga setempat.




PBS Terancam Sangsi

SAMPIT, Kredibilitas Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kotawaringin Timur (Kotim) kembali diuji. Peringatan yang disampaikan Pemkab kepada perkebunan besar swasta (PBS) kelapa sawit atas nama PT Tunas Agro Sumber Kencana (TASK) terkait penutupan jalur sungai Desa Patai, Kecamatan Cempaga, yang sebelumnya dibahas di DPRD Kotim melalui rapat dengar pendapat (RDP), diabaikan pihak perusahaan. Pemkab saat ini tengah menyiapkan sanksi untuk perusahaan tersebut.

Hal tersebut ditegaskan Asisten II Pemkab Kotim Halikinor, Senin (20/05). “Menindaklanjuti hasil RDP beberapa waktu lalu, saat ini kami sudah melayangkan surat peringatan pertama kepada pihak perusahaan untuk menormalisasi kondisi sungai itu seperti semula,” katanya.

Halikin mengatakan, seperti yang dikeluhkan oleh sejumlah masyarakat ke DPRD Kotim 

melalui RDP, Kondisi sungai tersebut diduga kuat terjadi pencemaran yang disinyalir ada kesengajaan pihak perusahaan dalam melakukan dan memindahkan aliran sungai tersebut ketempat yang tidak seharusnya.

Selain itu, lanjutnya, mengingat kondisi sungai tersebut kesehariannya dipergunakan masyarakat setempat sebagai alternatif transfortasi jalur sungai di Desa Patai, sungai itu sangat bermanfaat untuk masyarakat luas, sehingga pemkab memandang masalah itu perlu segera diselesaikan.

“Dalam peringatan pertama yang kami layangkan kepada pihak perusahaan tersebut, tidak akan hanya berhenti disitu saja. Artinya, apabila tidak digubris, kami akan melayangkan peringatan kedua dan sanksi seterusnya. Yang jelas, kita pemerintah daerah memberikan jalan serta solusi dimana investor yang datang ke Kotim bisa nyaman begitu pula dengan masyarakatnya. Investor bisa datang ke Kotim, asalkan mengikuti aturan yang ada didaerah ini,” tegasnya.

Sementara itu, desakan terus dikeluarkan kalangan DPRD Kotim. Wakil Ketua I, Supriadi, menegaskan, dari hasil RDP tersebut sudah semestinya ditindak lanjuti oleh pemerintah daerah selaku eksekutor, mengingat hal tersebut sudah ditunggu-tunggu oleh masyarakat dan jangan sampai masyarakat justru bergerak sendiri di luar aturan hukum.

Sebelumnya, dalam RDP yang dilaksanakan pada 13 Mei lali, hasil RDP tersebut diantaranya, PT TASK diminta mengembalikan kondisi sungai seperti sediakala, mengingat sungai tersebut merupakan jalur akses alternatif kehidupan masyarakat di wilayah itu, sehingga normaslisasi sungai perlu segera dilaksanakan.

Wakil Ketua DPRD II, Parimus juga mengecam pihak perusahaan atas tindakannya tersebut dan berjanji akan memanggil manajeman tertinggi perusahaan. “Apabila tidak juga dikerjakan oleh pihak perusahaan, DPRD Kotim akan memanggil manajemen pihak perusahaan sampai ketingkat pusat,” tandasnya.


Rabu, 29 Mei 2013

Sungai Bau dan Berbusa Berubah Warna dan Rasa Diduga Karena Herbisida dan Pupuk dari Lahan Perkebunan Sawit

Tumbang Mantuhe 24-05-2013, Permasalahan konflik antara warga dan perusahaan besar sawit (PBS) bukan hanya perampasan paksa atas lahan masyarakat namun juga ada hal yang perlu di perhatikan seksama.

Seperti yang terjadi di desa Mantuhe Kecamatan Manuhing Raya Kabupaten Gunung Mas, masyarakat desa tersebut menduga beberapa anak sungai yang sering di gunakan warga untuk keperluannya telah tercemar akibat penggunaan Herbisida oleh perusahaan yang berada di sekitar desa tersebut, sebut saja PT. Kalimantan Hamparan Sawit (KHS) yang melakukan penggarapan dan penanaman pada tahun 2007 tersebut telah melakukan pencemaran terhadap dua anak sungai yaitu Sungai Oroi dan Sungai Mantuhe yang kedua sungai tersebut merupakan anak sungai dari Sungai Manuhing.

Dikatakan oleh warga, pencemaran tersebut terjadi sejak lama dan akibatnya warga desa yang berada di sekitar dua sungai tersebut tidak bisa lagi menggunakan sungai tersebut terlebih untuk warga yang berpropesi sebagai pencari ikan atau nelayan.

Menurut Deher Jangga (70), warga Desa Mantuhe, “kami tidak tahu persis jenis Herbisida yang digukana yang pasti jika curah hujan meningkat maka aliran sungai tersebut akan mengeluarkan bau yang kurang sedap dan untuk mandi dan menangkap ikan juga sulit terlebih lagi jika air sungai itu di gunakan untuk keperluan memasak”, ucap pria separuh baya ini.

“Padahal sebelum masuknya PT. Kalimantan Hamparan Sawit di desa kami, masyarakat sekitar menggunakan sungai tersebut untuk aktivitas sehari-hari. Namun kenyataannya sekarang sungai tersebut tidak dapat digunakan lagi”, ungkapnya.


Warga Melakukan Ritual Adat Memasang “Hinting Pali” di Areal Perkebunan PT. Kalimantan Hamparan Sawit

Tumbang Mantuhe (25 Mei 2013), konflik agraria antara masyarakat desa Mantuhe, Kecamatan manuhing Raya Kabupaten Gunang Mas, Kalimantan Tengah dengan Perusahaan kelapa Sawit PT. Kalimantan Hamparan sawit (KHS) semakin memanas, pasalnya konflik warga dengan PT KHS yang berlangsung sejak tahun 2006 silam tersebut tak kunjung selesai.

Warga desa Mantuhe yang memiliki sekitar 116 Kepala keluarga dan 476 Jiwa ini menuding bahwa PT. Kalimantan Hamparan sawit (KHS) telah membabat dan mengambil paksa lahan mereka (masyarakat. red) tanpa ada pemberitahuan sebelumnya kepada pemilik lahan.

Menurut penuturan warga setempat dikatakan bahwa di kawasan areal sengketa tersebut pada jaman dahulu warga memanfaatkan hasil hutan tersebut untuk berburu dan mencari getah pantung dan juga digunakan untuk berladang.

PT KHS yang hanya mengantongi Ijin Lokasi (IL) dengan luasan 12000 Ha dan yang baru tergarap sekitar 7000 Ha, telah berperiku kurang bersabat dengan masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Akibatnya pada tanggal 25 mei 2013 puluhan warga dari dua desa yaitu Desa Jalemo dan Desa Mantuhe Kecamatan manuhing Raya, Kabupaten Gunung Mas bersama dengan Save Our Borneo yang kebetulan pada saat itu berperan serta dengan masyarakat berbondong-bondong mendatangi areal PT. KHS yang juga merupakan lahan masyarakat melakukan pemasangan Hinting pali dengan Ritual Adat.

Pemasangan tersebut di karenakan bahwa perselisihan yang berlangsung sejak tahun 2006 silam  tersebut dikatakan tak kunjung selesai tuntutan warga selama beberapa tahun tersebut tidak pernah di indahkan oleh pihak perusahaan yang terbukti tidak mengantongi Ijin Pelepasan Hutan dari Menteri Kehutanan ini.

Menurut penuturan dari Kepala Desa mantuhe Thomas (55) yang juga sebagai coordinator penggerak dalam kegiatan tersebut mengatakan “ sebelumnya kami sudah melakukan koordinasi ke beberapa pihak terkait dengan (Damang, Camat Manuhing Raya, Kepolisian, dan pihak perusahaan) terkait aksi yang akan kami lakukan namun tanggapan tersebut belum menuai hasil yang menyenangkan, maka dengan hal tersebutlah saya bersama warga dan juga Save Our Borneo Berinisiatif sendiri melakukan aksi tersebut (pemasangan Hinting Pali. Red)”, ungkapnya.

“adapun tuntutan warga adalah warga meminta pihak perusahaan mengembalikan seluruh lahan masyarakat yang sebelumnya di garap oleh perusahaan PT. KHS dan mengganti kerugian tanam tumbuh lahan yang sudah tergarap”, ucapnya.

Pemasangan hinting pali yang dilakukan oleh warga Desa Jalemo dan Desa Mantuhe di lakukan oleh Basir Adat (Tokoh Agama Hindu Kaharingan) yang dimaksudkan agar barang siapa atau siapa saja, baik pihak perusahaan maupun siapa saja yang berani malakukan pembongkaran terhadap hinting pali tersebut sebelum atau tanpa ada kesepakatan dari kedua belah pihak (antara Warga yang bersengketa dan Perusahaan) yang menyatakan bahwa hinting pali tersebut akan di buka, maka orang tersebut akan di kenakan sangsi sesuai dengan sangsi adat yang berlaku.

“jika ada yang berani melakukan pembongkaran dengan tanpa ada ijin atau pemberitahuan, maka saya tidak menjamin apa yang kelak akan terjadi pada orang tersebut”, ucap Yusnayan, Kakek berusia 70 tahun ini, kepada salah seorang staf Save Our Borneo yang juga berada dan ikut serta dalam ritual pemasangan hinting pali tersebut, pada Sabtu 25/05/13.


Selasa, 14 Mei 2013

SOB dan Walhi Kalteng, Rilis Film Dokumenter Bertajuk MORATORIUM “Antara Mimpi dan Realita”


Oleh : gwirman (ucuy)

Save Our Borneo (SOB), sebuah lembaga peduli lingkungan, menyatakan sekitar 80% kerusakan hutan yang terjadi di Kalimantan disebabkan ekspansi sawit oleh perusahaan besar. "Kerusakan terbesar hutan di Kalimantan adalah karena pembukaan lahan untuk kelapa sawit, dan sisanya sebanyak 20% karena pertambangan, dan area transmigrasi dan berbagai usaha lainnya,"

SOB memaparkan, berdasarkan prediksi tren 10 tahunan, dari luas Kalimantan yang mencapai 59 juta hektare, laju kerusakan hutan (deforestasi) telah mencapai 864 ribu hektare per tahun atau 2,16%.
Menurut Nordin, kerusakan hutan yang terjadi di Provinsi Kalimantan Tengah tercatat sebagai yang terluas dibanding tiga provinsi lain dari sisi luasan kerusakan yakni mencapai 256 ribu hektare per tahun. Dari lebih 10 juta luas hutan yang dimiliki Kalimantan Tengah, laju kerusakannya telah menembus sekitar 2,2% per tahun.

Deforestasi yang terjadi dipicu oleh konversi hutan yang berlebihan untuk investasi yang bertumpu pada ekstraktif sumberdaya alam khususnya Untuk komoditas pasar seperti kayu logging, aktivitas pertambangan batu bara dan emas dan tanaman monokultur skala besar seperti perkebunan sawit dan hutan tanaman industri.

Secara global dampak yang di timbulkan mengakibatkan ancaman terhadap keselamatan warga diberbagai belahan dunia karena deforestasi juga sebagai salah satu pemicu terjadinya pemanasan global dan perubahan iklim akibat dari pelepasan emisi gas rumah kaca yang berasal dari hutan, di perkirakan emisi yang ditimbulkan oleh deforestasi dan degradasi hutan mencapai 20% dari total emisi GRK pertahun.

Semua pihak mulai mendiskusikan dan mencari solusi dan upaya untuk melakukan sesuatu pada upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim dimana salah satu konsep yang di dorong adalah skema REDD Plus yang menjadi salah satu upaya mitigasi iklim yang disepakati secara global dalam perjanjian Copenhagen untuk di implementasikan sebagai portofolio pasca protocol kyoto.

Dalam kesempatan tersebut SOB melalui rumah produksinya SOBINFOMEDIA berkerjasama dengan Walhi Kalimantan Tengah membuat sebuah Film Documenter yang bertajuk MORATORIUM “Antara Mimpi dan Realitas” yang rencana akan di rilis tanggal 15 Mei 2013.

Menurut Safrudin, SOB staf Media Campaign menyebutkan bahwa film documenter tersebut ini dirilis 5 hari sebelum INPRES No. 10 Tahun 2011 berakhir. Dijelaskan dalam film Documenter tersebut  memberikan gambaran ke khalayak umun bahwa masih banyak praktek-praktek illegal dan pengrusakan kawasan hutan berskala besar di Kalimantan tengah oleh Perkebunan Kelapa Sawit (PKS) yang berada di dalam kawasan Moratorium.

“film ini juga akan membahas apa yang telah di instruksikan oleh Persiden RI yaitu, Pada tahun 2009 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengumumkan bahwa Indonesia berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 26% pada tahun 2020 dengan sumber daya keuangan dalam negeri atau sebesar 41% dengan bantuan internasional”, ucapnya.

Hal ini di tanggapi oleh Pemerintah Norwegia yang kemudian pada tanggal 26 Mei 2010, Pemerintah Republik Indonesia dan Kerajaan Norwegia menanda-tangani Surat Pernyataan Kehendak (LoI) tentang REDD+. Di mana dalam perjanjian ini Pemerintah Norwegia menjanjikan dana hingga AS $1 miliar untuk mendukung sejumlah tindakan Indonesia.

Dalam perjanjian tersebut, salah satu tindakan yang harus dilakukan oleh pemerintah Indonesia adalah melakukan moratorium terhadap perijinan di hutan alam yang kemudian pada tanggal 20 Mei 2011, Presiden SBY mengeluarkan Instruksi Presiden, yang dikenal dengan Inpres No. 10/2011 tentang penundaan ijin baru di kawasan hutan alam Primer dan lahan gambut, ucapnya pria berkaca-mata ini.

Ditambahkan bahwa dalam Film Documenter ini sendiri didalamnya ada beberapa point penting yang harus di pelajari bersama terkait Dari berbagai persoalan yang dilakukan dan ditemukan dilapangan, bahwa menjadi penting bagi pemerintah untuk melakukan beberapa hal antar lain:

1. Melakukan penegakan hukum, dengan melakukan review perijinan dan penegakan hukum terhadap perusahaan yang jelas-jelas telah melakukan aktivitas illegal dalam kawasan hutan di Kalimantan tengah. Penegakan hukum bisa dimulai dengan mengidentifikasi perijinan–perijinan yang tidak prosedural, dan aktivitas illegal di wilayah moratorium.

2. Banyaknya konflik yang muncul di Kalimantan tengah terhubung dengan wilayah-wilayah konsesi untuk perkebunan dan pertambangan sehingga perlu membangun mekanisme pengaduan yang jelas (mekanisme kompain) dan mendorong satu skema resolusi konflik untuk menyeselasiakan konflik-konflik yang sudah terjadi dan dalam upaya meminimalisir konflik di kemudian hari.

3. Mengindentifikasi wilayah penting yang memiliki fungsi ekosistem dan sumber-sumber penghidupan rakyat seperti kawasan lindung masyarakat adat dan kawasan kelola masyarakat untuk perekonomian dan sumber pangan masyarakat melalui kebijakan local maupun nasional dan dimasukan dalam kebijakan tata ruang wilayah .Peta-peta ini didorong dalam upaya pemerintah dengan kebijakan “one map” Policy.

4. Melanjutkan moratorium dengan memperkuat aturan hukumnya dan ruang lingkup moratorium yang berbasis capaian bukan berdasarkan waktu.


Kamis, 02 Mei 2013

Sekelompok Aktivis Lingkungan Memeriahkan Hari Bumi


Pameran Poto, dan Berbagai Macam Lomba Juga Panggung Seni Untuk Memeriahkan Acara Tersebut, dari sekian banyak yang hadir dalam acara tersebut hanya beberapa saja dari Pemprov atau instansi pemerintahan yang hadir.

Sekitar 24 aktivis lingkungan serta organisasi masyarakat yang berada di Palangkaraya bersatu demi meneriakkan kondisi bumi yang sampai saat ini semakin hari semakin dibuat tidak menentu. Seperti yang dilakukan oleh aliansi Bumi Tambun Bungai.

Dalam peringatan Hari Bumi yang jatuh tiap 22 April, berbagai kegiatan pun digelar. Kali ini kegiatan peringatan Hari Bumi yang mengangkat tema “Beri Kesempatan Bumi Bernafas” dipusatkan di di Aula Transmigrasi Provinsi Kalteng, Senin (22/4). Menurut Direktur Save Our Borneo yang di mana SOB juga sebagai Patisipan dalam kegiatan tersebut mengungkapkan bahwa tema Hari Bumi kali ini adalah  “Eksploitasi dan pengerukan terhadap bumi sudah mencapai titik batas, bencana ekologi terus terjadi,konflik susul menyusul, sementara kesejahteraan masyarakat tidak nampak bertambah maju secara signifikan dan Disisi lain nampaknya negara sangat rakus dalam kebijakan pengrusakan alam, oleh karenannya penting para aktivis menyatukan pandangan, pendapat dan himbauan serta langkah gerak untuk memberikan kesempatan kepada bumi untuk bernafas, termasuk negara dan pemerintah juga mestinya punya perspektif” ujarnya.

Dengan melakukan aksi saat ini sebagai menyuarakan kepada orang-orang yang hanya mengambil keuntungan tetapi tidak memikirkan lingkungannya sekitar. Menurut koordinator kegiatan Fandi Achmad, pihaknya ingin mengkampanyekan perlindungan bumi di kawasan Kalteng. Hal ini terkait dengan semakin rusaknya bumi oleh ulah manusia yang semakin tidak bertanggung jawab. “Kami mengumpulkan berbagai aktivis untuk menyatukan misi untuk melindungi Bumi kalteng dari kegiatan manusia yang tidak bertanggung jawab. Saat ini hutan kita masih sangat luas sehingga lingkungan di kawasan Kalteng bisa terjaga dengan baik”, katanya.

Ia menyebut, institusi pemerintah rata-rata diundang tetapi hanya beberapa saja yang mengikuti, diantaranya Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Provinsi Kalteng serta dengan Dinas Kehutanan (Dishut) Provinsi Kalteng. Sedangkan yang lainnya tidak hadir sehingga apa yang disampaikan tidak bisa segera mendapatkan respon dari institusi yang berkepentingan.

Pada acara puncak Hari Bumi 2013 yang dilaksanakan di aula Makarti, Jln. Yosudarso, Palangkaraya, Kalimantan Tengah ini sebenarnya mengundang Gubernur Palangkaraya Teras Narang, untuk sekiranya membacakan hasil dari lomba menulis surat untuk tingkat Sekolah Dasar, “namun Gubernur yang tanpa konfirmasi yang jelas, tentu membuat kami sebagai panitia kecewa akan hal tersebut.  karena tujuan awal adalah untuk mendapatkan statemen politik dari gubernur terkait denga situasi lingkungan di kalteng. dengan tidak hadirnya Gubernur tidak ada statemen bisa kita dapatkan” ucap Fandy Achmad selaku Koordinator Kegiatan.

“Berkenaan dengan lomba menulis surat untuk tingkat Sekolah Dasar, pihak panitia akan bertanggung jawab secara penuh terhadap kurang lebih sekitar 100 pucuk surat dari 6 Sekolah Dasar di Palangkaraya, menyerahkan secara langsung surat-surat tersebut langsung ke Kantor Gubenur”, tegasnya.

Dengan melakukan kampanye seperti ini pihaknya ingin publik bisa mengetahui dan bersama-sama memperjuangkan lingkungan bisa baik kembali tanpa dirusak. Kami ingin memperlihatkan kepada pemerintah dengan menampilkan beberapa gambar yang ada sehingga mereka tahu bahwa fakta di lapangan seperti itu. Dengan diperlihatkan seperti ini pemerintah nantinya mampu memberikan kebijakan yang tepat dan mampu menjaga lingkungannya.

Perkebunan Besar Kelapa Sawit Wilmar Tanpa Plasma


PT. Mustika Sembuluh, Tidak Ada Kata 20% Untuk Masyarakat Pondok Damar

Palangkaraya - Kesadaran para Investor rupanya belum memihak kepada masyarakat yang berada di kawasan konsesi perkebunan Wilmar di Kalimantan Tengah. Tercatat  20.515 Ha areal perkebunan yang beroperasi di Bumi Tambun Bungai ini, namun hanya 128 Ha saja areal perkebunan rakyat atau plasma yang sudah terbangun. Jika ditelisik lebih dalam bukan pemilik Perkebunan Besar Swasta (PBS) yang memiliki kebun Plasma melainkan beberapa koperasi, kelompok tani dan bukan milik Perusahaan Kelapa sawit yang di- miliki oleh Investor asing.

Menurut Direktur Save Our Borneo, Nordin, mengatakan di sela-sela kegiatannya berkunjung langsung ke Desa Pondok Damar dengan beberapa orang Journalis asing mengungkapkan “PT. Mustika Sembuluh yang beroperasi di desa Pondok Damar memiliki luasan perkebunan yang cukup luas yaitu 17,500 Ha,  yang dikeluarkan oleh Bupati Kotim,  namun  kebun plasmanya hanya 182 Ha dari rencana 250 Ha, namun  karena tidak ada lahan lagi yang  bisa disediakan masyarkat, karena masuk dalam wilayah desa lain, maka hanya ada 182 Ha yang bisa di realisasikan kepada masyarakat”.

Sedangkan menurut pengakuan Mingadi, Ketua Kelompok Tani Plasma Desa Pondok Damar, “kami sampai saat ini hanya baru menerima dana talangan sebesar 125.000/ ha. Sedangkan bagi hasil panen belum ada kejelasan  perhitungannya dan mereka tidak tahu Jumlah kredit plasma yang mendera mereka dibagian lain, saat  ini sudah  tahun ke-6 jalan tahun ke-7 belum jelas juga pembayaran kreditnya dan pihak perusahaa Wilmar/ Mustika Sembuluh belum menjelaskan apapun alasan terkait permsalahan tersebut”. Ucuapnya.

Terungkap beberapa fakta yang menyatakan bahwa para pemodal asing yang berinvestasi di kalteng hanya meraup keuntungan pribadi di bandingkan dengan melakukan pemberdayaan bagi masyarakat yang tinggal di sekitar perkebunan tersebut. Wilmar saja contohnya dari sekian ribu hectare luasan perkebunannya hanya ada beberapa ratus hectare saja yang menjadi kebun plasma di wilayah Kabupaten Kotim itupun masyarakat harus menerima hasil tak sesuai.

Kewajiban perusahaan untuk menyediakan plasma ini, sudah diatur dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 5 tahun 2011 tentang pengelolaan usaha perkebunan perkelanjutan di Kalteng. Dalam peraturan tersebut perusahaan perkebunan yang beroperasi di wilayah Kalteng untuk menyediakan perkebunan rakyat. Jika dilihat dari lamannya Perda tersebut, maka perusahaan perkebunan kelapa sawit wajib menyediakan perkebunan plasma bagi rakyat.

Direktur Save Our Borneo, Nordin, menegaskan bahwa ada beberapa point dari Kemitraan Perkebunan Kelapa Sawit/ sekilas Plasma dan ini juga di terapkan oleh perusahaan besar seperti Wilmar, dengan banyak sekali anak perusahaannya, sebut saja salah satunya adalah PT. Mustika Sembuluh (MS) yang beoperasi di Desa Pondok Damar, Kabupaten Kotim.

1. Tanah /lahan untuk kebun plasma adalah tanah/lahan yang berasal dari tanah warga, bukan tanah/lahan dari konsesi Perkebunan Inti yang disisihkan sejumlah tertentu untuk menjadi lahan plasma/kemitraan. Perusahaan tidak akan mau mengurangi areal konsesinya untuk dijadikan kebun plasma.

2. Setelah memastikan bahwa lahan/tanah masyarakat diserahkan untuk kebun plasma/kemitraan, perkebunan inti juga selalu menekankan agar lahan tidak ada permasalahan apapun, bila ada masalah sata itu atau kemudian hari, maka menjadi tanggungjwab warga atau koperasi warga. Perkebunan inti maunya enak sendiri, lepas tangan dalam hal penyelesaian masalah sengketa diareal plasma.

3. Ketika lahan/tanah telah diserahkan kepada perkebunan inti, untuk dikelola, maka lahan tersebut kemudian tidak dapat dialihkan kepada pihak lain tanpa persetujuan inti. Meskipun kredit plasma telah lunas.

4. Perkebunan inti menyuruh plasma/kelompok mengurus ijin dan lain-lainnya dengan menyediakan dana talangan yang kemudian dianggap utang plasma. Dana talangan ini akan dimasukan sebagai utang plasma, meskipun alokasi penggunaannya tidak terlalu jelas, bahkan bias saja digunakan juga untuk praktik sogok, suap dan intertainment kepada pejabat yang berhubungan dengan izin.

5. Perkebunan inti mewajibkan plasma menjual hasil panen [Tandan Buah Segar] kepada kebun inti bahkan sampai setelah selesainya kredit plasma, yaitu sampai satu siklus tanam +/- 25 tahun.

6. Praktik seacara tidak transfaran mengenai harga dan tonase TBS yang diserahkan kepada pabrik dari perkebunan inti, kemudian dikatakan sebagai harga patokan pemerintah atau harga pasar.

7. Ikut campur menyeleksi anggota kelompok, bahkan tidak jarang management inti memasukan orang-orang yang menjadi koleganya, atau karyawannya atau bahkan top manajemen dari perkebunan inti sebagai peserta plasma, untuk mengamankan usahanya dan menguasai koperasi, baik itu pejabat ataupun lainnya.

8. Tidak transfaran dalam pengajuan dan pembayaran kredit ke bank. Kelompok plasma hanya disodorkan hasil akhir yang tidak pernah dilaporkan secara terbuka. Selain itu ada biaya-biaya yang seharusnya sudah ter-cover dari kredit yang diajukan ke bank masih dianggap sebagai biaya yang dikeluarkan oleh inti, sehingga inti memotong hasil panen lagi [selain biaya untuk pelunasan kredit], yaitu biaya operasional, biaya investasi, biaya sarana dan prasarana dan juga biaya siluman berupa management fee.

9. Setelah “dipaksa” menjual TBS kepada Pabrik kelapa sawit milik perkebunan inti, plasma masih harus juga menyetor / dipotong biaya sebesar 5% sebagai management fee dari hasil panen TBS.

10. berdalihPerkebunan inti memberikan bantuan untuk institusional building koperasi atau kelompok warga, tetapi dimasukan sebagai utang, yang mana jumlahnya juga tidak diketahui oleh koperasi/kelompok, sampai saatnya hutang koperasi/kelompok membengkak.

11. Sarana dan prasarana dalam dan dibangun untuk plasma [misalnya gudang, pondok karyawan plasma, saprodi dan lain-lain] dikuasi sepenuhnya oleh perusahaan inti, sementara biaya pembangunan sarana prasarana itu sebenarnya telah dibebankan / diambil dari biaya plasma dari hasil kredit bank dan bukan milik perkebunan inti.

12. Sertifikasi lahan plasma, termasuk skema pelunasaan dan kredit dengan agunan sertifikat plasma tidak dijelaskan dan seolah telah diserahkan sepenuhnya kepada inti, jika inti melakukan praktik “ngemplang” utang kepada bank, maka sertifikat plasma akan disandera bank seumur hidup dan anggota plasma akan gigit jari selamanya.

13. Perusahaan inti juga meminta secara memaksa dalam perjanjian untuk melakukan pemotongan didepan terhadap dana yang dikucurkan kredit dari bank sebesar 5 % dengan alasan biaya yang tidak jelas, yaitu biaya yang disebut inti sebagai “overhead”.

14. Inti selalu berusaha membodohi dan menjerat plasma dengan pasal perjanjian harus jual ke inti selama satu siklus tanam, padahal seharusnya ketika plasma telah melunasi kreditnya, maka keduanya akan menjadi para pihak yang bebas dan perjanjian harus ditinjau ulang.

15. Besarnya kredit tidak diketahui oleh pihak koperasi/kelompok plasma dan dan cicilan kredit tidak juga diketahui oleh koperasi plasma dimana pihak inti [sebagai avails] tidak melaporkan secara transparan berkala kepada koperasi plasma dan tidak ada ruang untuk koperasi melakukan audit.

16. Perjanjian yang dibuat inti diajukan untuk mengikat selama 1 siklus tanam bahkan sampai batas waktu yang tidak terbatas, hrsnya hanya sampai ketika kredit lunas, maka perjanjian harus diperbaharui, dan bila tidak terjadi kesepakatan baru nantinya, masing-masing pihak sudah bebas dan mandiri serta perikatan awal dinyatakan selesai.

Perda Tidak Memihak Kepada Rakyat

Sementara itu, Peraturan Daerah (Perda) Kalteng Nomor 5 tahun 2011 tentang Pengelolaan Usaha Perkebunan Berkelanjutan langsung menuai reaksi. Pasalnya, perda tersebut dinilai belum sepenuhnya berpihak pada rakyat.

Perda tersebut dinilai masih menguntungkan para pengusaha dan merugikan rakyat. Karena itu, Gubernur Kalteng Agustin Teras Narang didesak harus meninjau kembali Perda tersebut.

Direktur Save Our Borneo (SOB) Nordin mengungkapkan hal itu. “Dari paparan dan dokumen cetak perda tersebut yang sudah final, terdapat ayat-ayat dalam pasal 18 Perda tersebut yang jelas-jelas sangat merugikan rakyat dan sangat menguntungkan investor perkebunan sawit,” katanya.

Ayat dimaksud tercantum dalam ayat (4) yang menyebutkan, bagi perusahaan perkebunan yang kebunnya telah terbangun tetapi belum melakukan pembangunan kebun bagi masyarakat sekitarnya, secara bertahap segera membangun kebun bagi masyarakat, dengan batasan waktu paling lambat 2 tahun sejak berlakunya Peraturan Daerah ini. Serta ayat (5), lahan untuk pembangunan kebun masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat berasal dari lahan masyarakat sendiri, atau lahan lain yang jelas status kepemilikannya.

Menurut Nordin, yang jadi masalah adalah ayat 4, dimana sebenarnya yang menjadi tuntutan warga selama ini adalah lahan untuk pembangunan kebun masyarakat seharusnya berasal dari HGU (Hak Guna Usaha) perusahaan yang disisihkan untuk masyarakat seluas 20% dari luas HGU yang dimiliki perusahaan.

“Jika ketentuannya adalah seperti ayat 5, dimana Lahan untuk pembangunan kebun masyarakat berasal dari lahan masyarakat sendiri, maka akan terjadi beberapa hal, diantaranya, lahan untuk diversifikasi usaha masyarakat guna keperluan pertanian dan lainnya akan habis tergerus untuk sawit semuanya, sehingga akan lebih menampakan situasi monokultur yang sangat tidak ramah lingkungan. Akibatnya, investor kelapa sawit raksasa dapat mencari kambing hitam untuk menyalahkan rakyat sebagai pelaku kerusakan lingkungan,”

Kemudian, lanjut Nordin, ketahanan pangan dan kemampuan produksi pangan masyarakat secara mandiri ditingkat lokal akan hancur, karena alat produksinya hilang bersamaan dengan sawitisasi massif yang disokong kebijakan perda. Masyarakt tidak bisa lagi berladang, berkebun, berburu, atau lainya karena seluruh lahannya akan dan hanya menjadi kebun sawit, sementara PBS tidak sejengkalpun terusik karena mereka tidak diwajibkan menyerahkan 20% lahan HGU mereka untuk rakyat.

Akibat dari beberapa hal tersebut, tegas Nordin, akan muncul sengketa horizontal antar warga yang saling mengklaim lahan. Selain itu, akan memunculkan bisnis SKT tanah oleh makelar tanah. dan ini akan sangat berbahaya dalam jangka panjang.

Limbah Bocor, BLH Tutup Mata


PT. KIU, terkesan melakukan pembiaran terhadap limbah yang mengalir ke lahan warga Desa Kabuau dan juga mengakibatkan ikan banyak mati di Sungai Tualan.

Dibuat & dipostkan oleh : gwirman

Masyarakat Desa Kabuau Kecamatan Parenggean Kabupaten Kotawaringin Timur Kalimantan Tengah mulai was-was saat memanfaatkan air untuk kebutuhan sehari-hari akibat bocornya kolam penampungan limbah milik PT. Katingan Indah Utama. Akibat kebocoran limbah tersebut, warga menduga anak sungai setempat menjadi tercemar sehingga menyebabkan banyak warga yang terserang gatal-gatal serta ikan banyak yang mati.

PT. Katingan Indah Utama (KIU), Insiden bocornya limbah pabrik sawit tersebut terjadi pada 22 Februari lalu dan membuat masyarakat resah. Meski kebocoran itu langsung ditangani pihak perusahaan, namun limbah diduga sempat mencemari lingkungan setempat, termasuk air yang selama ini digunakan oleh warga.

Informasi dari masyarakat terkait adanya kebocoran limbah salah satu perusahaan perkebunan yang beroperasi di Desa Kabuau Kecamatan Parenggean Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) ternyata memang terbukti. Pihak perusahaan pun mengakui fakta itu tersebut namun mereka menegaskan bahwa kebocoran tersebut sudah ditutup. “PT KIU mengakui pernah bocor tanggal 22 Febuari 2013, tapi sudah diperbaiki. Meski begitu, kami tetap meminta masalah ini tetap dipertanggungjawabkan,” tegas Nordin, Direktur Save Our Borneo (SOB). Nordin juga menyoroti tindakan pihak perusahaan yang membuang sisa janjangan kosong sawit sembarangan yang sebenarnya limbah cairnya justru lebih berbahaya daripada limbah cair di kolam limbah.

“Memprihatinkan, PT. KIU kesannya melarikan diri dari tanggung jawab dengan alasan-alasan teknis bahwa belum tentu tercemar karena belum atau tidak diteliti oleh BLH. Sementar kita tahu bagaimana kinerja birokrasi semacam BLH itu. Bagi kami, tercemar atau tidak, beracun atau tidak yang jadi masalah adalah kolam limbah itu bocor, artinya prosedur keamanan dan keselamatan yang di-isyaratkan peraturan lingkungan hidup terabaikan”, ucap Nordin.

Pemerhati politik dan hukum di Kotim, H Darmansyah mengatakan, BLH harus segera mengambil tindakan terkait masalah ini. Ketegasan dari pemerintah daerah sangat dibutuhkan untuk menegakkan aturan dan menyelamatkan masyarakat. “Pemerintah harus tegas. Gunakan payung hukum yang ada. Kalau hanya menampung apirasi saja bagaimana seperti itu,” ungkapnya mempertanyakan.

Darmansyah menilai, rapat yang pernah dilakukan oleh warga Desa Kabuau yang menjadi korban dengan pihak perusahaan pada 8 Maret 2013 sangat tidak efektif. “Seharusnya setiap ada rapat dengan pihak perusahaan, kalau yang hadir dari perusahaan itu adalah orang yang tidak bisa mengambil keputusan, sebaiknya rapat tidak usah dilaksanakan saja. Seharusya saat rapat, dari pihak perusahaan yang hadir adalah orang yang bisa mengambil keputusan, jangan sampai ditunda-tunda seperti itu, kan membuang waktu jadinya,” tegasnya.

Masalah kebocoran limbah tersebut, Dewan Adat Dayak (DAD) Parenggean malapor ke Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kotim ternyata belum mengambil sampel air yang diduga tercemar limbah milik PT Katingan Indah Utama (KIU). BLH beralasan, saat pihaknya melakukan pengecekan ke lokasi kondisi sungai yang diduga tercemar sudah dalam keadaan bersih. Melihat fakta tersebut pihaknya tidak melakukan pengambilan sampel air.

Menurut Kasubid Penegakan Hukum dan Penyelesaian Sengketa Lingkungan, Janus mengatakan pihaknya juga kembali turun kelokasi limbah PT. KIU, bersama DPRD Kotim untuk memastikan dugaan pencemaran tersebut, namun sama pada saat sebelumnya pihak BLH Kotim tidak mengambil sampel air. “bocornya limbah crude palm oil (CPO) bukan disengaja. Faktor alam juga ikut membantu dalam  membersihkan limbah yang diduga bocor. “Saat hari H (kebocoran limbah) terjadi hujan deras, tapi paginya sungai sudah bersih. Jadi tidak ada apa-apa dan besoknya itu semua sudah bersih,” ucapnya. 

Sebelumnya sudah dilakukan pertemuan antara masyarakat dengan pihak perusahaan yang difasilitasi beberapa pihak, khususnya Dewan Adat Dayak (DAD) dengan dihadiri Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kabupaten Kotawaringin Timur dan sejumlah perwakilan aktivis lingkungan. Hasilnya saat itu, perusahaan akan memberikan kompensasi akibat kebocoran limbah yang mereka sebut sebagai faktor kecelakaan itu. Masalah ini kemudian kembali mengemuka karena ternyata masih banyak warga yang mengaku belum mendapat kompensasi yang dijanjikan pihak perusahaan.

Direktur Eksekutif Save Our Borneo, Nordin yang saat itu juga hadir dalam pertemuan, mendesak pihak perusahaan bertanggung jawab atas dampak kebocoran limbah pabrik mereka. "Beracun atau tidak, yang jelas telah terjadi pencemaran. Ini kelalaian perusahaan dan pengawasan yang kurang dari pemerintah daerah. Kejadian seperti itu sangat membahayakan masyarakat kita karena bisa mengancam kesehatan," kata Nordin.

Anggota DPR RI Perwakilan Kalteng Hang Ali, datang untuk meninjau kondisi masyarakat di Desa Kabuau (20/04). Namun sayangnya, pihak perusahaan tidak mau menemui anggota DPR RI Kalteng tersebut. Seorang rekan beliau mual dan pusing akibat mencium bau limbah dan terpaksa bertahan di dalam mobil. “Mudahan pihak perusahaan bersedia memberikan air bersih dan listrik kepada warga, dan tidak ngeyel alias cuek bebek ngurus perutnya sendiri” ucupnya.