Senin, 25 Maret 2013

Ketika Ketua Komisi III DPRD Kotim Ikut Polisikan PT BAS

SAMPIT - Ketua Komisi III DPRD Kotim Rimbun ST bersama 12 warga warga Desa Biru Maju Kecamatan Telawang Kabupaten Kotawaringin Timur, mendatangi Polres Kotim, Rabu (24/10). Dewan mendampingi warga melaporkan dugaan kasus penyerobotan lahan dan perambahan kawasan hutan di Desa Biru Maju Kecamatan Telawang. Perusahaan sawit yang kerap bersitegang dengan warga setempat.

PT Buana Arta Sejahtera (BAS) dilaporkan. Rimbun mengatakan, maksud kedatangan dirinya ke Mapolres Kotim untuk mendampingi warga Desa Biru Maju, guna menindak lanjuti laporan yang sebelumnya dilayangkan kepada polisi. Dijelaskan Rimbun, 

terkait laporan yang dilayangkan warga desa kepada penegak hukum untuk meminta keadilan, kasus dugaan penyerobotan lahan desa oleh PT BAS. "Saya sebagai pemegang amanah dari masyarakat dan menyerap aspirasi mereka, untuk itu saya sengaja mendampingi warga datang ke kantor polisi ini. Selain itu saya sebagai wakil rakyat tentunya merasa prihatin atas kasus ini," terang Rimbun. Dalam kasus ini, PT BAS diduga telah melakukan perambahan kawasan hutan sekitar Desa Biru Maju Kecamatan Telawang, yang diatur dalam UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Kalau tidak mengantongi pelepasan kawasan hutan maupun HGU, 

perusahaan perkebunan sawit tidak boleh melakukan kegiatan apapun. "Sedangkan bukti di lapangan pihak perusahaan tidak hanya melakukan kegiatan pada lahan tersebut, melainkan sudah melakukan penanaman dan sering panen terhitung sejak tahun 2005 lalu," ungkap Rimbun. Di Mapolres Kotim Rimbun beserta warga desa langsung diterima penyidik Unit 1 Sat Reskrim Polres Kotim. "Kedatangan warga biru maju dengan didampingi anggota dewan memang melaporkan PT BAS terkait dugaan menyerobot tanah warga," ucap Kasat Reskrim Polres Kotim AKP Wahyu Rohadi.

Biang Kerok Tumpang Tindih Lahan

PALANGKA RAYA - Permasalahan tumpang tindih lahan yang terjadi selama ini tidak lepas dari tanggung jawab kepala daerah setempat. Bahkan, bupati dari tujuh kabupaten di Kalteng disebut-sebut sebagai biang kerok yang turut meloloskan penerbitan perizinan ganda tersebut. Ketujuh bupati itu adalah Bupati Barito Selatan, Bartim, Murung Raya, Kotawaringin Timur, Seruyan, Kapuas, dan Pulang Pisau.

Sejauh ini, belum ada keseriusan kepala daerah tersebut untuk melakukan penertiban izin dan audit perizinan pertambangan, perkebunan, kehutanan, dan perhubungan yang terindikasi tumpang tindih. Kondisi ini keruan semakin menuai keluhan dan gesekan di masyarakat.Mirisnya lagi, kondisi ini semakin memunculkan banyaknya indikasi pelanggaran hukum dan peraturan terhadap investasi di daerah. Gubernur Kalteng Agustin Teras Narang SH mengatakan, pada prinsipnya persoalan tumpang tindih izin pertambangan dan perkebunan di Kabupaten Barito Timur (Bartim) serta 6 kabupaten lainnya, merupakan tanggung jawab bupati setempat. 

Teras Narang menyatakan tidak sepakat, bila persoalan tumpang tindih lahan yang sudah menjadi gunung es dan membuat gesekan di masyarakat selalu dilimpahkan ke provinsi. Selaku pihak yang telah mengeluarkan izin, maka bupati harus berani pula mencabut izin-izin yang tumpang tindih tersebut. "Masalah izin-izin yang tumpang tindih itu, kabupaten dulu yang harus memberikan jawaban. Jangan gubernur terus yang menjawab bila sudah ada permasalahan di kabupaten. Itu tanggung jawab bupati. Mereka yang keluarkan izin, harus berani mencabut izin yang tumpang tindih. Tulis saja begitu jawaban dari saya," kata Teras Narang saat dikonfirmasi sejumlah wartawan usai sidang paripurna mendengar jawaban gubernur terhadap pemandangan umum fraksi-fraksi pendukung DPRD, Senin (29/10) dua hari lalu. Sesuai Surat Edaran Gubernur Nomor.540/257/Ek, tanggal 12 Maret 2012 lalu, kepada 7 bupati di Kalimantan Tengah, yaitu Bupati Barito Selatan, Bartim, Murung Raya, Kotawaringin Timur, Seruyan, Kapuas, dan Pulang Pisau meninstruksikan, menghentikan untuk sementara waktu (moratorium), terhadap izin pertambangan, perkebunan, kehutanan (koridor/jalan khusus), dan perhubungan (pelabuhan/ terminal khusus). 

Selanjutnya, para bupati didesak mengaudit terhadap semua perizinan secara keseluruhan, apakah sudah mematuhi UU tentang Perkebunan, UU Kehutanan, UU Lingkungan Hidup, dan peraturan perundang-undangan yang terkait serta menyampaikan hasilnya dalam waktu tidak terlalu lama kepada gubernur dengan tembusan disampaikan kepada menteri-menteri terkait. "Pemprov Kalteng untuk sementara waktu, terhitung sejak dikeluarkannya Surat Edaran ini, tidak akan memberikan rekomendasi terhadap semua sektor di 7 kabupaten itu, sampai para bupati melaporkan hasil audit secara lengkap," kata Teras Narang. DEWAN TUDING BUPATI LAKUKAN PEMBIARAN Menyikapi perihal tumpang tindih izin-izin pertambangan dan perkebunan tersebut, Komisi B DPRD Kalimantan Tengah terlihat gusar terhadap sikap apatis yang diperlihatkan para bupati. 

Wakil Ketua Komisi B dari Fraksi PDI Perjuangan, Iber H Nahason dan Sekretaris, Kamarudin Hadi dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), kemarin, secara tegas mengatakan, seharusnya bupati bertindak cepat, tepat, dan efisien untuk melakukan tindakan pencabutan izin-izin yang tumpang tindih. Bila izin-izin yang diberikan ternyata tumpang tindih, bupati harus segera melakukan pencabutan. "Kami menilai dalam kasus ini, para bupati telah melakukan pembiaran, sehingga menyebabkan sengketa- sengketa terhadap terbitnya perizinan itu berlarut-larut dan tidak tuntas. Bupati tidak memperhatikan dampaknya dan asal mengeluarkan izin saja," kata Ibeng. Selain melakukan pembiaran, bupati juga cuci tangan setelah persoalan semakin mencuat. Caranya, lanjut dia, dengan melemparkan segala pokok permasalahan kepada pemerintah provinsi. Ibeng bahkan mengindikasikan, para bupati dan kerabatkerabatnya masuk dalam susunan pengurus dalam sejumlah perusahaan-perusahaan pertambangan dan perkebunan tersebut. 

Senada itu, Sekretaris Komisi B, Kamarudin Hadi mengatakan, dewan melihat ada indikasi kuat Badan Pertanahan Nasional (BPN) di masing-masing daerah juga terlibat. Dalam melakukan pengukuran lapangan, BPN tidak konsisten dalam mewujudkan pemerintahan yang good and clean governance. "Harusnya izin pembukaan lahan itu diberikan sebelum Hak Guna Usaha (HGU) diterbitkan. Ini masalah yang sangat krusial dan berpotensi melanggar hukum," kata Kamarudin Hadi. Areal penggunaan lain (APL) dan kawasan p (KPP) diberikan hanya untuk perkebunan dan pertanian dalam skala kecil. APL dan KPP itu secara khusus diberikan kepada masyarakat, untuk lahan pertanian dan perkebunan. Atas indikasiindikasi pembiaran tersebut, Kamarudin Hadi mendesak kepada aparatur penegak hukum, untuk mengusut keterlibatan dan segala bentuk pembiaran yang telah dilakukan bupati. Diberitakan sebelumnya, kemarut izin areal perkebunan dan pertambangan di Kabupaten Barito Timur kian menggurita. Berdasarkan hasil operasi penertiban pengamanan hutan terpadu (OPPHT) Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng), ditemukan ratusan izin yang tumpang tindih. 

Ratusan perusahaan tambang juga belum mengantongi izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) dari Menteri Kehutanan, izin analisa mengenai dampak lingkungan (Amdal), izin pembukaan jalan, dan izin pemanfaatan kayu (IPK). Dari 132 izin usaha pertambangan (IUP), hanya 3 perusahaan yang memiliki IPKH yaitu PT Bumi Nusantara Jaya Mandiri, PT Batubara Bandung, dan PT Sandabi Indah Lestari.

Belum Kantongi IPKH, PT SP Tetap Buka Hutan


PALANGKA RAYA - Meski belum mengantongi izin pelepasan kawasan hutan (IPKH) dari Menteri Kehutanan sebagai syarat melakukan land clearing, perusahaan perkebunan kelapa sawit PT Susantri Permai (SP) tetap beroperasi. 

Tidak tanggung-tanggung, lahan yang dibuka sudah ribuan hektare. Perusahaan grup Dwi Warna Karya (DWK) yang beroperasi di wilayah Kapuas Hulu itu justru mengundang sejumlah kontraktor land clearing untuk membuka kebun yang belum berizin. 

Kami sempat menahan puluhan alat berat yang hendak dimasukkan ke lahan di kebun PT Susantri Permai dan grupnya. Kami tidak ingin hutan sebagai sumber kehidupan di wilayah kami rusak, tetapi malah diloloskan oleh polisi,  kata seorang warga yang meminta identitasnya tidak dikorankan kepada Kalteng Pos. 

Masyarakat kata dia, sudah melaporkan kepada pihak berwajib, bahwa PT SP melakukan perambahan hutan, dan membuka lahan tanpa izin pelepasan kawasan hutan dari Menhut, tetapi hingga sekarang, tidak ada tindakan dari aparat.  Dimana keadilan? Masyarakat yang membuka lahan ditangkapi, sementara perusahaan yang nyata-nyata merambah hutan tanpa izin dibiarkan.

Meski sempat menahan iring-iringan alat berat yang akan dimasukkan ke lokasi kebun, toh akhirnya dengan pengawalan polisi, alat-alat berat itu dimasukkan untuk melakukan land clearing. Masyarakat menyesalkan polisi justru meloloskan hal itu.  Kami tidak tahu lagi tingkat kerusakan hutan yang terjadi karena puluhan alat berat beroperasi di dalam areal kebun.

Sementara itu, general manajer PT SP Iwan mengatakan bahwa pihaknya tidak berhubungan langsung dengan alat-alat berat yang ditahan warga itu, karena alat-alat berat itu milik kontraktor pembukaan lahan, yang bekerja atas dasar kontrak kerja dengan PT SP. Itu (alat-alat berat, Red) milik kontraktor. Meski begitu, karena ditahan warga, dan sifatnya penahanan dan perampasan, ya kami sarankan untuk melaporkan kepada polisi.

Aksi penahanan itu lanjut dia terjadi sekitar sebulan lewat. Berkaitan dengan PT SP yang tetap membuka lahan meski belum mengantongi IPKH dari Menhut, Iwan tidak mau berkomentar dan mengatakan bahwa berkaitan dengan perizinan menjadi tugas bagian legal, Nio. Silakan berhubungan dengan bagian legal, karena mereka yang lebih tahu dan memahami persoalan izin itu, katanya. Bagian legal PT SP Nio yang dihubungi Kalteng Pos mengatakan, bahwa berkaitan dengan persoalan perizinan itu pihaknya telah menyerahkan kepada instansi yang berkompeten. Kalau berkaitan dengan persoalan perizinan, silakan langsung dengan instansi terkait saja, karena sudah bukan rahasia (perusahaan membuka lahan tanpa IPKH, Red) lagi. 

Sementara itu, Kepala Dinas Kehutanan Kalteng Ir Sipet Hermanto yang dihubungi via telepon genggamnya belum berhasil dikonfirmasi. Dari beberapa kali panggilan, terdengar nada sedang tidak aktif.

Minggu, 24 Maret 2013

Realisasi Plasma Baru 11,57 Persen


PALANGKA RAYA-Kalteng hingga saat ini ternyata memiliki luas perkebunan sebesar 1.592.676,153 hektare. Sedangkan untuk luasan kebun rakyat hanya seluas 684.501 hektare atau 43,0 persen, yang didominasi oleh karet seluas 469.808 hektare atau 68,6 persen. 

Sayangnya, jumlah tersebut masih jauh jika dibanding perkebunan skala besar (lihat table). Di mana dari sebanyak 84 unit Perkebunan Besar Swasta (PBS) se-Kalteng, ternyata realisasi kebun plasmanya baru mencapai 11,57 persen dari ketentuannya sebesar 20 persen yang diatur dalam Perda Perkebunan. Gubernur Kalteng Agustin Teras Narang mengungkapkan, sub sektor perkebunan merupakan potensi yang cukup strategis untuk dikembangkan di Kalteng, lantaran adanya faktor penarik maupun pendorong. 

Faktor penarik antara lain, naiknya permintaan pasar aneka produk perkebunan dengan tingkat harga atau nilai ekonomi relatif cukup tinggi dari bahan baku industri, bahan pangan dan bioenergi untuk sumber energi terbarukan, ucap Teras dalam sambutannya pada acara seminar terkait Dampak Putusan MK-RI terhadap Kepastian Kawasan Hutan di Kalteng kemarin (7/3) pagi di Hotel Aquarius. Ditambahkan dia, faktor pendorong perkebunan di Kalteng sangat potensial dikembangkan, lantaran adanya kesesuaian agroekosistem (iklim dan tanah), ketersediaan lahan, etersediaan teknologi perkebunan, tenaga kerja hingga dukungan kebijakan pemerintah. 

Akan tetapi disampaikannya juga, hingga saat ini Rencana tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Kalteng belum kelar. Sehingga Pemprov pada 2011 lalu mengeluarkan Perda No 5 tahun 2011 tentang pengelolaan usaha perkebunan berkelanjutan. Dengan telah ditetapkannya Perda ini, diharapkan mampu mengakomodir seluruh pemangku kepentingan guna menjamin iklim investasi yang baik, paparnya. (abe/tur) Perkembangan Luas Perkebunan Skala Besar di Kalteng Tanaman Luas (hektare) Persen Kelapa Sawit 885.894,535 97,5 Karet 20.280,506 2,2 Kelapa Sawit / Karet 2.000,112 20,3 * * Dari 84 unit PBS yang telah memperoleh IPKH dan HGU Realisasi Plasma 80.637,00 atau 11,57 persen.             

Jumat, 01 Maret 2013

Ratusan Tambang Belum Berizin Amdal dan IPPKH


PALANGKA RAYA - Berdasarkan hasil Operasi Penertiban Pengamanan Hutan Terpadu (OPPHT) Dinas Kehutanan Provinsi Kalteng, ditemukan ratusan izin yang tumpang tindih di Kabupaten Barito Timur (Bartim).
Masalah lainnya, ratusan perusahaan tambang juga belum mengantongi Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) dari Menteri Kehutanan, Izin Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal), Izin Pembukaan Jalan, dan Izin Pemanfaatan Kayu (IPK). Dari 132 Izin Usaha Pertambangan (IUP), hanya 3 perusahaan yang memiliki IPPKH, yakni PT Bumi Nusantara Jaya Mandiri, PT Batubara Bandung, dan PT Senamas Energindo Mining.
Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Kalteng Sipet Hermanto mengatakan, pihaknya segera melakukan audit dan complain terhadap perizinan yang tumpang tindih itu melalui UNDP. Selain itu, Pemprov melalui Dinas Kehutanan Kalteng juga akan melakukan evaluasi menyeluruh terhadap 132 perizinan tersebut.
“Hasilnya akan dilaporkan langsung kepada Gubernur Kalteng. Surat rekomendasi dari Gubernur selanjutnya akan disampaikan kepada kepala daerah untuk ditindaklanjuti,” kata Sipet di Palangka Raya, Selasa (16/10).
Pada prinsipnya, Lanjut Sipet, masalah perizinan ini dapat disikapi secara teknis dengan adanya koordinasi yang baik. Gunung es dari tumpang tindihnya izin dan sebagainya, terletak pada koordinasi yang terarah dan konsisten.
“Memang benar ada areal perkebunan kelapa sawit yang telah memiliki IPPKH, tetapi di dalamnya ada juga izin tambang yang diterbitkan Bupati. Ini nanti akan kita evaluasi secara terpadu. Selanjutnya akan ada rekomendasi dari Pemprov, kita imbau agar perusahaan-perusahaan tersebut secepatnya menyikapi persoalan dimaksud,” kata Sipet.
Dalam mengeluarkan perizinan, kepala daerah tentunya melihat dari berbagai sisi aturan dan ketentuan berlaku. Aturan mana yang dipakai dalam penerbitan perizinan, nantinya akan disikapi secara benar. Operasi terpadu ini akan terus dilakukan secara berkala. Sipet meminta agar perusahaan perkebunan, pertambangan, dan lainnya  segera menyelesaikan perizinan lebih dulu sebelum beroperasi.
“Kalau memang harus dicabut, tentu kita melihat berbagai aspek, supaya tidak merugikan iklim investasi di daerah,” katanya.
Hasil tim operasi berkala ini juga akan dikoordinasikan dengan bidang yang berkompeten. Operasi yang difokuskan pada penggunaan kawasan bagi kegiatan pertambangan ini menilai, penerimaan Negara dari ratusan perusahaan pada pembukaan lahan (nilai kayu dan atau tegakan pohon), tidak optimal.
Dijelaskan Sipet, berdasarkan hasil pemeriksaan sampel secara uji petik pada 3 perusahaan batu bara, yaitu PT Kike, PT Karya Gemilang Limpah Rejeki (KGLR), dan PT Senamas Energindo Mineral (SEM). Diketahui bahwa PT Kike berada pada areal perkebunan kelapa sawit PT Ketapang Subur Lestari (KSL), yang telah mendapat IPPKH dari Menteri Kehutanan No.SK.9/Menhut-II/2012 tentang Pelepasan Kawasan Hutan Produksi yang Dapat Dikonservasi.
Areal tambang PT Kike ada dalam areal penggunaan lainnya (APL), belum memiliki izin pemanfaatan kayu, terkait pembukaan lahan seluas 60 hektare untuk produksi pertambangan. PT Kike belum memiliki izin Amdal untuk kegiatan produksi/eksploitasi.
Sedangkan areal PT KGLR berada di kawasan hak guna usaha (HGU) PT Polymers Kalimantan Plantation, yang telah mendapatkan IPPKH sesuai Keputusan Menteri Kehutanan No.SK.407/Kpts-II/1994. PT KGLR juga belum ada IPK, izin Amdal, dan belum ada IPK terhadap pembukaan lahan.
Menyikapi perihal tersebut, tokoh pemuda Bartim, Amonius secara tegas mendesak agar pemerintah bersikap tegas terhadap perusahaan-perusahaan nakal. Hal ini secara jelas sangat merugikan masyarakat Bartim dan investor yang benar-benar bekerja untuk kepentingan daerah.
Dampak dari tumpang tindih dan ilegalnya perizinan cukup memberatkan. Apalagi kebutuhan batubara untuk mesin PLTU di Bartim sangat besar tapi sampai saat ini tidak terakomodir dengan baik.
“Kami sudah menghadap Kementerian Kehutanan, dari 60 IPPKH yang diajukan, tidak satupun yang disetujui. Sampai tahun 2012 ini, belum ada IPPKH yang terbit,” kata Amonius.
Tapi apa yang terjadi saat ini adalah seluruh perizinan belum keluar tapi areal pertambangan itu sudah digarap oleh para investor. Di Bartim ada 9 perusahaan tambang yang telah beroperasi, tapi hanya 3 yang memiliki izin lengkap sesuai prosedur.
“Harusnya bila tidak ada kegiatan selama 2 tahun, Kuasa Pertambangan (KP) itu dicabut. Izin yang tumpang tindih harus segera dituntaskan tanpa embel-embel apapun. Bupati Bartim seharusnya segera mencabut izin yang tumpang tindih. Jangan asal mengeluarkan izin saja,” kata Amonius.
Pasalnya, perusahaan-perusahaan tersebut tidak ada izin penggunaan jalan pemerintah, izin  pembuatan jalan angkutan, izin pelabuhan batubara, dan izin amdal. Harusnya perusahaan tambang ini memperhatikan proses perizinan dan prosedur tetap sebelum melakukan penambangan lagi.
Diungkapkan untuk tahun ini saja, PT Senamas sudah menjual lebih dari 500.000 metrik ton batubara.  Retribusi jalan yang dikelola Asosiasi Penambang Batubara tidak jelas hasilnya untuk daerah. PLTU yang akan dibangun itu hanya tameng untuk mengeruk batu bara di Bartim.
“Belum selesai mesin uap itu beroperasi, batubara sudah dibawa keluar dan tidak ada reklamasi secara prosedural,” pungkas Amonius.
Sekadar diketahui masalah pertambangan nasional, saat ini terdapat 5.806 izin usaha pertambangan (IUP) Indonesia yang belum mendapat status Clean and Clear (CNC). Saat ini, IUP eksplorasi batu bara yang tercatat lulus CNC mencapai 1.128.
Sekretaris Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara (Ditjen Minerba) Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Harya Aditya Warman mengatakan, dalam skala nasional saat ini sudah ada 4.834 IUP yang menyandang status CNC. Namun, angka tersebut masih lebih rendah dibanding izin yang belum CNC yaitu sebanyak 5.806 IUP.
"Izin eksplorasi mineral yang sudah CNC mencapai 1.163 izin dan yang sudah produksi sebanyak 1.754 izin. Sedangkan yang belum CNC, izin eksplorasi mencapai 1.732 izin dan yang sudah produksi sebanyak 2.180," kata Harya, di Kantornya, Jakarta, Selasa.

Hanya 17 Perusahaan Bersertifikat PHPL

PALANGKA RAYA - Dinas Kehutanan (Dishut) mencatat ada 62 Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) yang ada di wilayah Kalimantan Tengah (Kalteng). Dari jumlah tersebut, hanya 17 diantaranya yang sudah memiliki sertifikasi Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) dengan nilai baik. Sementara 45 perusahaan lagi yang masih harus berjuang untuk mendapatkan PHPL tersebut. Kepala Dinas Kehutanan Kalteng Sipet Hermanto berharap agar IUPHHK lainnya yang belum mendapat sertifikat PHPL dengan nilai baik dapat meningkatkan kinerjanya agar bisa mendapatkan sertifikat tersebut. Hal ini bertujuan untuk menerapkan Standarisasi Verifikasi dan Legalitas Kayu (SVLK) di Kalteng. 

Untuk mencapai tujuan tersebut, Dishut Kalteng mengadakan sosialisasi Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) yang menghadirkan Direktorat Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hutan Wasi Pramono di Hotel Luwansa Palangka Raya, Selasa (9/10) lalu. Peserta sosialisasi adalah para pengusaha kayu serta utusan Dinas Kehutanan dari kabupaten dan kota se-Kalimantan Tengah. Dalam sambutannya, Wasi Pramono mengatakan saat ini permintaan pasar terutama pasat ekspor terhadap produk industri kehutanan mensyaratkan harus menggunakan bahan baku dari sumber yang legal dan lestari. 

Terkait hal tersebut, dalam rangka menuju pengelolaan PHPL Kementerian Kehutanan (Kemenhut) telah menerapkan standar pedoman penilaian kinerja PHPL dan SVLK pada pemegang izin usaha. Sebagaimana telah yang diterbitkan dalam Peraturan Menteri (Permen) RI Nomor : P.38/ Menhut-II/2009 jo Nomor : 68/ Menhut-II/2011 dan peraturan ketentuan turunannya. Menurut Wasi Pramono, SVLK adalah persyaratan untuk memenuhi legalitas kayu atau produk dari kayu, yang berdasarkan kesepakatan sejumlah pihak (steakholders) kehutanan yang memuat standart, kriteria, indikator, verifier, mode verifikasi dan norma penilaian. Dengan pemenuhan persyaratan legalitas kayu atau produk tersebut, dan telah dilaksanakan penilaian kinerja oleh lembaga penilaian dan verifikasi independen (LV dan VI), 

Para pelaku usaha di bidang kehutanan akan memperoleh sertifikat yang menyatakan bahwa (perusahaan itu) telah mengikuti standar legalitas kayu (legal complaince) dalam memperoleh hasil hutan kayu. Yang mendasari adanya VLK, kata Wasi, salah satunya adalah komitmen pemerintah dalam memerangi pemalakan liar (illegal logging) dan perdagangan kayu ilegal, perwujudan good forest governance atau hutan pemerintahan yang bersih menuju pengelolaan hutan lestari dan permintaan atas jaminan legalitas kayu dalam bentuk sertifikat dari pasar internasional.

Tokoh Masyarakat Desak Bupati Bertindak Tegas

TUMPANG TINDIH IZIN LAHAN

TAMIANG LAYANG –Tumpang tindihnya mengenai perizinan areal pertambangan, perkebunan, dan kehutanan di Kabupaten Bartim, mendapat respons dari tokoh masyarakat setempat. Menurut mereka hal ini tidak akan terjadi jika Bupati bertindak tegas.
Seorang tokoh masyarakat Barito Timur (Bartim), Theodorus Badowo mengatakan, Bupati harus berani meninjau ulang izin-izin tersebut. Lemahnya tata pemerintahan dan pengawasan dari DPRD Barito Timur, menyebabkan gurita tumpang tindih izin menggila.
“Lemahnya pengawasan DPRD menjadi faktor penentu tumpang tindih izin. Banyak pihak terlibat dalam pemberian perizinan ini, yaitu Bupati, Dinas Pertambangan, Badan Pertanahan Nasional, dan Dinas Kehutanan,” ungkap Badowo, akhir pekan lalu.
Menurutnya, dampak tumpang tindih lahan ini akhirnya berimbas bagi masyarakat lokal. Ia mencurigai, ada beberapa perusahaan yang menjadi hak milik pejabat setempat dan kroni-kroninya. Bukan hanya tumpang tindih izin yang menjadi penyebab tidak kondusifnya iklim investasi di Bartim. Penggunaan jalan negera dan pembukaan jalan serta pelabuhan menjadi penyebab utama lainnya. Arus lalu lintas menjadi macet, jalan-jalan yang dilewati melebihi tonase menyebabkan kerusakan cukup parah.
“BPK RI dan juga BPK Pusat kami minta untuk turun melakukan audit terhadap tumpang tindih perizinan ini. Saya melihat sangat kuat indikasi penyalahgunaan kewenangan dan sengaja melakukan kelalaian dalam pemberian izin. Kami mendesak ini ditindak tegas dan izin-izin yang tumpang tindih segera dicabut,” tegas Badowo.
Menurut dia, seharusnya antara Bupati dan DPRD berpihak pada masyarakat dalam hal perizinan ini, sehingga tidak menimbulkan gesekan di masyarakat, yang justru menimbulkan korban jiwa. Masyarakat pun jadi kehilangan lahan-lahan dan tanahnya yang menjadi sumber penghidupan.
“Jangan hanya mengutamakan kepentingan sesaat para pengusaha saja. Harus dipikirkan bagiamana dampak dari pemberian izin itu bagi masyarakat. Kebijakan mengeluarkan izin tanpa melihat peta sesungguhnya, sebenarnya adalah upaya menzholimi rakyat. Tidak ada kata lain, selain mencabut izin-izin yang tumpang tindih tersebut,” katanya.
Sebagaimana diketahui, berdasarkan hasil Operasi Penertiban Pengamanan Hutan Terpadu (OPPHT) Dinas Kehutanan Provinsi Kalteng, ditemukan ratusan izin yang tumpang tindih. Ratusan perusahaan tambang juga belum mengantongi Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) dari Menteri Kehutanan, Izin Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal), Izin Pembukaan Jalan, dan Izin Pemanfaatan Kayu (IPK).
Dari 132 Izin Usaha Pertambangan (IUP), hanya ada 3 perusahaan yang memiliki IPPKH yaitu PT Bumi Nusantara Jaya Mandiri, PT Batubara Bandung, dan PT Sandabi Indah Lestari. Sejauh ini, belum ada keseriusan kepala daerah melakukan penertiban izin dan audit perizinan pertambangan, perkebunan, kehutanan, dan perhubungan di sejumlah kabupaten di Kalteng, yang terindikasi tumpang tindih. Kondisi ini semakin menuai keluhan dan gesekan di masyarakat.
Sesuai Surat Edaran Gubernur Nomor.540/257/Ek, tanggal 12 Maret 2012 lalu, kepada 7 bupati di Kalteng, yaitu Bupati Barito Selatan, Bartim, Murung Raya, Kotawaringin Timur, Seruyan, Kapuas, dan Pulang Pisau menginstruksikan dan menghentikan untuk sementara waktu (moratorium), terhadap izin pertambangan, perkebunan, kehutanan (koridor/jalan khusus), dan perhubungan (pelabuhan/terminal khusus).
Melakukan audit terhadap semua perizinan secara keseluruhan, apakah sudah mematuhi UU tentang Perkebunan, UU Kehutanan, UU Lingkungan Hidup, dan peraturan perundang-undangan yang terkait serta menyampaikan hasilnya dalam waktu tidak terlalu lama kepada Gubernur dengan tembusan disampaikan kepada Menteri-Menteri terkait.
Pemprov Kalteng untuk sementara waktu, terhitung sejak dikeluarkannya Surat Edaran ini, tidak akan memberikan rekomendasi terhadap semua sektor di 7 kabupaten itu, sampai para Bupati melaporkan hasil audit secara lengkap. (sumber : Harian Umum Tabengan)

Mabes Polri Periksa Sejumlah PBS

Dugaan Pelanggaran Kawasan Hutan


SAMPIT - Sejumlah perwira dari Mabes Polri telah diterjunkan untuk melakukan penyelidikan terhadap sejumlah perusahaan besar swasta (PBS) yang bergerak di bidang perkebunan kelapa sawit, karena diduga melakukan pelanggaran.
Berdasarkan sejumlah data dan informasi yang berhasil didapat media ini, sedikitnya ada 6 PBS di Kotim yang diperiksa oleh tim Mabes Polri. Dua perusahaan berlokasi di Kecamatan Mentaya Hulu, 2 di Kecamatan Parenggean dan Cempaga Hulu, serta 1 berada di Kecamatan Mentawa Baru Ketapang.
Dugaan pelanggaran yang dilakukan semua PBS tersebut hampir seragam yaitu sudah melaksanakan aktivitas perkebunan mulai dari pembersihan lahan (land clearing) hingga panen buah sawit. Padahal PBS tersebut diduga tidak memiliki atau belum mendapatkan Surat Keputusan (SK) tentang Izin Pelepasan Kawasan Hutan (IPKH) dari Menteri Kehutanan RI. Akibat buruk yang timbul dari dugaan pelanggaran penggunaan kawasan hutan di Kotim ini, negara akhirnya mengalami kerugian yang tidak terbilang sedikit, yakni hingga puluhan miliar. Itu belum termasuk dari pembayaran DR (Dana Reboisasi) yang diperkirakan lebih dari USD1 juta.
“Kasus ini sepertinya benar-benar ditangani secara serius oleh tim Mabes Polri, mereka sudah melakukan pengecekan lapangan ke beberapa PBS yang dicurigai melakukan pelanggaran,” terang sumber Tabengan di Polres Kotim, kemarin.
Sumber ini juga menyebutkan, PBS yang diperiksa tersebut semuanya rata-rata sudah melakukan aktivitas hingga penanaman bahkan ada yang sudah panen buah sawit. Total lahan yang diduga bermasalah itu jumlahnya sekitar 24 ribu hektar lebih.
Meski PBS tersebut belum mengantongi IPKH, namun anehnya Pemkab Kotim kabarnya sempat mengeluarkan Izin Pemanfaatan Kayu (IPK), padahal hal itu tentu saja melanggar undang-undang. Apalagi status kawasan yang di IPK kan tersebut sebagian besar merupakan kawasan Hutan Produksi (HP).
Informasi lainnya menyebutkan, tim Mabes Polri melakukan penyelidikan terhadap PBS yang diduga melakukan pelanggaran kehutanan tidak hanya fokus di Kotim saja tapi di seluruh Kalteng. Di antaranya, Kabupaten Barito Selatan, Kapuas, Katingan, dan Seruyan. Ada puluhan PBS yang mereka bidik di kabupaten- kabupaten tersebut.
Sementara itu, pihak Polres Kotim sendiri tidak membantah soal kehadiran tim Mabes Polri di wilayah hukum yang menjadi tanggung jawab mereka. Kapolres AKBP Andhi Triyastanto SIK, saat dikonfirmasi, Senin (12/11) membenarkan jika kehadiran tim Mabes Polri memang untuk menyelidiki sejumlah PBS yang diduga telah melakukan pelanggaran kehutanan di
Kotim. Namun Andhi tidak banyak informasi yang bersedia ia berikan, sebab menurutnya kasus itu wewenang Mabes Polri.
Andhi mengaku jika dirinya tidak terlibat menangani kasus ini, dan pihak Polres hanya berkewajiban memberikan bantuan fasilitas yang diperlukan terutama penyediaan ruangan di Mapolres Kotim buat tempat mereka bekerja. (sumber : Harian Umum Tabengan)

HARUS DIHENTIKAN, Operasional Pabrik Sawit Mustika Sembuluh


PALANGKA RAYA, Operasional pabrik pengolahan kelapa sawit milik PT Mustika Sembuluh harus segera dihentikan karena melanggar aturan, yakni, tidak memiliki dokumen Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL-UPL), serta Izin Lingkungan dari Pemerintah Daerah Kabupaten Kotawaringin Timur. Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kotim diminta tegas dan menghentikan operasional pabrik tersebut agar tidak merugikan masyarakat.
“Tidak bisa beroperasi kalau tidak ada izinnya. Harus ada dokumen lingkungan atau UKL – UPL. Kalau tidak ada itu, tidak bisa dipertanggung jawabkan apa yang dikeluarkan dari pabrik itu,” kata Direktur Save Our Borneo (SOB) Nordin kepada Radar Sampit, Minggu (17/2).
Nordin mempertanyakan dasar perusahaan yang bersikukuh mengoperasionalkan pabrik tersebut tanpa memegang izin. Izin prinsip dari Gubernur tak bisa dijadikan landasan membenarkan operasional pabrik tersebut. Tanpa UKL-UPL, pabrik tersebut beroperasional secara serampangan yang bisa mengakibatkan kerugian bagi masyarakat, misalnya limbah yang dihasilkan pabrik tersebut.
“Izin gubernur pun harus ada dokumennya. BLH harus tegas dan harus bisa menjelaskan kenapa itu bisa terjadi. Kalau memang tak bisa menjelaskan, harus ambil tindakan, seperti PT Selonok Ladang Mas yang hanya memidahkan lokasi, operasionalnya dihentikan, apalagi kalau tak ada dokumen sama sekali,” tegasnya.
Sebelumnya diberitakan, pabrik pengolahan kelapa sawit milik PT Mustika Sembuluh yang berada di Estate 3 telah beroperasi sejak 1 Oktober 2012 lalu. Padahal, pabrik ini belum mengantongi dokumen UKL-UPL, serta Izin Lingkungan dari Pemkab Kotim.
Pantuan Radar Sampit di pabrik yang berada di Desa Sebabi, Kecamatan Telawang, Kabupaten Kotawaringin Timur, Jumat (15/2), tampak truk-truk bermuatan penuh buah kelapa sawit masuk kawasan pabrik milik Wilmar Group tersebut. Untuk menuju lokasi pabrik, harus masuk ke perkebunan kurang lebih 15 kilometer dari Jalan Sudirman Kilometer 62 Sampit-Pangkalan Bun.
Kepala Pabrik Mustika 2 Stanley mengatakan, pabrik sudah jadi sejak Agustus 2012 dan mulai beroperasi sejak 1 Oktober 2012. Pihaknya mengaku sudah mengantongi Izin Prinsip dari Gubernur Kalteng. Namun untuk dokumen UKL-UPL serta Izin Lingkungan masih dalam proses. ”UKL-UPL memang belum selesai karena masih dalam proses di pemda. Tapi untuk Izin Prinsip dari Gubernur sudah ada,” katanya kepada Radar Sampit.
Stanley mengungkapkan, proses perizinan berjalan cukup lama. Pihaknya mengaku mulai memproses perizinan pabrik yang dipimpinnya sejak Januari 2012, namun yang selesai baru Izin Prinsip. Sedangkan UKL-UPL masih diproses di Badan Lingkungan Hidup Kotim. ”Pabrik ini beroperasi, pemda juga sudah tahu,” katanya.
 
Ragukan Ketegasan Pemkab
Terkuaknya fakta terkait pabrik pengolahan kelapa sawit milik PT Mustika Sembuluh yang berada di Estate 3 yang beroperasi padahal belum mengantong dokumen Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL-UPL), menjadi sorotan masyarakat. Fakta ini juga membuat sejumlah pihak meragukan keseriusan dan ketegasan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kotawaringin Timur (Kotim) dalam melakukan pengawasan.
Pemerhati politik dan hukum di Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) Fachri Mashuri,  mengatakan, jika sebuah pabrik sudah beroperasi padahal belum memenuhi semua perizinan maka berarti jelas telah melanggar aturan. Aturan juga menjelaskan bahwa operasional diperbolehkan jika sudah ada izin, dan tidak diperbolehkan jika belum mengantongi izin meski sedang dalam proses pembuatan izin.
“Idealnya sebelum operasional seluruh perizinan itu termasuk UKL UPL harus dipenuhi. Proyek atau kegiatan dengan risiko dampak lingkungan itu wajib amdal (analisis mengendai dampak lingkungan hidup) atau UKL UPL, tetapi pada praktiknya dikerjakan sambil jalan. Seharusnya tidak seperti itu. perizinanya harus dipenuhi,” katanya.
Fachri mendesak agar pemerintah daerah bersikap tegas dengan menghentikan operasional pabrik tersebut. “Kita harus melihat apakah dampak lingkungan yang positif lebih besar atau memang lebih besar dampak negatifnya. Dalam hal ini BLH (Badan Lingkungan Hidup) harus melakukan evaluasi berkala terhadap out put dari kegiatan itu, terhadap lingkungan apakah diambang kewajaran atau tidak,” ungkapnya.
Dia juga mempertanyakan keseriusan pemerintah daerah dalam melakukan pengawasan terhadap pabrik yang sudah beroperasi sejak 1 Oktober 2012 lalu. Sangat ironis jika benar pengakuan Kepala Pabrik Mustika 2 Stanley bahwa pemerintah daerah sudah mengetahui operasional pabrik yang belum mengantongi UKL-UPL tersebut.
“Kalau memang betul pemda sudah mengetahui seharusnya cepat di cek lah, apakah pernah di cek oleh pemda sejauh ini. Dalam hal ini peran BLH, mereka harus pro aktif,” tambahnya.
Sesuai prosedur, kata dia, laporan UKL UPL tersebut harus dilaporkan setiap bulan. “Harapannya BLH harus menindaklanjutinya, serta menindak dengan memberikan surat teguran satu, dua dan tiga. Kalau itu juga diindahkan segera saja distop operasional pabrik tersebut,” pinta Fachri.
Menurut Fachri ancaman untuk perusahaan yang melanggar tersebut adalah paling tidak dihentikan operasinya. “Tergantung dari BLH ini bagaimana penerapanya,” tukasnya. “Tetapi saat ini pemerintah kita terkadang tidak tegas juga, ditemui dan dilobi akhirnya lemah lagi,” timpalnya seraya menyebut yang harus bertanggung jawab atas permasalahan ini adalah pemerintah daerah dan pimpinan perusahaan.
Sebelumnya, Pantuan Radar Sampit di pabrik yang berada di Desa Sebabi, Kecamatan Telawang, Kabupaten Kotawaringin Timur, Jumat (15/2), tampak truk-truk bermuatan penuh buah kelapa sawit masuk kawasan pabrik milik Wilmar Group tersebut. Untuk menuju lokasi pabrik, harus masuk ke perkebunan kurang lebih 15 kilometer dari Jalan Sudirman Kilometer 62 Sampit-Pangkalan Bun.
Kepala Pabrik Mustika 2 Stanley mengatakan, pabrik sudah jadi sejak Agustus 2012 dan mulai beroperasi sejak 1 Oktober 2012. Pihaknya mengaku sudah mengantongi Izin Prinsip dari Gubernur Kalteng. Namun untuk dokumen UKL-UPL serta Izin Lingkungan masih dalam proses. ”UKL-UPL memang belum selesai karena masih dalam proses di pemda. Tapi untuk Izin Prinsip dari Gubernur sudah ada,” katanya kepada Radar Sampit.
Stanley mengungkapkan, proses perizinan berjalan cukup lama. Pihaknya mengaku mulai memproses perizinan pabrik yang dipimpinnya sejak Januari 2012, namun yang selesai baru Izin Prinsip. Sedangkan UKL-UPL masih diproses di Badan Lingkungan Hidup Kotim. ”Pabrik ini beroperasi, pemda juga sudah tahu,” katanya.
Sementara itu Kepala Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Kotawaringin Timur Suparman mengatakan, PT Mustika Sembuluh memiliki dua pabrik CPO.  Pabrik yang pertama berada di estate 1 dan pabrik yang kedua berada di estate 3. Pabrik CPO Mustika 1 tidak masalah, namun pabrik CPO Mustika 2 saat ini belum memiliki dokumen UKL-UPL karena masih diproses oleh tim teknis BLH.
Sesuai aturan, kata Suparman, jika pabrik CPO belum mengantongi dokumen UKL-UPL serta Izin Lingkungan, maka belum boleh beroperasi. ”Sesuai aturan, tidak boleh beroperasi sebelum ada Izin Lingkungan. Izin Lingkungan baru bisa didapatkan setelah ada dokumen UKL-UPL. Jika melanggar, kami beri teguran,” 

STOP, Operasional Pabrik CPO Tanpa Izin


SAMPIT, Adanya aktivitas produksi di pabrik salah satu Perusahaan Besar Swasta (PBS) yang ada di wilayah Kotawaringin Timur (Kotim) mendapatkan sorotan serius dari anggota DPRD Kotim. Rimbun ST dari fraksi PDI-Perjuangan menegaskan agar pemerintah daerah bisa tegas menindak pihak investor yang mengabaikan aturan perundang-undangan yang berlaku dalam hal perizinan.
 
Izin yang harus dimiliki dikatakanya antara lain Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL), yang merupakan salah satu instrument pengelolaan lingkungan dan merupakan salah satu persyaratan perizinan bagi pemrakarsa yang akan melaksanakan suatu usaha/kegiatan di sektor yang berkaitan dengan lingkungan.
 
”Sekarang kita minta  Pemda agar tegas kepada perusahaan yang memilki pabrik tanpa mengantongi UKL dan UPL itu. Jangan sampai pelanggaran aturan ini dibiarkan begitu saja,” tegas Rimbun.
 
Dikatakannya, ketegasan aparatur pemerintah dalam mengawal dan menegakkan aturan jangan terkesan tebang pilih atau pilih kasih. Di mana ketika pelanggaran aturan di lakukan oleh masyarakat kecil, penegakkan langsung dilakukan tanpa kompromi.
 
Dikatakannya pula, lemahnya aparatur pemerintah dalam pengawalan dan penegakkan aturan jangan sampai menyebabkan kekecewaan secara luas di masyarakat, termasuk terjadinya hujatan atas pemerintah, akibat ada keberpihakan dalam menyelesaikan masalah.
 
“Karena itu kita minta kepada badan Lingkungan Hidup beserta Dinas terkait untuk menindak tegas dan melakukan pemberhentian operasional pabrik yang tidak memiliki izin UKL  atau UPL itu. Kalau masih dalam proses pengurusan itu namanya belum mengantongi izin, karena masih proses, artinya tidak boleh beroperasi karena izinnya belum keluar,” tegas Rimbun.
 
Sementara itu fakta di lapangan diketahui, salah satu pabrik pengolahan kelapa sawit milik PT Mustika Sembuluh yang berada di Estate 3 telah beroperasi sejak 1 Oktober 2012 lalu.  Namun ternyata pabrik ini belum mengantongi dokumen Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL-UPL), serta Izin Lingkungan dari Pemerintah Daerah Kabupaten Kotawaringin Timur. 
 
Pihak Pabrik, Atnley mengungkapkan, proses perizinan berjalan cukup lama. Pihaknya mengaku mulai memproses perizinan pabrik yang dipimpinnya sejak Januari 2012, namun yang selesai baru Izin Prinsip. Sedangkan UKL-UPL masih diproses di Badan Lingkungan Hidup Kotim. ”Pabrik ini beroperasi, pemda juga sudah tahu,” katanya.
 
Sementara itu Kepala Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Kotawaringin Timur Suparman mengatakan, PT Mustika Sembuluh memiliki dua pabrik CPO.  Pabrik yang pertama berada di estate 1 dan pabrik yang kedua berada di estate 3. Pabrik CPO Mustika 1 tidak masalah, namun pabrik CPO Mustika 2 saat ini diakuinya belum memiliki dokumen UKL-UPL karena masih diproses oleh tim teknis BLH.
 
Sesuai aturan, kata Suparman, jika pabrik CPO belum mengantongi dokumen UKL-UPL serta Izin Lingkungan, maka belum boleh beroperasi. ”Sesuai aturan, tidak boleh beroperasi sebelum ada Izin Lingkungan. Izin Lingkungan baru bisa didapatkan setelah ada dokumen UKL-UPL. Jika melanggar, kami beri teguran,”

Wilmar: ngku baru uji coba

Baru Sebatas Ujicoba, Mesin Pengoperasian Pabrik di Estate 3 PT Mustika Sembuluh 


SAMPIT, Manajemen PT Mustika Sembuluh menegaskan bahwa pengoperasian pabrik pengolahan kelapa sawit  yang berada di Estate 3 masih dalam tahap ujicoba mesin. Tahapan ujicoba pengoperasian tersebut telah berjalan selama empat bulan dari tahapan ujicoba maksimal selama enam bulan.
“Istilah teknisnya commisioning atau test run. Jadi belum beroperasi sepenuhnya. Operasi ujicoba mesin dilakukan selama 8 jam per hari dengan kapasitas 46 metrik ton per jam atau 30 persen dari kapasitas terpasang,” jelas Public Relation &Legal Manager Wilmar International Plantation, Dimas Setyawan didampingi Juatku Antono, Stenly (Kepala Pabrik) dan Suryanto (Admin Pabrik).
Stenly menjelaskan  ujicoba mesin pabrik oleh pihak kontraktor penting dilakukan untuk mengetahui performa mesin pabrik. “Sebagai konsumen, tentu kami tidak menginginkan mesin yang kami beli bermasalah. Ibarat kendaraan, sebelum dioperasionalkan mesinnya harus diujicoba lebih dulu,” ujarnya.
Suryanto menambahkan, segala ketentuan yang mengatur tentang pengoperasian pabrik akan dipatuhi oleh perusahaan, termasuk kelengkapan dokumen UKL-UPL. Secara administrasi, jelas Suryanto, dokumen UKL-UPL telah dipresentasikan ke hadapan Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) pada Oktober 2011 lalu. Dari pertemuan dengan BLH Kotim, BLH lantas merekomendasikan agar pihak perusahaan meminta izin rekomendasi dari Bupati Kotim.
“Rekomendasi dari bupati diperlukan karena Kabupaten Kotim merupakan satu dari tujuh kabupaten di Kalimantan Tengah yang terkena moratorium. Dan bupati meminta agar mengurusnya ke gubernur,” jelas Suryanto.
Secara prinsip, tegas Suryanto, proses perizinan di tingkat provinsi melalui gubernur telah mendapat persetujuan. Hasil telaahan pihak provinsi melalui instansi terkait, pengajuan perizinan UKL-UPL telah direkomendasikan untuk disetujui.
“Pelaksanaan legal audit dari Bupati Kotim baru saja kami terima.  Dokumen itu akan segera kami serahkan ke provinsi untuk mendapat persetujuan dari gubernur,” ujarnya.
Sebagaimana diberitakan sebelumnya, pengoperasian pabrik pengolahan kelapa sawit milik PT Mustika Sembuluh yang berada di Estate 3 mendapat sorotan publik karena belum mengantongi dokumen UKL-UPL, serta Izin Lingkungan dari Pemerintah Kabupaten Kotawaringin Timur. 
Kepala Pabrik Mustika 2 Stanley sebelumnya mengatakan, pabrik sudah jadi sejak Agustus 2012 dan mulai beroperasi sejak 1 Oktober 2012. Pihaknya mengaku sudah mengantongi Izin Prinsip dari Gubernur Kalteng. Namun untuk dokumen UKL-UPL serta Izin Lingkungan masih dalam proses. ”UKL-UPL memang belum selesai karena masih dalam proses di pemda. Tapi untuk Izin Prinsip dari Gubernur sudah ada,” katanya.
Stanley mengungkapkan, proses perizinan berjalan cukup lama. Pihaknya mengaku mulai memproses perizinan pabrik yang dipimpinnya sejak Januari 2012, namun yang selesai baru Izin Prinsip. Sedangkan UKL-UPL masih diproses di Badan Lingkungan Hidup Kotim. ”Pabrik ini beroperasi, pemda juga sudah tahu,” katanya.
Sementara itu Kepala Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Kotawaringin Timur Suparman mengatakan, PT Mustika Sembuluh memiliki dua pabrik CPO.  Pabrik yang pertama berada di estate 1 dan pabrik yang kedua berada di estate 3. Pabrik CPO Mustika 1 tidak masalah, namun pabrik CPO Mustika 2 saat ini belum memiliki dokumen UKL-UPL karena masih diproses oleh tim teknis BLH.
Sesuai aturan, kata Suparman, jika pabrik CPO belum mengantongi dokumen UKL-UPL serta Izin Lingkungan, maka belum boleh beroperasi. ”Sesuai aturan, tidak boleh beroperasi sebelum ada Izin Lingkungan. Izin Lingkungan baru bisa didapatkan setelah ada dokumen UKL-UPL. Jika melanggar, kami beri teguran,” kata Suparman.
Perlu Ketegasan Pemkab
Sementara itu paktisi hukum di Kotim, Darmansyah sangat menyayangkan jika benar ada pabrik kelapa sawit beroperasi padahal belum memenuhi semua perizinan yang diharuskan. “Kalau secara hukum ini sudah jelas melanggar, jika perusahaan tetap ngotot pemda secara administratif harus bertindak tegas,” ungkap Darmansyah.
Apalagi, kata dia, jika benar operasional pabrik tersebut diketahui pemerintah daerah. “Kalau seperti pernyataanya itu saya sungguh menyayangkan sekali jika hal itu memang benar. Jadi kita bisa menilai bagaimana pemerintah kalau memang sudah diketahui melanggar tapi tetap dibiarkan,” ujar Darmasnyah.
Jelasnya, jika nantinya operasional yang dilakukan oleh perusahaan itu berdampak terhadap lingkungan dan masyarakat sekitar apakah pemda tidak ikut bertanggung jawab atas permasalahan ini atau tidak. “Apakah pemda bisa ikut menjamin kalau operasional perusahaan tersebut tidak berdampak,” ucapnya.
 
Jelasnya, kalau memang permasalahanya seperti itu sudah jelas melanggar seharusnya pemerintah daerah tidak membiarkannya begitu saja. “Syarat itukan jaminan untuk melakukan operasional. Masa seanainya orang mau nikah persyaratan nikahnya belum lengkap tetapi dinikahkan oleh penghulunya, kan itu lucu akhirnya,” ujarnya mencontohkan. Sama halnya seperti permasalahan ini, pemda yang justru mengerti dan tahu tentang peraturan justru membiarkannya begitu saja. (sumber Radar Sampit)

Belum Kantongi IPKH, PT SP Tetap Buka Hutan


PALANGKA RAYA � Meski belum mengantongi izin pelepasan kawasan hutan (IPKH) dari Menteri Kehutanan sebagai syarat melakukan land clearing, perusahaan perkebunan kelapa sawit PT Susantri Permai (SP) tetap beroperasi. 

Tidak tanggung-tanggung, lahan yang dibuka sudah ribuan hektare. Perusahaan grup Dwi Warna Karya (DWK) yang beroperasi di wilayah Kapuas Hulu itu justru mengundang sejumlah kontraktor land clearing untuk membuka kebun yang belum berizin. 

Kami sempat menahan puluhan alat berat yang hendak dimasukkan ke lahan di kebun PT Susantri Permai dan grupnya. Kami tidak ingin hutan sebagai sumber kehidupan di wilayah kami rusak, tetapi malah diloloskan oleh polisi,  kata seorang warga yang meminta identitasnya tidak dikorankan kepada Kalteng Pos. 

Masyarakat kata dia, sudah melaporkan kepada pihak berwajib, bahwa PT SP melakukan perambahan hutan, dan membuka lahan tanpa izin pelepasan kawasan hutan dari Menhut, tetapi hingga sekarang, tidak ada tindakan dari aparat.  Dimana keadilan? Masyarakat yang membuka lahan ditangkapi, sementara perusahaan yang nyata-nyata merambah hutan tanpa izin dibiarkan, katanya. 

Meski sempat menahan iring-iringan alat berat yang akan dimasukkan ke lokasi kebun, toh akhirnya dengan pengawalan polisi, alat-alat berat itu dimasukkan untuk melakukan land clearing. Masyarakat menyesalkan polisi justru meloloskan hal itu.  Kami tidak tahu lagi tingkat kerusakan hutan yang terjadi karena puluhan alat berat beroperasi di dalam areal kebun, katanya. 

Sementara itu, general manajer PT SP Iwan mengatakan bahwa pihaknya tidak berhubungan langsung dengan alat-alat berat yang ditahan warga itu, karena alat-alat berat itu milik kontraktor pembukaan lahan, yang bekerja atas dasar kontrak kerja dengan PT SP. Itu (alat-alat berat, Red) milik kontraktor. Meski begitu, karena ditahan warga, dan sifatnya penahanan dan perampasan, ya kami sarankan untuk melaporkan kepada polisi, katanya saat dihubungi Kalteng Pos via telepon, Minggu (24/2) sore. 

Aksi penahanan itu lanjut dia terjadi sekitar sebulan lewat. Berkaitan dengan PT SP yang tetap membuka lahan meski belum mengantongi IPKH dari Menhut, Iwan tidak mau berkomentar dan mengatakan bahwa berkaitan dengan perizinan menjadi tugas bagian legal, Nio. Silakan berhubungan dengan bagian legal, karena mereka yang lebih tahu dan memahami persoalan izin itu, katanya. Bagian legal PT SP Nio yang dihubungi Kalteng Pos mengatakan, bahwa berkaitan dengan persoalan perizinan itu pihaknya telah menyerahkan kepada instansi yang berkompeten. Kalau berkaitan dengan persoalan perizinan, silakan langsung dengan instansi terkait saja, karena sudah bukan rahasia (perusahaan membuka lahan tanpa IPKH, Red) lagi, katanya. 

Sementara itu, Kepala Dinas Kehutanan Kalteng Ir Sipet Hermanto yang dihubungi via telepon genggamnya belum berhasil dikonfirmasi. Dari beberapa kali panggilan, terdengar nada sedang tidak aktif.