Rabu, 30 Januari 2013

PPSDM-KT Desak Kapolres Kotim Dicopot


Koordinator Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia Kalimantan Tengah (PPSDM-KT) Ruspandi menilai, Kapolres Kotim terlalu lunak terhadap kasus yang sebenarnya prioritas Polri. Kasus itu, misalnya dugaan pembalakan hutan (illegal logging) yang terjadi di Kecamatan Antang Kalang dan dugaan penambangan liar (illegal mining) di Desa Sudan, Kecamatan Cempaga Hulu. Termasuk dugaan penyimpangan bahan bakar minyak (BBM). “Sungguh disesalkan, selama ini pimpinan Polri di Jakarta terus menyuarakan perang terhadap kejahatan kehutanan, penambangan liar dan penyimpangan BBM, tapi jajaran bawahannya justru tidak pernah melaksanakan perintah atasannya tersebut,” tegas Ruspandi di Sampit, Selasa (13/3).

Bagi Ruspandi, persoalan yang tengah terjadi di Kotim saat ini, maraknya pembalakan hutan dan penambangan liar, sudah sangat serius. Sebab hal ini menyangkut banyak aspek yang sebagian di antaranya berpotensi menimbulkan kerugian negara dan kerusakan lingkungan.
“Apa jadinya daerah ini (Kotim) nantinya jika hal ini tetap dibiarkan oleh aparat yang berwenang mengatasinya. Ini persoalan serius yang harus disikapi banyak pihak,” ucapnya lagi.

Ruspandi juga mengaku tidak habis pikir terhadap kasus dugaan penambangan liar yang melibatkan PT Fajar Mentaya Abadi (FMA). Semestinya aparat hukum langsung tanggap, sebab dasar mereka untuk menindak perusahaan tersebut sudah ada dan nyata yaitu surat dari Gubernur Kalteng. “Apa polisi sangsi atau tidak percaya dengan Gubernur? Sehingga permintaan agar pihak kepolisian menghentikan kegiatan FMA tidak dilaksanakan. Sampai saat ini FMA masih terus melakukan aktivitas, tongkang mereka setiap saat masih hilir-mudik mengangkut hasil tambang,” kata Ruspandi.

Demikian pula dengan kasus pembalakan hutan di Antang Kalang. Sudah nyata-nyata sumbernya adalah kepala desa dan Ketua Dewan Adat Dayak (DAD) Antang Kalang yang notabene adalah tokoh masyarakat terpercaya di sana. Namun ternyata, kegiatan pembalakan hutan masih saja terjadi.

Sama halnya dengan kasus BBM, sudah cukup lama masyarakat Kotim tersiksa oleh kelangkaan BBM yang semestinya tidak perlu terjadi. Aksi dugaan penggarongan BBM bersubsidi selama ini terjadi di depan mata, dipermainkan oleh para oknum pelangsir dan hampir di semua SPBU.

“Kami akan kembali sampaikan persoalan ini ke Mabes Polri di Jakarta, dan kami meminta agar aparat mereka di daerah ini, khususnya di Kotim, agar segera dicopot dari jabatannya,” tegas Ruspandi.
 
Polda Belum Turunkan Tim
Polda Kalteng belum menurunkan tim untuk menyelidiki dugaan terjadinya illegal logging (pembalakan liar) di areal perusahaan perkebunan kelapa sawit PT Hati Prima Agro (HPA) di Desa Tumbang Ngahan, Kecamatan Antang Kalang, Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim).

Kasat Tipiter Ditreskrimsus Polda Kalteng AKBP Alfian mengatakan, pihaknya belum mendapatkan informasi adanya aksi pembalakan liar di sekitar areal PT HPA. “Belum ada tim yang turun ke areal itu atau perintah untuk melakukan penyelidikan dan mengumpulkan bahan keterangan, sehubungan adanya dugaan aksi pembalakan liar di sana,” kata Alfian.

Alfian berharap kalau memang ada informasi demikian, sebaiknya yang bersangkutan dapat menginformasikannya ke Reskrim Tipiter Polda Kalteng. Sementara, Kabid Humas Polda Kalteng AKBP H Pambudi Rahayu juga mengaku belum mendapat laporan dugaan pembalakang liar tersebut. “Besok (Rabu) saya akan coba konfirmasikan ke Kapolres Kotim,” kata Pambudi.

Sebelumnya, Direktur Eksekutif Save Our Borneo (SOB) Nordin meminta agar penegak hukum segera menyelidiki dugaan pembalakan liar di sekitar perkebunan sawit di areal PT HPA. Sebab, sampai sekarang belum ada tindak lanjut dari aparat kepolisian, baik Polres Kotim maupun Polda Kalteng, terkait dugaan terjadinya pembalakan liar tersebut.

Kalteng Awasi Realisasi Plasma Kebun Sawit


PALANGKA RAYA – Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kalimantan Tengah (Kalteng) akan membentuk tim khusus yang akan mengawasi perkebunan kelapa sawit di daerah ini. Tim tersebut akan mengawasi sejauh mana tiap perkebunan merealisasikan kewajiban membangun kebun plasma minimal 20 persen dari areal perusahaan mereka untuk masyarakat sekitar.

“Kita akan membentuk tim khusus itu. Tim itu nantinya akan menilai keseriusan para investor perkebunan besar sawit untuk membangun plasma minimal 20 persen dari luas areal yang diberikan,” tegas Wakil Gubernur Kalteng H Achmad Diran akhir pekan tadi.

Dia merinci, dari 11 juta hektare areal perkebunan yang beroperasi di Bumi Tambun Bungai ini, baru 11 persen areal perkebunan rakyat atau plasma yang sudah terbangun. Untuk itu, pemberian plasma oleh perusahaan menjadi perhatian serius Pemprov Kalteng.

Kewajiban perusahaan untuk menyediakan plasma ini, sudah diatur dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 5 tahun 2011 tentang pengelolaan usaha perkebunan perkelanjutan di Kalteng. Dalam peraturan tersebut perusahaan perkebunan yang beroperasi di wilayah Kalteng untuk menyediakan perkebunan rakyat.

“Untuk sekarang peraturan itu masih di sosialisasikan,  tetapi kalu perda ini sudah berjalan selama 2 tahun, maka perusahaan perkebunan kelapa sawit wajib menyediakan perkebunan plasma,” tegasnya.

Untuk mewujudkan hal ini, maka kewajiban dari kepala daerah untuk membantu perusahaan perkebunan yang telah tidak memiliki izin penggunaan lahan dengan menyediakan lahan bagi perkebunan rakyat.

Mantan Bupati Barito Selatan ini menyadari bahwa para bupati mengalami kendala dalam menentukan lokasi karena banyaknya wilayah yang dianggap Hutan Produksi (HP) yang berdekatan dengan perusahaan perkebunan dan menurut Permenhut tidak boleh diganggu. Namun demikian, Kementerian Kehutanan tentunya tidak tahu bagaimana lokasi yang sebenarnya.

“Lokasi yang dahulu dianggap Kemenhut sebagai HP ternyata saat ini hanya berisi semak belukar, sedangkan areal yang dianggap sebagai semak belukar, ternyata saat ini telah menjadi hutan. Untuk itu, saya meminta kepada semua Bupati untuk menginventarisir kebutuhan lahan yang diperlukan untuk perkebunan rakyat,” terangnya.

Diran mengungkapkan, dirinya memberikan waktu selama 2 minggu untuk melakukan inventarisir untuk selanjutnya data tersebut diajukan kepada pihak pusat guna dimintai dispensasi pelepasan kawasan. Perusahaan perkebunan diharapkan tidak tinggal diam, tetapi turut mengawal kegiatan tersebut agar dapat cepat selesai.

“Saya optimis, apabila semua pihak bekerja dengan semestinya, maka 20 persen perkebunan rakyat akan tercapai dua tahun lagi dan masyarakat tidak akan melakukan demo karena menuntut haknya. Karena semua pihak dapat menikmati keuntungan dari adanya perkebunan dai Kalteng ini,” jelasnya. 

Belum Memihak Rakyat
Sementara itu, Peraturan Daerah (Perda) Kalteng Nomor 5 tahun 2011 tentang Pengelolaan Usaha Perkebunan Berkelanjutan langsung menuai reaksi. Pasalnya, perda tersebut dinilai belum sepenuhnya berpihak pada rakyat. 

Perda tersebut dinilai masih menguntungkan para pengusaha dan merugikan rakyat. Karena itu, Gubernur Kalteng Agustin Teras Narang didesak harus meninjau kembali Perda tersebut.

Direktur Save Our Borneo (SOB) Nordin mengungkapkan hal itu setelah diundang dalam sosialisasi penerapan Perda tersebut bersama sejumlah investor perkebunan sawit di Kalteng. “Dari paparan dan dokumen cetak perda tersebut yang sudah final, terdapat ayat-ayat dalam pasal 18 Perda tersebut yang jelas-jelas sangat merugikan rakyat dan sangat menguntungkan investor perkebunan sawit,” katanya.

Ayat dimaksud tercantum dalam ayat (4) yang menyebutkan, bagi perusahaan perkebunan yang kebunnya telah terbangun tetapi belum melakukan pembangunan kebun bagi masyarakat sekitarnya, secara bertahap segera membangun kebun bagi masyarakat, dengan batasan waktu paling lambat 2 tahun sejak berlakunya Peraturan Daerah ini. Serta ayat (5), lahan untuk pembangunan kebun masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat berasal dari lahan masyarakat sendiri, atau lahan lain yang jelas status kepemilikannya.

Menurut Nordin, yang jadi masalah adalah ayat 4, dimana sebenarnya yang menjadi tuntutan warga selama ini adalah lahan untuk pembangunan kebun masyarakat seharusnya berasal dari HGU (Hak Guna Usaha) perusahaan yang disisihkan untuk masyarakat seluas 20% dari luas HGU yang dimiliki perusahaan.

“Jika ketentuannya adalah seperti ayat 5, dimana Lahan untuk pembangunan kebun masyarakat berasal dari lahan masyarakat sendiri, maka akan terjadi beberapa hal, diantaranya, lahan untuk diversifikasi usaha masyarakat guna keperluan pertanian dan lainnya akan habis tergerus untuk sawit semuanya, sehingga akan lebih menampakan situasi monokultur yang sangat tidak ramah lingkungan. Akibatnya, investor kelapa sawit raksasa dapat mencari kambing hitam untuk menyalahkan rakyat sebagai pelaku kerusakan lingkungan,” jelasnya.

Kemudian, lanjut Nordin, ketahanan pangan dan kemampuan produksi pangan masyarakat secara mandiri ditingkat lokal akan hancur, karena alat produksinya hilang bersamaan dengan sawitisasi massif yang disokong kebijakan perda. Masyarakt tidak bisa lagi berladang, berkebun, berburu, atau lainya karena seluruh lahannya akan dan hanya menjadi kebun sawit, sementara PBS tidak sejengkalpun terusik karena mereka tidak diwajibkan menyerahkan 20% lahan HGU mereka untuk rakyat.

Akibat dari beberapa hal tersebut, tegas Nordin, akan muncul sengketa horizontal antar warga yang saling mengklaim lahan. Selain itu, akan memunculkan bisnis SKT tanah oleh makelar tanah. dan ini akan sangat berbahaya. dalam jangka panjang.

“SOB menyesalkan ayat dalam pasal tersebut yang sangat jelas berpihak kepada perkebunan sawit, bukan kepada rakyat. SOB meyakini ada lobby kuat dari perkebunan sawit untuk menyesatkan ayat-ayat dimaksud. Hal ini karena sepengetahuan SOB bahwa Gubernur Kalteng Teras Narang pernah menyebutkan bahwa lahan 20% untuk warga sekitar adalah dan harus disisihkan dari HGU perusahaan, bukan justru menghantam tanah-tanah rakyat,” tegasnya.

Karena itu, kata Nordin, SOB meminta Gubernur meninjau kembali perda ini, karena sudah lepas dari semangat untuk memberikan keadilan distribusi tanah dan reforma agraria bagi rakyat di Kalteng yang hidup di sekitar perkebunan sawit. 

Presiden MADN Dituntut Tegas

PALANGKA RAYA - Pemerintah di tingkat provinsi maupun kabupaten yang menangani penyelesaian sengketa lahan di Bumi Tambun Bungai terus menuai kritik. Para pengambil kebijakan publik ini dituntut dapat bersikap tegas dan berani mengedepankan kepentingan masyarakat. Misalnya sengketa lahan di Kotawaringin Timur (Kotim) dan Kasongan, Presiden Majelis Adat Dayak Nasional (MADN), Agustin Teras Narang, dituntut terlibat secara langsung menyelesaikan permasalahan. "Kotim dan Kasongan harus libatkan presiden MADN, karena disana ada sengketa lahan," kata Ketua Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Fokus Kalteng, Zakaria Agan kepada kalteng Pos, Sabtu 29/1) lalu. 

Sedangkan sengketa lahan yang terjadi di Kabupaten Kapuas dan Kabupaten Gunung Mas, Zakaria mengatakan untuk melibatkan presiden MADN, Bupati yang tidak lain adalah Ketua Dewan Adat Dayak (DAD). "Sengketa lahan di Kapuas dan Gunung Mas, wajib libatkan MADN dan Bupati (Ketua DAD)," ujarnya. Ditambahkan dia, dalam Pergub nomor 13/2009 tentang tanah adat dan hak-hak adat di atas tanah di Kalteng Pasal 7 Gubernur dan Bupati/Wali Kota merupakan pengayom bagi masyarakat adat Dayak. Menurut dia, para pihak terkait harus mempunyai hubungan konsultatif dan pembinaan terhadap perkembangan kelembagaan dan hukum adat Kalteng. "Ada dua kabupaten yang tidak memiliki izin pembukaan lahan (IPL). Perusahaan tersebut yakni PT Dwie Warna Karya (DWK) dan PT Agro Lestari Sentosa (ALS). Kedua perusahaan tersebut tidak punya izin pembukaan lahan, namun sudah panen sawit yang ditanamnya di atas tanah adat (tanah hak masyarakat)," ungkapnya. Sehingga, kata dia, keduanya tidak menghormati adat istiadat setempat, yakni Kecamatan Kapuas Hulu dan Kecamatan di Gunung Mas. Pihaknya sudah melakukan pelaporan dan pengajuan kasus tersebut ke Pengadilan Negeri (PN) Palangka Raya. Zakaria menyayangkan ketetapan hakim, karena tidak dimediasi oleh presiden MADN. "Memang sudah diajukan ke Pengadilan Negeri Palangka Raya, seharusnya saat mediasi oleh MADN, namun tidak, dan hakim menetapkannya," ujarnya. Secara terpisah Presiden Eksekutif Wahana Lingkungan (Walhi) Kalteng Arie Rompas melalui pres rilis ke redaksi Kalteng Pos menegaskan, Pemprov Kalteng seharusnya melibatkan semua pihak dalam pembentukan tim terpadu penyelesaian sengketa lahan di Kalteng. Dengan begitu, lanjut dia, hal ini diharapkan dapat memenuhi rasa keadilan bagi setiap warga yang terancam dan sedang dirampas hak atas tanahnya oleh perusahaan sawit dan pertambangan di Kalteng. Disampaikannya, persoalan konflik agaria dan SDA ini adalah dampak yang tak terhindarkan dari kebijakan pemerintah yang membuka lebar-lebar pintu bagi investasi,namun tidak melindungi akses dan hak kelola warga atas tanah. Menurut Arie Rompas, hal ini harus diantisipasi untuk mencegah peningkatan konflik agraria di Kalteng yang akan meningkat seiring dengan meninggkatnya investasi, dan pengusahaan lahan di Kalteng oleh kebijakan pemerintah. 

Ditandaskannya pula, kebijakan tersebut adalah penerbitan izin untuk Hak Pengusahaan Hutan (HPH) atau Hutan Tanaman Industri (HTI), pertambangan dan perkebuan sawit dan izin konsesi restorasi ekosistem dengan skema REDD dan Taman Nasional yang membatasi akses dan merampas tanah-tanh dan ruang hidup rakyat. Dia menyatakan, segala upaya yang dilakukan Pemprov harus menyentuh pada subtansi dasar yaitu dengan melakukan Pembaruan Agraria. "Pemerintah dituntut untuk melakukan penataan ulang atau restrukturisasi pemilikan, pengusahaan, dan penggunaan sumber-sumber agraria, untuk kepentingan petani, buruh tani, perempuan dan golongan ekonomi lemah," tukas Arie Rompas. Dia menjelaskan, Walhi mendasarkannya pada Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) 1966. Hal itu, disampaikannya, untuk melindungai dan menjamin tanah-tanah warga dari ancaman perampasan dan pengusuran yang dilakukan oleh perusahaan pemerintah. "Kita dari Walhi menuntut Pemprov harus dapat memastikan tanah-tanah komunal dan adat dengan mengoptimalkan kebijakan Peraturan Gubernur (Pergub) nomor 13 tahun 2009 tentang tanah adat di Kalteng," ujar Arie Rompas. Lebih jauh Arie Rompas mengungkapkan, sepanjang 2011, Walhi Kalteng mencatat ada 20 warga yang telah dikriminalisasi termasuk 12 orang warga yang di tahan oleh Polres Seruyan atas konflik tanah dengan PT WSSL di Kecamatan Hanau. Selain itu, kata dia, Walhi juga mencatat ada 30 kasus konflik agraria yang dilaporkan dan sedang bersentuhan dengan advokasi Walhi Kalteng yang belum terselesaikan oleh pemerintah hingga saat ini. 

Dwie Warna Karya

masyarakat sei pinang, kuala kapuas, kalimantan tengah menutup akses masuk ke perusahaan besar sawit (PBS) PT. DWI WARNA KARYA yang dikareanakan tuntutan ganti rugi lahan milik masyarakat yang telah diambil dan diserobot yang sebelumnya digunakan masyarakat sebagai lahan kebun dan ladang masyarakat tidak juga dipenuhi oleh pihak perusahaan. 

Dalam aksinya masyarakat menggunakan tradisi adat yang dinamai HINTING PALI, masyarakat sudah menutup akses masuk ke perusahaan kurang lebih 1,5 bulan sehingga aktivitas perusahaan tersebut lumpuh total, akan tetapi pada tanggal 03 Desember 2012 sekitar pukul 18.30 wib, menurut pengakuan masyarakat bahwa aparat membongkar semua fasilitas yang digunakan oleh masyarakat dalam menutup akses masuk ke perusahaan dengan sikap arogansi yang langsung mengangkat senjata ke masyarakat yang ada disekitar akses masuk tersebut, sehingga tidak lama kemudian terdengar letusan senjata dari aparat sehingga salah satu masyarakat terkena serpihan peluru aparat dan tiga warga Sei Pinang, Kabupaten kapuas, Kalteng di kabarkan hilang setelah aksi brutal aparat Brimob Polda Kalteng.

Selasa, 29 Januari 2013

Disbun Seruyan Klarifikasi Data


Menghindari terjadinya kesimpangsiuran, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Seruyan mengklarifikasi data jumlah perkebunan kelapa sawit (PBS) yang beroperasi di Seruyan.
Kadishutbun Seruyan Priyo Widagdo melalui Kabid Usaha Perkebunan Maryoso mengatakan, data Save Our Borneo (SOB) yang menyebutkan di Seruyan terdapat 44 unit perusahaan, tidak benar. “Data kami hanya ada 36 unit perusahaan,” kata Maryoso.
Dikatakan, ke-36 perkebunan besar swasta (PBS) sawit tersebut, total luasnya 733.544ha, meliputi PBS aktif/operasional sebanyak 30 unit (426.564ha), dan belum aktif enam unit (87.620ha).
Adapun ke-36 PBS itu masing-masing, PT Agro Indomas, PT Rim Capital, PT Mustika Sembuluh, PT Kerry Sawit Indonesia, PT Sarana Titian Permata, PT Rimba Harapan Sakti, PT Bina Sawit Abadi Pratama, PT Tapian Nadengan, PT Agro Karya Prima Lestari, PT Mitra Karya Agroindo, PT Adi Tunggal Maha Jaya, PT Buana Artha Sejahtera.
Kemudian, PT Mitra Tama Abadi Makmur, PT Krida Tama Lancar, PT Indotruba Tengah, PT Teguh Sempurna, PT Wana Sawit Subur Lestari I, PT Wana Sawit Subur Lestari II, PT Bangun Jaya Alam Permai, PT Hamparan Mas Sawit Bangun Persada, PT Gawi Bahandep Sawit Mekar, PT Mega Ika Khansa, PT Salonok Ladang Mas, dan PT Musirawas Citra Harpindo.
PT Sumur Pandan Wangi, PT Cipta Tani Kumai Sejahtera, PT Sawitmas Nugraha Persada, PT Telaga Sawit Persada, PT Rana Central Nugraha, PT Menthobi Sawit Jaya, PT Ahmad Saleh Perkasa, PT Borneo Eka Sawit Tangguh, PT Graha Indo Sawit Tangguh, PT Sawit Mandiri Lestari, PT Rimba Sawit Utama Planindo, dan PT Wahana Agrotama Perkasa.
Dari ke-36 unit perusahaan tersebut, kata Maryoso, 24 di antaranya areal operasinya memang berada di wilayah Seruyan. Tapi, 12 unit lainnya beroperasi di lintas wilayah perbatasan, seperti Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) dan Kotawaringin Barat (Kobar).
Mengenai adanya perbedaan data antara Dishutbun Seruyan dan Disbun Kalteng, Maryoso enggan menjelaskan. “Kita klarifikasi ini saja (data SOB), kalau yang Disbun Kalteng lewatkan dulu,” ucapnya seraya menandai (klarifikasi data) pada selembar kertas.
Sebelumnya, berdasarkan data SOB, salah satu lembaga lingkungan di Kalteng, di Kabupaten Seruyan terdapat 44 PBS sawit dengan luas mencapai 652.338ha, dengan rincian 18 unit PBS aktif (235.318ha) dan 26 unit PBS belum aktif (417.020ha).
Sementara data Disbun Kalteng terdapat 25 unit PBS dengan luasan 350.662ha, meliputi PBS aktif 18 unit seluas 255.337ha dan tujuh unit PBS belum aktif 95.325ha. 

SOB Pertanyakan Data Perkebunan di Seruyan


Perbedaan jumlah perusahaan yang aktif di Kabupaten Seruyan pada data Disbun Kalteng menimbulkan tanda tanya bagi SOB. Untuk memastikan kebenarannya, perlu dicek ke lapangan.

Save Our Borneo (SOB) mempertanyakan data perkebunan sawit di Kabupaten Seruyan yang dikeluarkan Dinas Perkebunan (Disbun) Provinsi Kalteng karena tidak memuat konsesi perkebunan yang diduga milik kroni Bupati Seruyan Darwan Ali. “Ini upaya cuci dosa sistemikApakah Disbun Kalteng terlibat,” kata Koordinator SOB Nordin, Berdasarkan kolekting data yang dilakukan lembaga swadaya masyarakat (LSM) lingkungan di Kalteng ini, di Kabupaten Seruyan terdapat 44 unit manajemen perkebunan besar swasta (PBS) sawit dengan luas 652.338ha. PBS aktif seluas 235.318ha, terdiri dari 18 unit perusahaan dan belum aktif 417.020ha terdiri dari 26 unit perusahaan. Namun, berdasarkan data yang dirilis Disbun Kalteng, lanjut Nordin, luasannya adalah 350.662ha, terdiri dari 25 unit manajemen PBS, meliputi PBS yang aktif (operasional) 255.337ha terdiri dari 18 unit perusahaan dan belum aktif 95.325ha terdiri dari tujuh unit perusahaan.

Menurut anggota Dewan Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) ini, yang menjadi pertanyaan adalah jumlah perusahaan/izin yang belum aktif. Di mana data Disbun Kalteng hanya menunjukkan tujuh unit manajemen dengan luas 95.325ha, padahal menurut catatan SOB terdapat 26 unit manajemen.
Nordin menduga ada dua kemungkinan ‘lenyapnya’ beberapa perusahaan tersebut. Pertama, tidak dilaporkan oleh pihak Kabupaten Seruyan, di mana bisa saja hal ini di-hidden untuk maksud tertentu, khususnya implikasi hukum bagi pemberi izin, karena lokasinya berada dalam kawasan hutan. Kedua, izinnya sudah dicabut, namun tidak diberitahukan kepada Provinsi.

Dikeluarkan Bupati
Dikonfirmasi melalui telepon, Kepala Disbun Kalteng Erman P Ranan, Minggu (20/2), mengungkapkan, izin perkebunan di kabupaten dikeluarkan oleh Bupati. Sedangkan, pihaknya hanya merekam data laporan dari kabupaten dan perusahaan itu.

Mengenai informasi dari SOB bahwa sebagian besar perkebunan di daerah Seruyan tidak didaftarkan, Erman mengaku tidak tahu. “Untuk kebenarannya perlu dilakukan klarifikasi dan pengecekan ke lapangan,” kata Erman.
Dikatakan, hanya sekitar 28 PBS di Kabupaten Seruyan yang terdaftar di Disbun Kalteng, namun semua sudah memiliki izin.

Lebih jauh Erman mengatakan, pengeluaran izin tersebut merupakan kewenangan Bupati (pemerintahan di kabupaten), sehingga dirinya juga tidak mengetahui secara persis apa saja yang harus dilengkapi dan bagaimana mekanismenya pendaftaran perkebunan tersebut.
Untuk lebih jelasnya, kata Erman, seharusnya  ditanyakan (koordinasi) dengan pihak kabupaten, mengingat mereka sebagai pemilik wilayah. 
  
Data Disbun Kalteng per 30 Juni 2010

1. PT. Rimba Harapan Sakti
2. PT. Graha Indosawit Andal Tunggal
3. PT. Rimba Sawit Utama Planindo
4. PT. Wahana Agrotama Makmur Perkasa
5. PT. Borneo Eka Sawit Tangguh
6. PT. Ahmad Saleh Perkasa
7. PT. Telaga Sari Persada
8. PT. Sawit Mandiri Lestari
9. PT. Kerry Sawit Indonesia
10. PT. Ciptatani Kumai Sejahtera
11. PT. Tapian Nadenggan
12. PT. Musirawas Citraharpindo
13. PT. Binasawit Abadi Pratama
14. PT. Sarana Titian Permata
15. PT. Salonok Ladang Mas
16. PT. Agro Mandiri Perdana
17. PT. Mitrakarya Agroindo
18. PT. Gawi Bahandep Sawit Mekar
19. PT. Mega Eka Khansa
20. PT. Mitra Unggul Tama Perkasa
21. PT. Sumur Pandan Wangi
22. PT. Adi Tunggal Maha Jaya
23. PT. RIM Capital
24. PT. Menthobi Sawit Jaya
25. PT. Rana Central Nugraha

Perusahaan Sawit yang terdata di Kabupaten Seruyan, tapi tidak termuat dalam data Disbun Kalteng (bahkan perusahaan no.18, KUCC, jelas-jelas sudah tanam, tapi hilang dari data Disbun) versi SOB.

1. PT. Eka Harapan Itah
2. PT. Kalua Adi Raya
3. PT. Papadaan Uluh Itah
4. PT. Pukun Mandiri Lestari
5. PT. Petak Sawit Eka Harap
6. PT. Sawit Gawin Itah Samandiai
7. PT. Tana Sawit Belum Itah
8. PT. Seruyan Sawit Makmur
9. PT. Bawak Sawit Tunas Belum
10. PT. Buana Sawit Hijau
11. PT. Tri Permai Hijau
12. PT. Bulau Sawit Bajenta
13. PT. Harapan Sawit Eka Malan
14. PT. Petak Malai Sawit Makmur
15. PT. Alam Sawit Permai
16. PT. Upun Sawit Tampung Penyang
17. PT. Benua Alam Subur
18. PT. Kharisma Unggul Centratama Cemerlang
19. PT. Wahana Agrotama

Catatan: Sebagian data perusahaan yang hidden diduga milik kroni Bupati Seruyan dan lokasinya berada dalam kawasan hutan. Berdasarkan Perda No.8/2003 tentang RTRWP maupun tata guna hutan kesepakatan (TGHK) tetap sama-sama berada dalam kawasan hutannya.

SOB Minta Dibatalkan

Pemerintah sebaiknya ‘memaksa’ industri membuat jalan khusus, sehingga angkutannya tidak merusak jalan publik dan pada saatnya dapat di-take over menjadi aset negara.
Meski memiliki alasan berbeda dengan Gubernur Kalteng Agustin Teras Narang, namun Save Our Borneo (SOB) juga menolak rencana investasi Rusia yang akan membangun jaringan rel kereta api (KA) dari Kalteng ke Kaltim.
“SOB meminta untuk dibatalkan (pembangunan rel KA), bukan karena menuju ke Kaltim. Menuju kemana pun, jika tidak untuk angkutan publik harus dipikirkan ulang, apalagi ini untuk fasilitas eksploitasi sumber daya alam (SDA) secara masif,” tegas Direktur Eksekutif SOB Nordin, kepadaTabengan, di Palangka Raya, Jumat (5/8).
Menurut Nordin yang juga mantan Direktur Eksekutif Walhi Kalteng, rencana pembangunan rel KA dari Kalteng ke provinsi lain di Kalimantan bukan merupakan isu utama, tapi yang substansial adalah moda transportasi yang dibangun apakah dari wilayah hulu eksploitasi menuju hilir (pelabuhan).
Biasanya, lanjut Nordin, moda demikian akan menuju pada eksploitasi SDA dan pengerukan skala masif dan jangka panjang. Kemudian, apakah moda transportasi yang akan dibangun tersebut diperuntukkan bagi fasilitas umum atau privat. Nordin menilai yang dilakukan investor Rusia tersebut tampaknya akan membangun untuk privat dengan menggunakan area umum, hutan negara, dan lahan warga.
Di samping itu, harus juga dicermati apakah pembangunan, pengelolaan, termasuk kontrolnya ke depan membutuhkan dana publik yang berasal dari APBN/APBD. “Jika ya, maka itu masalah, karena tidak untuk publik keretanya. Jika tidak, apa yang didapat rakyat dan negara, apakah hanya akan menyisakan lubang tambang dan kota hantu nantinya,” tegas Nordin.
Nordin menyarankan agar pemerintah, termasuk Pemerintah Daerah (Pemda) agar ‘memaksa’ industri membuat jalan khusus, sehingga angkutannya tidak merusak jalan publik dan pada saatnya dapat di-take over (pindah tangan) menjadi aset publik/negara.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Walhi Kalteng Arie Rompas berpendapat bahwa rencana pembangunan rel KA, baik yang digagas oleh Pemerintah Pusat maupun Pemda adalah proyek yang akan mengancam keselamatan warga di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) Barito dan Mahakam.
Menurut Rio, panggilan akrab Arie Rompas, proyek pembangunan rel KA tersebut bertujuan untuk mempercepat eksploitasi SDA di wilayah tangkapan air (cathmen area), sehingga harus ditinjau kembali.
Rio menilai menolak  pembangunan rel KA  karena menyangkut penyelamatan lingkungan dan ekologi di wilayah Pegunungan Swahcner  tidak mendasar. “Karena lebih bicara soal kewenangan pusat dan daerah, bukan pada aspek penyelamatan lingkungan dan ekologi di wilayah ini,” kata Rio.
Seharusnya, lanjut Rio, yang ditolak adalah izin konsesi pertambangan di wilayah tersebut, karena pasti akan  menghancurkan bentang alam dan ekosistem. Sebab, praktik pengelolaan pertambangan menggunakan metode open pit mining (tambang terbuka).
Berdasarkan cacatan Walhi, di wilayah tersebut sudah terdapat tujuh izin konsesi pertambangan batu bara milik BHP Biliton dan satu buah milik Asmin Koalindo Tuhup  seluas 362.733ha yang merupakan milik perusahaan asing. Dengan izin perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara (PKP2B) yang masa kontaknya hingga 2033 mendatang.
Sebelumnya Gubernur Kalteng Agustin Teras Narang dan Wakil Gubernur Achmad Diran menyatakan penolakannya terhadap rencana investor Rusia yang akan membangun rel KA pengangkut batu bara sepanjang 135km dari Kalteng ke Kaltim. Bahkan keduanya menegaskan akan mundur jika proyek tersebut tetap dipaksakan oleh Pemerintah Pusat.
“Saya dan Pak Achmad Diran (Wakil Gubernur Achmad Diran) tidak akan mau dan tidak bersedia menyetujui rencana ini,” tegas Teras dalam jumpa pers yang didampingi Diran dan sejumlah Kepala SKPD, di Ruang Eka Hasundau, Kompleks Kantor Gubernur, Rabu (3/8).
Penolakan Gubernur tersebut juga mendapat dukungan dari Dewan Adat Dayak (DAD) Kalteng. Ketua DAD Sabran Achmad menilai, jika kekayaan alam Kalteng justru diangkut melalui provinsi lain, Kalteng akan dirugikan.

Kadisut Kotim Harus Bertanggung Jawab


Pembukaan lahan yang dilakukan pada areal perkebunan besar swasta (PBS) PT Hati Prima Agro (HPA) di Kecamatan Antang Kalang, Kabupaten Kotawaringin Timur diduga kuat ilegal.  
Dugaan itu diungkap Direktur Eksektur Save Our Borneo (SOB) Nordin setelah adanya bukti Keputusan Bupati Kotim Supian Hadi mencabut Izin Lokasi dan Persetujuan Prinsip Arahan Lokasi areal PT HPA sebagai akibat dicabutnya SK Izin Pelepasan Kawasan Hutan No.186/Kpts-II/2000. 
Dalam keputusan No 525.26/228/Ek.SDA/IV/2012, 19 April 2012, tersebut jelas sekali Bupati menyebutkan dasar pencabutan adalah karena telah terbitnya Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: SK.51/Menhut/-II/08, 11 Maret 2008, tentang Pencabutan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor: 186./KPTS-II/2000, 29 Juni 2000.
Berdasarkan hal tersebut, menurut Nordin, patut diduga bahwa Dinas Kehutanan (Dishut) Kotim telah sengaja melakukan pembiaran terjadinya aktivitas tidak sah dalam kawasan hutan, bahkan secara sengaja tetap memberikan izin pemanfaatan kayu (IPK) kepada UD Karya Budi, 29 Maret 2011.
Padahal, sebelumnya pada 16 Maret 2011 Kepala Dishut Kotim juga berkirim surat ke Menteri Kehutanan No.522/I/261/1.03/III/2011 tentang Permohonan Revisi SK Pencabutan Kawasan Hutan atas nama PT HPA. “Artinya, pada tanggal ini Kadishut Kotim telah tahu bahwa ada surat pencabutan dari Menhut,” kata Nordin melalui rilis yang diterimaTabengan, tadi malam (27/6).
Sayangnya, bukan  mengamankan keputusan Menhut tersebut dengan membatalkan SK IPK untuk UD Karya Budi, Kadishut justru meminta revisi atas SK SK.51/Menhut/-II/08 guna memuluskan aktivitas pembalakan di areal PT HPA yang telah dicabut IPKH-nya.
Nordin menilai, akibat digunakannya SK IPKH No. 186/Kpts-II/2000 yang telah dicabut dan diabaikannya Surat Menhut No:SK.51/Menhut-II/2008 tentang Pencabutan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 186/KPTS-II/2000, maka Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) kepada UD Karya Budi tidak sah dan menimbulkan kerugian Negara serta pemegang IPK.
Kadishut Kotim dinilai sengaja mengabaikan Surat Menhut guna memuluskan pembalakan haram di areal PT HPA dengan tameng legalisasi melalui IPK yang didasari dengan IPKH yang sebenarnya sudah tidak berlaku dan telah dicabut oleh Menhut.
SOB menduga terjadi praktik pidana kehutanan yang sangat serius dan terstruktur, juga dibarengi dengan praktik korupsi dan pencucian uang dari praktik pembalakan haram bertopeng IPK dengan menggunakan Izin Pelepasan Kawasan Hutan yang sudah dicabut tersebut.
Kadishut Kotim harus bertangung jwab atas praktik pembalakan haram dan sengaja mengabaikan SK pencabutan IPKH di areal PT HPA dan Bupati Kotim hendaknya melakukan evaluasi menyeluruh dan serius atas kasus ini.
Pencabutan izin HPA bukanlah akhir dari proses ini, namun dibutuhkan tindakan atas praktik pelanggaran hukum yang terjadi sebelumnya. Di samping itu, diperlukan langkah strategis yang memberikan dampak positif bagi warga di sekitar areal PT HPA dan meminimalisir dampak konflik kepentingan yang bisa menyebabkan kerugian lebih besar pada berbagai pihak.

Pemprov harus Evaluasi Ijin Bermasalah


Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalteng mengharapkan Pemprov Kalteng mengevaluasi izin perusahaan perkebunan dan pertambangan bermasalah dengan masyarakat sebagai upaya mencegah konflik di masa mendatang. Apabila dalam evaluasi terjadi kesalahan terhadap publik, konsekuensinya diberi sanksi tegas sebagai peringatan kepada setiap perusahaan yang melanggar.
Direktur Eksekutif Walhi Kalteng Arie Rompas dalam rilis yang diterima Tabengan, Senin (30/1), mengatakan, pemerintah juga harus menyediakan mekanisme pengaduan yang jelas dan resolusi konflik sebagai upaya untuk menyelesaikan masalah. Hal itu dimaksudkan untuk melindungi dan menjamin tanah-tanah warga dari ancaman perampasan dan penggusuran yang dilakukan perusahaan.
Pemprov juga harus memastikan tanah-tanah komunal dan adat dengan mengoptimalkan kebijakan Peraturan Gubernur (Pergub) No.13/2009, tentang Tanah Adat di Kalteng. Ia berpendapat, persoalan konflik agraria dan sumber daya alam (SDA) adalah dampak yang tidak terhindarkan dari kebijakan pemerintah yang membuka lebar-lebar pintu bagi investasi, namun tidak melindungi akses dan hak kelola warga atas tanah.
Hal tersebut harus diantisipasi dan diprediksi melalui peningkatan konflik agraria di Kalteng akan melonjak seiring bertambahnya investasi dan pengusaan lahan di Kalteng oleh kebijakan pemerintah.Dengan menerbitkan izin untuk HPH/HTI, pertambangan dan perkebunan sawit serta izin konsesi restorasi ekosistem dengan skema REDD, dan Taman Nasional yang membatasi akses juga merampas tanah-tanah dan ruang hidup rakyat.
Bukan hanya itu, pemerintah juga terkesan lambat dalam mengatasi setiap konflik yang menyangkut agraria, serta tidak jelasnya saluran pengaduan dan penyelesaian konflik. Hal ini diperparah lagi dengan lemahnya penegakan hukum dan keberpihakan aparat terhadap perusahaan, sehingga tidak ada jaminan kepastian keadilan bagi warga yang sedang berkonflik.
"Keterlibatan aparat penegak hukum juga menjadi salah satu bagian dari konflik, dimana represifitas dan kriminalisasi sering dijadikan alat utama untuk meredam tuntutan masyarakat yang sedang memperjuangkan hak konstitusinya," jelasnya.
Sepanjang 2011, Walhi mencatat setidaknya 20 warga yang telah dikriminalisasi, termasuk 12 orang warga yang ditahan Polres Seruyan atas konflik tanah dengan PT WSSL di Kecamatan Hanau. Dia menyebutkan, terdapat 30 kasus konflik agraria dilaporkan dan sedang diadvokasi Walhi Kalteng yang belum terselesaikan pemerintah hingga saat ini.
Ia menilai, maraknya terjadi aksi dan konflik akhir-akhir ini, merupakan akumulasi kekecewaan atas penanganan konflik yang tidak pernah menyentuh akar masalah dan rasa keadilan yang akan berujung pada konflik horisontal dan merugikan semua pihak. Dalam penyelesaikan konflik agraria, Pemprov Kalteng harus melibatkan semua pihak dan menyentuh subtansi dasar dalam upaya penyelesaian konflik agraria dan SDA di Bumi Tambun Bungai.
Untuk memenuhi rasa keadilan bagi setiap warga yang terancam dan sedang dirampas hak atas tanahnya oleh perusahaan sawit dan pertambangan di Kalteng, Gubernur harus memimpin langsung upaya penyelesaian konflik ini. Penyelesaian konflik tersebut dengan melibatkan berbagai intansi pemerintahan yang terkait dengan agraria dan sumber daya alam, termasuk masyarakat sipil di Kalteng.
Upaya ini harus diselesaikan semua konflik dengan mengutamakan konflik komunitas dengan perusahaan yang sedang terjadi. Segala upaya yang dilakukan harus menyentuh pada subtansi dasar, yaitu melakukan pembaruan Agraria. Penataan ulang atau restrukturisasi pemilikan, penguasaan dan penggunaan sumber-sumber agraria bagi kepentingan petani, buruh tani, perempuan dan golongan ekonomi lemah pada umumnya, seperti terangkum dalam UUPA 1966.

6 PBS Garap Kawasan Hutan Tanpa Izin

Sedikitnya 6 perusahaan besar swasta (PBS) perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Lamandau dan Kotim, menggarap kawasan hutan tanpa izin.
Keenam perkebunan kelapa sawit tersebut berada di wilayah Kecamatan Antang Kalang, Kabupaten Kotim dan Kabupaten Lamandau. Namun sayangnya tim dari Mabes Polri tersebut tidak menyebutkan nama keenam perusahaan perkebunan kelapa sawit yang melakukan pelanggaran tersebut.
"Akibat ulah PBS tersebut kawasan hutan itu sekarang kondisinya rusak dan banyak pohon yang ditebang," kata Direktur Tipidter Bareskrim Polri Brigjen (Pol) Gatot Subiaktoro, Jumat (9/11), pada acara ekspos hasil tangkapan tim Operasi Hutan Lestari Mabes Polri.
Menurut Gatot, pelanggaran yang dilakukan pihak perkebunan kelapa sawit tersebut adalah menggarap kawasan hutan yang dilarang. Sesuai ketentuan dan peraturan penggarapan kawasan hutan yang dilarang harus seizin Menteri Kehutanan. Kawasan hutan yang mereka garap luasnya mencapai 24 ribu hektar.
Kondisi kawasan hutan itu sekarang sudah rusak, banyak pohon-pohon kayu yang ditebang, terutama untuk perkebunana kelapa sawit yang ada di Kebupaten Lamandau, sebut Gatot.
Tim dari Mabes Polri saat ini sedang menyelidiki siapa sebenarnya penanggungjawab perusahaan tersebut.
”Kita akan segera menentukan siapa pelaku dan tersangka yang sebenarnya, keenam perusahaan perkebunan tersebut akan diberikan sanksi berat, yakni pencabutan izin,”tegasnya.
Selain menemukan ada perusakan hutan, tim Mabes Polri yang melakukan Operasi Hutan Lestari selama 1 bulan di Kalteng terhitung sejak 10 Oktober hingga 8 November 2012, juga menemukan praktik illegal logging di areal perkebunan kelapa sawit.
Selama operasidigelar ditemukan sebanyak 30 kasus, 24 kasus merupakan tindak pidana illegal logging dan pelanggaran UU No.41/1999  tentang Kehutanan. Kasusnya sekarang ditangani oleh Polda Kalteng. Sedangkan 6 kasus lainnya merupakan tindak pidana illegal logging yang dilakukan oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit.

Penyelesaian RTRWP Masih Tersendat


RTRWP Kalteng yang dinantikan banyak pihak ternyata belum dapat diselesaikan. Pemkab/Pemko sepakat tetap gunakan Perda tentang RTRWP Kalteng.
Penyelesaian masalah Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Kalteng masih tersendat. Meski pada April 2007 silam RTRWP Kalteng telah disampaikan kepada Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN), namun hingga kini belum kelar.
“Padahal Pemprov Kalteng telah mematuhi ketentuan dan niat baik untuk menyelesaikan RTRWP yang merupakan bagian terpenting dalam rangka membangun wilayah Kalteng. Namun pada kenyataannya, persoalan ini tak kunjung berkahir,” kata Gubernur Kalteng Agustin Teras Narang melalui sambutan tertulis yang dibacakan Wakil Gubernur Achmad Diran, pada acara Rapat Koordinasi Penataan Ruang Wilayah Provinsi Kalteng, di aula Serbaguna Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kalteng, Rabu (3/10).
Gubernur menilai selama ini terjadi tarik menarik yang di dalamnya terdapat kepentingan sektoral dan beperan besar, terutama di bidang kehutanan. Situasi ini menyebabkan proses penyelesaian RTRWP masih terombang-ambing.
“Hanya saja kita akui bersama, ada kepentingan sektoral, khususnya kehutanan. Dan hal inilah yang menyebabkan tersendatnya penyelesaian RTRWP. Bukan hanya di Kalteng, tetapi di provinsi yang ada di Kalimantan,” jelasnya.
Saat ini, sambungnya, perkembangan penyelesaian rancangan peraturan daerah (Raperda) RTRW seluruh kabupaten/kota di Kalteng telah mendapat persetujuan substansi dari Kementerian Pekerjaan Umum.
Sebanyak 9 kabupaten sedang dalam proses pembahasan di DPRD setempat dan 2 kabupaten dalam proses pengajuan ke Gubernur Kalteng untuk dilakukan evaluasi. Sementara untuk Kota Palangka Raya masih belum mendapat persetujuan substansi dari Kementerian Pekerjaan Umum.
Berkenaan dengan hal tersebut, pemprov dan seluruh kabupaten/kota menyepakati pemberlakuan Perda No.8/2003 tentang RTRWP Kalteng, sambil menunggu ditetapkannya RTRWP yang baru. Kesepakatan ini telah disampaikan kepada Presiden RI dan instansi terkait, melalui surat Gubernur Kalteng No.126/504/Bapp, 22 Mei 2012.
Dengan penegasan tersebut, sebut Gubernur, implikasinya adalah arahan pemanfaatan ruang kawasan budidaya nonkehutanan dalam pemberian izin sektoral, harus diakomodasi dalam reivisi RTWP yang baru. Ketentuan tersebut sedang dalam proses di Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD).
Pada acara rakor tersebut, Pemprov Kalteng dan Kementerian Kehutanan RI menandatangani Surat Keputusan (SK) Menhut 2012 sebagai pengganti SK Menhut tentang Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK).
Selain dihadiri Wagub, tampak Bambang Soepijanto, Dirjen Planologi Kehutanan Kementrian Kehutanan RI, Direktur Pembinaan Penataan Ruang Wilayah II Ditjen Penataan Ruang Kementerian PU, Ketua Komisi B DRPD Provinsi Kalteng, Sekretaris Daerah Provinsi Siun Jarias, para Bupati/Wakil Bupati, Ketua/Wakil Ketua DPRD, serta unsur BKPRD Kabupaten/Kota se-Kalteng.

PERMASALAHAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DI KABUPATEN LAMANDAU MASIH BELUM JELAS


Radar PKRI News Kalteng: Kabupaten Lamandau Provinsi Kalimantan Tengah selalu dilirik oleh pihak Investor Luar baik pun Pengusaha sukses local seperti sekelas pengusaha yang ternama seperti dari Group PT.Tanjung Lingga diantaranya PT. Tanjung Sawit Abadi dan PT. Sawit Multi Utama yang berada di Desa Nanuah, Desa Melata, Desa Topalan, Desa Batu Ampar Kecamatan Mantobi Raya.
Dan Desa Padongatan, Desa Sungkup, Desa Nanga Koring, Desa Toka dan Desa Sepondam di Kecamatan Bulik Timur Kabupaten Lamandau Provinsi Kalimantan Tengah menjadi lahan “empuk” buat Pengusaha yang bergerak dibidang Perkebunan Kelapa Sawit karena begitu mudahnya pihak Pemerintah Daerah Kabupaten Lamandau memberi  Perizinan dan walaupun sampai saat ini belum di sahkannya RTRWP Kalimantan Tengah, apalagi PT. Tanjung Sawit Abadi dan PT.Sawit Multi Utama Group dari PT.Tanjung Lingga PT.Tanjung Lingga Group begitu mudahnya mendapatkan perizinan dari Pemerintah Daerah.
Hasil peliputan dari penulis Media Radar PKRI News disaat berada di Kabupaten Lamandau dan membincangi salah satu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah(DPRD) Kabupaten Lamandau mengatakan bahwa Group dari PT.Tanjung Lingga terutama PT.Sawit Multi Utama dan PT.Tanjung Sawit Abadi sama halnya dengan PBS yang ada di Kabupaten Lamandau semuanya melakukan pelanggaran membuka lahan diluar Hak Guna Usaha (HGU) ungkapnya
Pernah pihak Media Radar PKRI News melayangkan surat dengan perihal Konfirmasi membuka lahan diluar HGU, sampai sekarang belum adanya balasan oleh pihak PT.Sawit Multi Utama dan PT.Tanjung Sawit Abadi atas dugaan pelanggaran yang dilakukan tersebut karena pembukaan lahan itu berjumlah kurang lebih 514.90 Ha diluar HGU oleh PT.Sawit Multi Utama pada tahun 2006 dan perizinan yang diberikan yaitu berjumlah 13.000 Ha dari pengajuan awal 16.000 Ha, perizinan saat itu diberikan oleh Bupati Alm Drs. Bustani DJ.Mahmud pada Tahun 2004 seluas 16.000 Ha
Lain halnya dengan PT.Tanjung Sawit Abadi didalam surat perjanjian yang diwakili  dari pihak perusahaan oleh H.Alison H.Ds jabatan Pimpinan Camp  telah mengabaikan perjanjian awal dengan masyarakat Desa setempat dengan membubu8hkan tanda tangan  diatas meterai dan hanya mengobral janji saja dari 10 (sepuluh) point perjanjian pada Bulan Maret Tahun 2007 dan dengan mengantongi perizinan dari Bupati Lamandau No.525.26/29/IX/2004 tanggal 27 September 2004 padahal sebenarnya masyarakat Mantobi Raya  yang berada disekitar perkebunan kelapa sawit PT.Tanjung Sawit Abadi adalah masyarakat binaan perusahaan tersebut hal ini sesuai surat perjanjian yang ada.
Dimana hal ini pernah diberitakan pada edisi sebelumnya Nopember/11/2011 bahwa PT.Tanjung Sawit Abadi dan PT.Sawit Multi Utama berdasarkan hasil investigasi jumlah anggota koperasi plasma Batu Bediri Macan Kasah di Desa Nanuah sebanyak 500 KK, dengan perincian lahan seluas 1000 Ha, bahwa disini terlihat jelas ketidak sinkronan antara pejabat Desa, Ketua Koperasi sebagai badan usaha serta petinggi perusahaan, sehingga menjadi polemic terhadap beberapa kalangan masyarakat termasuk warga Desa tetangga ada disekitar Wilayah perkebunan
Menurut salah satu Aktivis LSM Gerakan Anak Borneo (GAB) Wahyudi Noor, banyak hal yang perlu disikapi yang saya lihat selama ini, banyak perusahaan perkebunan bersikap arogan terhadap masyarakat kecil, apalagi terhadap masyarakat yang buta hukum, PBS tidak segan-segan menunjukan power mereka. Tapi kami dari LSM GAB tak perduli apapun itu, jika memang sudah data A1, terbukti adanya pencaplokan, penyerobotan kawasan hutan ataupun ada unsure korupsi, kolusi dan apapun jenisnya, pasti akan kami laporkan ke pihak yang berwenang sesuai dengan delik Hukumnya.”Tegas Wahyu beberapa waktu lalu.
Misi Pemerintah untuk memajukan perekonomian masyarakat terkesan gagal.Disinyalir, kebijaksanaan yang ada hasil dari produk Hukum ternyata hanya menguntungkan segelintir elit Politik dan para penanam modal, berdampak menjadi persaingan tidak sehat, akhirnya masyarakat adat di daerah pedalaman yang jadi korban.