Kamis, 28 November 2013

Kewajiban Membangun Kebun Plasma setelah terbitnya Permentan No. 98 Tahun 2013


Permentan No. 98 tahun 2013 itu mengatur beberapa hal pokok. “Pertama, Perusahaan perkebunan yang memiliki Izin Usaha Perkebunan (IUP) atau Izin Usaha Perkebunan untuk Budidaya (IUP-B) wajib membangun kebun untuk masyarakat sekitar (perkebunan plasma) paling rendah seluas 20% dari total luas area kebun yang diusahakan oleh perusahaan,”


Selanjutnya, Usaha Industri Pengolahan Hasil Perkebunan untuk mendapatkan IUP-P sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, harus memenuhi penyediaan bahan baku paling rendah 20% (dua puluh per seratus) berasal dari kebun sendiri dan kekurangannya wajib dipenuhi dari kebun masyarakat/Perusahaan Perkebunan lain melalui kemitraan pengolahan berkelanjutan.


Dalam hal suatu wilayah perkebunan swadaya masyarakat belum ada Usaha Industri Pengolahan Hasil Perkebunan dan lahan untuk penyediaan paling rendah 20 % (dua puluh perseratus) bahan baku dari kebun sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 tidak tersedia, dapat didirikan Usaha Industri Pengolahan Hasil Perkebunan oleh Perusahaan Perkebunan.


Rencana pembangunan kebun untuk masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat satu harus diketahui oleh Bupati/ walikota atas usulan dari camat setempat.


Dengan keterlibatan masyarakat di bidang perkebunan, otomatis aturan tersebut diharapkan dapat mendongkrak pertumbuhan ekonomi masyarakat di sekitar perusahaan.Keterlibatan petani plasma dalam sebuah perkebunan bisa meminimalisasi sengketa lahan antara masyarakat dengan perusahaan perkebunan itu sendiri.


Pemda memperhatikan benar regulasi tersebut, jangan sampai salah interpretasi, misalnya menganggap bahwa keluarnya Permentan tersebut berlaku surut. Sehingga Pemda bersama dengan DPRD membuat Perda untuk mewajibkan semua perkebunan di daerahnya membangun kebun plasma 20% dari areal konsesinya.”Padahal yang benar adalah, bahwa Permentan itu tidak berlaku surut, jadi hanya perusahaan yang IUP atau IUP-B keluar sesudah berlakunya Permentan sajalah yang harus membangun kebun plasma 20% itu,”


Kalau yang sebelumnya terkena aturan tersebut, tentu perusahaan akan kesulitan karena terbatasnya lahan, apalagi banyak perusahaan perkebunan besar yang berdiri sejak pemerintahan Belanda. Kecuali pemerintah bisa menyiapkan lahan, dan perusahaan tinggal membinanya.”


Pemerintah akan melakukan pengawasan terhadap penerapan Permentan no 98 tahun 2013 pasal 11 dan 13 tentang kewajiban membangun kebun untuk masyarakat sekitar paling rendah seluas 20% dari total luas areal kebun yang diusahakan. Di dalam Permentan disebutkan pembangunanya dapat dilakukan dengan pola kredit, hibah atau bagi hasil. Pembangunan kebun untuk masyarakat ini dilakukan bersamaan dengan pembangunan kebun perusahaan dan rencana pembangunan kebun untuk masyarakat harus diketahui bupati/walikota.


Permentan ini berlaku bagi seluruh perkebunan setelah tahun 2007. Sedangkan untuk perkebunan yang sudah memiliki HGU sebelum tahun tersebut tetap diwajibkan untuk bermitra dengan masyarakat melalui CSR berdasarkan UU perseroan. Namun pada saat perpanjangan HGU, aturan plasma 20 persen tersebut tetap dikenakan pada perusahaan tersebut.


Pembangun kebun masyarakat tidak harus dilaksanakan di areal HGU milik perusahaan, karena kalau seperti ini maka masyarakat bisa menuntut kebun-kebun yang HGUnya sudah tertanami semua. Perusahaan bisa membangun kebun masyarakat di luar HGU atau dilahan milik masyarakat dengan pola apa saja yang penting minimal 20% bisa tercapai.


Hal ini akan memudahkan perusahaan untuk membangun kemitraan. Masyarakat sekitar kebun juga mendapat manfaat dari adanya perusahaan perkebunan sebab lahan mereka bisa dibangunkan kebun sawit. Tetapi kalau ada perusahaan yang sedang membangun dan menyisihkan 20% dari luar HGUnya untuk kebun kelapa sawit masyarakat hal itu lebih bagus.


pada tahun 2014, setiap perusahaan kelapa sawit wajib memiliki sertifikat ISPO. Dan salah satu hal yang akan dievaluasi dalam penilaian ini adalah soal pembangunan plasma. “Selain itu pemerintah akan melakukan pengawasan terhadap pembangunan plasma dan menindak tegas perusahaan yang tidak membangun kebun-kebun tersebut dengan baik dengan luasan sesuai dengan ketentuan”.

Lagi, Perusahaan Besar Sawit Hilang Dari Peta Dinas Perkebunan

Palangkaraya, (30/10/2013) – Perusahaan Besar Swasta (PBS) sawit bermasalah mungkin jadi momok persoalan yang amat sangat bermasalah bagi masyarakat lokal yang berdiam di kawasan konsesi perusahaan perkebunan tersebut jika terlebih lagi perusahaan perkebunan yang bergerak dibidang komoditas kelapa sawit ini tidak mengantongi izin dan bahkan berani melakukan operasi besar-besaran dengan membabat hutan alam serta mencemari lingkungan sekitarnya.

Menurut data yang diterima Save Our Borneo (SOB) melalui Peta Sebaran Perkebunan Besar se-Kalimantan Tengah yang di sahkan per Desember 2012 oleh Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Tengah Ir. Rawing Rambang M.P. lalu, ada enam perusahaan perkebunan kelapa sawit hilang dari data peta tersebut. Ke-enam perusahaan ini antara lain :

1. PT. Sakti Mait Jaya Langit (SMJL), lokasi Desa Lahei Mangkutup, Kecamatan Mantangai, Kabupaten kapuas, Kalteng.
2. PT. Agro Indomas (AI), lokasi Kabupaten Kotim, Kalteng.
3. PT. Antang Sawit Perkasa (ASP), lokasi Desa Garong, Henda, Simpur, Sakakajang, dan Jabiren. Kabupaten Pulang Pisau, Kalteng.
4. PT. Hati Prima Agro (HPA), Kabupaten Kotim, Kalteng
5. PT. Rimba Sawit Utama Planindo (RSUP), Kabupaten Seruyan, Kalteng.
6 PT. Handala Usaha Perkasa (UHP), lokasi Sei. Hambiye, Sei. Jangkit, Desa Mantangai Hulu, Kecamatan Mantangai, Kabupaten Kapuas, Kalteng.

Dari enam perusahaan perusahaan perkebunan yang hilang dari data peta tersebut adalah perusahaan yang dikatakan nakal atau bermasalah, baik itu dengan masyarakat lokal maupun masalah perizinan yang notabene belum terselesaikan sejak berdirinya perkebunan tersebut hingga saat sekarang ini.

Menurut penuturan Koordinator Save Our Borneo, Nordin, perusahaan yang hilang dari data peta dinas perkebunan tersebut sudah sejak lama bermasalah seperti contohnya saja PT. Hati Prima Agro, yang telah dengan gamlang menjarah hasil hutan berupa kayu yang dimana menyebabkan kerugian negara mencapai milyaran rupiah. Belum lagi jika kita berbicara masalah perizinan dan pencemaran dan dampak buruk bagi lingkungan yang dilakukan perusahaan tersebut.

izin yang begitu cepat keluar semestinya jadi perhatian utama, dari sekian PBS itu beberapa di antaranya sudah punya HGU, tapi tidak memiliki IPKH. Sebagian hanya mengantongi izin lokasi, tapi sudah membuka kawasan tanpa ada pelepasan apalagi HGU, ucap Nordin.


Karena itu, ia mengatakan apakah ke-enam perusahaan yang hilang dari data peta dinas perkebunan Kalteng sudah clean and clear atau perusahaan tersebut memang betul-betul tidak ada. (u.cy)

Selasa, 17 September 2013

Bawa Sajam, Ratusan Warga Demo PT Hampalit Jaya


KASONGAN - PT Hampalit Jaya yang bergerak di bidang perkebunan kelapa sawit diduga menyewa preman untuk merusak kebun warga yang berada di sekitar lokasi perusahaan.
Merasa tidak terima, warga pemilik kebun melakukan demo dengan membawa senjata tajam, bahkan nyaris bentrok dengan pihak perusahaan yang berlokasi di Jalan Tjilik Riwut Km30, Kasongan-Sampit, Simpang Tumbang Samba, Kabupaten Katingan.

Informasi yang diperoleh, ratusan warga pada Kamis (5/9) siang, mendatangi pihak PT Hampalit Jaya milik H Cornelis yang sebelumnya mencalonkan diri sebagai Bupati Katingan. Pemilik perusahaan ini dikenal sebagai warga Hampalit atau Kereng Pangi, Kecamatan Katingan Hilir.

Pada saat itu, sekitar ratusan warga pemilik kebun sawit mengadakan perlawanan dengan membawa senjata tajam berupa tombak dan parang untuk menyerang balik karyawan PT Hampalit Jaya. 

Saat dikonfirmasi Camat Katingan Hilir Pimanto membenarkan kejadian tersebut. Pihaknya bersama aparat kepolisian langsung datang ke lokasi kejadian dan berhasil meredam emosi warga massa yang sudah marah dan beringas.

"Masyarakat pemilik kebun ini merasa geram lantaran kebun mereka dirusak dan jalan masuk ke kebun mereka diportal oleh pihak PT Hampalit Jaya. Pada saat kejadian pihak perusahaan melalui humasnya telah kami panggil untuk datang ke lokasi, namun masih belum ada titik temu," jelas Pimanto, Jumat (6/9).

Pimanto menambahkan, kini pihaknya telah melaporkan permasalahan ini kepada Pemerintah Kabupaten Katingan agar segera diambil tindakan penyelesaian. "Pemda telah mengeluarkan site lokasi PT Hampalit Jaya pada 2004, namun bila terkena lahan masyarakat, perusahaan harus bersedia mengganti rugi,” tegasnya.

Ia mengaku kebun warga dalam kondisi rusak akibat ulah orang yang diduga suruhan dari PT Hampalit Jaya. Ada yang ditebang, ada yang ditaburi racun tanaman, bahkan jalan masuk kebun yang dibuat warga kembali diportal oleh pihak perusahaan. 

Diketahui, lahan milik warga sudah memiliki Surat Keterangan Tanah dengan luas kurang lebih ratusan hektare. Kejadian ini merupakan yang kedua kalinya, setelah sebelumnya terjadi di Km 4 Ruas Kasongan-Tumbang Samba. Sementara itu, Kapolsek Katingan Hilir Iptu Yusiady juga membenarkan kejadian tersebut dan saat ini tengah dalam proses pendalaman pihak kepolisian.

PT RAS Harus Berhenti Beroperasi


Anggota DPRD Kapuas Elieser Timbung menegaskan, agar aktivitas PT Rejeki Alam Semesta Raya (RAS) yang bergerak di bidang perkebunan kelapa sawit di empat desa di wilayah Kecamatan Mantangai harus dihentikan.

Pasalnya, perizinan perusahaan tersebut telah dicabut oleh pemerintah daerah setempat sejak tahun 2010 lalu, tapi hingga kini masih tetap beroperasi. “Aktifitas PT RAS harus segera dihentikan. Apapun alasannya, itu sudah menyalahi aturan. Sebab, semua perizinan telah dicabut oleh pemerintah daerah sejak tahun 2010 lalu. Sehingga PT RAS tidak berhak lagi menggarap lahan,” tegasnya, di Kuala Kapuas.

Dikatakan Elieser, aktifitas PT RAS di lahan perkebunan tersebut patut dipertanyakan. Sebab, sejak perizinan dicabut pemerintah, tentunya PT RAS tidak lagi memiliki hak untuk menggarap lahannya. Apalagi sejak awal sudah bermasalah dengan warga setempat, di mana warga mengklaim kalau lahan yang digarap PT RAS merupakan lahan milik warga.

Diungkapkannya, saat ini pemerintah setempat sedang membentuk investigasi guna melakukan klarifikasi lahan yang digarap oleh PT RAS. Bila nantinya hasil klarifikasi di lapangan terbukti lahan tersebut milik warga, maka lahan tersebut harus dikembalikan kepada warga.

“Namun perlu diwaspadai, jangan sampai ada provokator yang menungganginya. Dikhawatirkan kondisi ini dimanfaatkan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab untuk kepentingannya sendiri,” ujar Elieser.

Diberitakan sebelumnya, Perusahaan Besar Swasta (PBS) PT Rejeki Alam Semesta Raya (RAS) yang berlokasi di Desa Sei Ahas, Kecamatan Mantangai, Kabupaten Kapuas, dituding warga sekitar telah mencaplok lahan milik warga. Tidak tanggung-tanggung total lahan warga empat desa tersebut mencapai 4 ribu hektare lebih.

Sejak awal warga sekitar sudah melakukan protes baik kepada perusahaan maupun pemerintah setempat. Sayangnya, protes warga tersebut sia-sia dan tidak membuahkan hasil dan perusahaan masih dengan leluasa menggarap lahan milik warga tersebut tanpa tersentuh pihak yang berwenang.

“Kami heran mengapa pemerintah tidak menindak PT RAS. Padahal, pelanggarannya cukup jelas yaitu mencaplok lahan warga. Persoalan ini sudah cukup lama terjadi, protes berulang kali dilakukan baik ke pihak perusahaan maupun ke pihak pemerintah. Sayangnya, protes kami di sepelekan dan tidak pernah di tindak lanjuti,” ucap mantan Kepala Desa Sei Ahas Misradi, di Kuala Kapuas, kemarin.

Bahkan, tambah misradi, pemerintah setempat sudah mencabut izin PT RAS. Ironisnya, perusahaan tersebut hingga kini masih tetap beroperasi dan terkesan tidak bermasalah. Padahal, dari awal warga menuntut agar lahan di garap PT RAS di kembalikan kepada warga.

Kantor Bupati Kapuas Diduduki Massa 4 Desa

KUALA KAPUAS - Karena tidak mendapatkan ketegasan terkait hak kepemilikan lahan yang saat ini dikuasai PT Rezeki Alam Semesta Raya (RASR), puluhan warga perwakilan dari Desa Sei Ahas, Ketimpun, Kalumpang, dan Desa Pulau Keladan, Kecamatan Mantangai, menduduki Kantor Bupati Kapuas, Kamis (12/9) pagi. Aksi warga menduduki Kantor Bupati ini untuk meminta ketegasan dan tindak lanjut dari Pemkab yang selama ini menjadi mediator antara masyarakat dan PT RASR dalam menyelesaikan permasalahan. 

Namun mereka mengaku kesal lantaran permasalahan tidak kunjung selesai, hanya diminta menunggu tanpa kejelasan. Warga akhirnya habis kesabaran, terlebih perusahaan masih melakukan aktivitas seperti panen dan pemeliharaan. Padahal tuntutan warga seperti ganti rugi belum diselesaikan. “Aksi menduduki Kantor Bupati ini akan kami lakukan sampai ada ketegasan dan tindak lanjut dari Pemkab. Kami hanya menuntut hak kami dan masih menghargai Pemkab selaku wakil kami. Karena itu tolong Bupati jangan tutup mata dan membiarkan kami menderita,” ucap seorang warga yang enggan disebutkan namanya. Ia mengakui, aksi ini sudah mereka lakukan sejak 7 September lalu dengan menduduki lahan-lahan mereka. 

Namun mereka masih menghormati hukum Pemerintah, sehingga tetap mematuhi aturan yang berlaku, sayang belum ada kejelasan status. “Apabila dalam pertemuan kali ini tidak juga ada hasil, jangan salahkan kami dalam melakukan aksi secara adat,” ujarnya. Diketahui, permasalahan warga 4 Desa dengan PT RASR telah terjadi sejak 2008, saat perusahaan membuka lahan. Warga merasa kecewa karena perusahaan yang diharap mampu membawa perubahan kemajuan dan kesejahteraan bagi masyarakat sekitar, justru hanya isapan jempol. 

Terbukti lahan plasma milik warga yang tidak terpelihara, sebab perusahaan hanya memelihara kebun inti. Sebagaimana keputusan Surat Bupati Kapuas No 153/disbunhut/2010 tentang pencabutan izin pembukaan lahan oleh PBS dan Koperasi, Keputusan Dewan Adat Kapuas No 36/DAD/KAB,KPS/KPTS/VI/2013 tentang pengembalian tanah hak masyarakat adat yang sah terhadap lahan perkebunan sawit oleh PT RASR, dan Surat Gubernur No 540/647/EK yang ditujukan kepada Bupati Kapuas perihal penghentian pengoperasian kegiatan perusahaan yang belum clear and clean, serta Surat Bupati Kapuas No 525/1507/DISBUNHUT.2013 perihal penghentian kegiatan. 

Namun keputusan ini tampaknya tidak membuat PT RASR goyah dan tetap beraktivitas. Sementara itu, Mantan Ketua DPRD Kapuas H Mulyadi mendukung penuh langkah yang diambil warga agar perusahaan tidak semena-mena terhadap rakyat kecil dan lemah. “Diminta Pemerintah Daerah agar tanggap dengan persoalan rakyat, jangan biarkan masyarakat menjadi korban perusahaan besar yang hanya mencari kuntungan di tanah dan hak ulayat kita sendiri,” tegas H Mulyadi.

Jumat, 30 Agustus 2013

Ekspansi Sawit Ancaman Serius Bagi Masyarakat Lokal


Oleh : Gwirman (ucuy)


Beberapa kejadian seperti konflik serta bencana Ekologis kerap sekali menerpa sejumlah daerah. Sejumlah kasus Kriminalisasi serta berbagai bencana aneh ini erat kaitannya dengan laju kerusakan hutan di Kalimantan Tengah yang kian meningkat. Sebanyak 80 persen dari hutan Kalimatan Tengah telah musnah, dan setengah dari yang masih ada terancam keberadaannya oleh penebangan komersil, kebakaran hutan dan terlebih pula pembukaan hutan untuk kebun kelapa sawit.

Menurut data SOB Laju kerusakan hutan kita, lebih dari 2 persen atau 1,87 juta hektar per tahun. Dengan kata lain, 51 km persegi hutan kita rusak setiap setiap hari atau atau 300 kali lapangan sepak bola setiap jamnya. Pembukaan perkebunan kelapa sawit merupakan ancaman utama terhadap kelestarian hutan beserta ekosistem alamiahnya, apalagi hal ini memperoleh legalitas dari pemerintah. Tak tanggung-tanggung luas areal kebun sawit di Kalimantan tengah seluas 791.667 hektar, dan tidak menutup kemungkinan masih akan terus diperluas. 

Selayaknya pemerintah mengkaji kembali, kegiatan konversi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit. Perkebunan kelapa sawit lebih baik dilakukan di areal hutan yang sudah rusak akibat kebakaran atau illegal logging. Akan tetapi faktanya pembukaan perkebunan sawit selama ini dilakukan pada areal hutan alam, karenanya sejumlah pihak mencurigai pengambilan kayu dari hutan yang dikonversi sebagai motif utama konversi hutan untuk sawit. Pembukaan areal perkebunan sawit selama ini hanya melihat sisi ekonomi serta keuntungannya saja, tak pernah dipikirkan dampaknya di masa mendatang bagi kelangsungan biodiversitas serta kehidupan.

Keuntungan ekonomi yang dihasilkan dari investasi perkebunan sawit tidak setimpal jika dibandingkan dengan kerugian yang diakibatkannya. selain menggerus luasan hutan alam yang selama ini menjadi penyangga ekosistim alam dan iklim secara global, perkebunan sawit juga mengancam katahanan pangan bagi masyarakat yang berada didalamnya. Ditengah upaya keras bangsa ini untuk mewujudkan ketahanan dan kedaulatan pangan, sejumlah areal pertanian tanaman pangan mengalami kerusakan serius akibat dari kehancuran ekosistem hutan, bahkan sejumlah areal produksi tanaman pangan dikonversi menjadi areal perkebunan sawit.

Selain kerusakan lingkungan, investasi perkebunan kelapa sawit juga mengancam keberadaan masyarakat lokal beserta hak-hak tradisionalnya. Secara umum diskriminasi terhadap masyarakat lokal sangat banyak terjadi dalam pengelolaan sumber daya hutan dan lahan hutan di Kalimantan Tengah. Seringkali hutan lindung, hutan konservasi dan kawasan tambang ditetapkan oleh pemerintah sendiri tanpa melibatkan komunitas masyarakat lokal.

Ekspansi kebun sawit berdampak pada deforestasi dan degradasi hutan terhadap masyarakat Lokal. Bagi masyarakat Lokal yang tinggal di dalam dan sekitar hutan, deforestasi dan degradasi hutan berdampak pada seluruh aspek kehidupan. Dampak tersebut bukan hanya dibidang ekonomi tapi juga bidang politik, sosial dan budaya.

Ekonomi, Masyarakat akan kehilangan kemandirian dalam mencukupi kehidupan hidupnya karena kehilangan sumber makanan dan tempat tinggal. Jika ditelusuri lebih dalam masyarakat yang berada di kawasan hutan akan lebih mudah untuk menggantungkan hidupnya dari hasil hutan, jika kita kembali kejaman dahulu, kebanyakan masyarakat local memanfaatkan hasil hutan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari seperti berburu dan berladang bahkan tak jarang juga dari mereka memanfaatkan beberapa jenis tanaman untuk dijadikan obat-obatan dan bahan pokok makanan. Jika dibahas masalah pencemaran yang dilakukan pabrik-pabrik besar berdiri megah yang terus menerus membuang limbah ke sungai kemudian pupuk kimia yang digunakan, tak jarang dari kasus ini di beberapa sungai telah tercemar yang menyebabkan ikan mati mendadak, air sungai tidak dapat dikonsumsi lagi.

Politik, Masyarakat local (komunitas adat) kehilangan jati diri dan kedaulatan dalam menentukan hidupnya. Kehilangan hutan adat menyebabkan masyarakat tidak mampu lagi mengatur hidupnya sendiri. Di Kalimantan Tengah, banyak kasus menyebutkan bahwa masyarakat adat kehilangan hutan adat salah satunya karena perluasan areal perkebunan sawit. Bahkan mereka terpaksa menjadi buruh di tanahnya sendiri. Ada juga yang terpaksa bekerja sebagai buruh penoreh karet di wilayah masyarakat lainnya dan sebagai penambang tradisional. Tak dipungkiri kekuasaan para pemodal dari luar lebih berkuasa ketimbang para pejabat setempat pemberi izin yang harus merelakan nasib rakyatnya terjajah. Tak jarang dari hasil kekeuasaan tersebut banyak praktek-praktek buruk yang diperlihatkan oleh para Investor telah membinasakan hak-hak manusia yang berada di dalamnya seperti, kriminalisasi, pengambilan paksa lahan masyarakat, penggusuran perkampungan dan lain-lain. 

Budaya, Masyarakat adat terancam tidak dapat melestarikan warisan budaya dari leluhur dikarenakan sifat serakah, rakus dan semena-mena para pejabat setempat dan Investor yang sepertinya berkerjasama dengan sengaja menghilangkan beberapa situs keramat, Pukung Pahewan, Tajah Antang, Kaleka (tempat tinggal orang berladang berpindah pada jaman dahulu), Kuburan Keramat dan Sandung, yang bagi masyarakat local itu sendiri lebih penting keberadaannya ketimbang dengan harus adanya perkebunan kelapa sawit di wilayahnya. Beberapa kasus misalnya yang telah terjadi, di kabupaten Kotim, Seruyan, Kobar, Kapuas, akibat ekspansi perkebunan kelapa sawit besar-besaran telah menghilangkan kuburan, Kaleka, dan Situs keramat telah habis tanpa sisa dan menjadi sasaran amuk mesin penggusur milik perusahaan. 

Dilihat dari hal tersebut di atas perlawanan akan hak-hak akan keadilan hidup yang layaklah yang sekarang ini terus diperjuangkan, guna menapak keberlangsungan hidup yang akan datang menjaga agar hutan tetap lestari.

Pembakar Lahan Dipenjara

Kasus Pembakaran Lahan PT Kalimantan Hamparan Sawit di Gunung Mas


PALANGKA RAYA – Ini suatu peringatan bagi para pembakar lahan di negeri, termasuk di Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng). Jika masih nekad membakar hutan atau lahan tanpa prosedur yang aman, maka hukum bisa bertindak. Seperti yang dialami Ibrahim Lisaholit bin Husein Lisaholit. Salah satu unsure manajemen di PT Kalimantan Hamparan Sawit (KHS) itu harus masuk bui karena terbukti secara hukum telah membakar lahan.

Bahkan untuk membuktikan kasus itu, perkaranya sampai ke tangan Mahkamah Agung setelah jaksa penuntut umum mengajukan kasasi. Setelah turun putusan kasasi, Ibrahim Lisaholit pun dieksekusi dan harus menjalani hukuman penjara selama 1 tahun dan denda 200 juta.


Ibrahim yang dijerat pasal pidana lingkungan hidup itu dieksekusi jaksa, senin (26/08) siang berdasarkan putusan MA Nomor 1363 K / PID.SUS / 2012 tertanggal 10 Oktober 2012. Ibrahim akhirnya menjalani eksekusi di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas II A Palangka Raya, kemarin siang.


Manejer Estate Perusahaan Perkebunan Besar (PBS) PT KHS yang berlokasi di Kecamatan Manuhing Kabupaten Gunung Mas (Gumas) itu dieksekusi oleh Kejaksaan negeri (Kejari) Kuala Kurun yang dipimpin Kasi Pidana Umum (Kasipidum) Kejari Kalteng, Adi Indradi SH, kemarin (26/08).


Ibrahim Lisaholit mendatangi Lapas Klas IIA Palangka Raya sekitar puku 12:45 WIB dengan diantar menggunakan mobol Avanza hitam KH 1694 AO yang dikemudikan oleh Kepala Kantor Perwakilan PT KHS Palangka Raya Margonti Sianturi dan beberapa karyawan kantor perwakilan PBS itu.


Saat Ibrahim berada di dalam mobil yang di parker depan pintu masuk lapas, terlihat ekspresi wajahnya tercengan setelah setelah disambut sorotan camera belasan wartawan yang sudah menunggu sebelumnya. Mereka sempat bertahan beberapa menit didalam mobil, hingga akhirnya didatangi Kasipidum Adi Indradi untuk meyakinkan mereka agar segera keluar dari dalam mobil.


Saat keluar dari mobil, didampingi Kasipidum Kejari Palangka Raya, Ibrahim yang mengenakan jaket hitam, berkacamata sambil menenteng koper, berusaha menghindar dari sorotan camera para wartawan sambil menutup wajahnya dengan tangan, lalu berjalan menuju pintu lapas yang sempat terlewatkan, sampai-sampai wartawan yang harus memberitahukan terpidana pintu masuk ke dalam lapas Klas IIA Palangka Raya. “Bapak salah Masuk,” teriak salah satu wartawan.


Ibrahim pun, dengan wajah tertutup dan posisi badan membungkuk akhirnya balik arah sambil berlari kecil dan masuk pintu yang sudah dibuka oleh petugas lapas.


Sementara Kasipidum Kejari Kuala Kurun Adi Indradi yang ditemui wartawan di Lapas Klas IIA Palangka raya sesaat sebelum eksekusi berlangsung mengatakan, setelah pihaknya menerima salinan putusan MA Nomor 1363 K / PID.SUS / 2012 dari Pengadilan Negeri (PN) Palangka Raya, terpidana Ibrahim telah dipanggil dua kali.


“Terpidana telah dipanggil dua kali. Panggilan pertama tidak sampai, panggilan kedua dan panggilan ketiga secara kooperatif mau menyerahkan diri dan mau datang langsung ke Lapas Palangka Raya untuk menjalani hukuman,” kata Adi Indradi kepada wartawan.


Seperti yang diberitakan sebelumnya, perkara yang menjerat Ibrahim Lisaholit setahun penjara dan denda 200 juta, dangan ketentuan apabila tersebut tidak dibayar, maka kepada terdakwa dikenakan pidana pengganti berupa pidana kurungan selama 6 bulan, bermula dari kasus pembiaran terjadinya kebakaran di lokasi PBS PT KHS sekitar tahun 2009 lalu.


Kasus tersebut ditangi oleh Penyidik Pegaawai Negeri Sipil (PPNS) Badan Lingkungan Hidup (BLH) Gumas yang kemudian berkasnya dilimpahkan ke Polres Gumas. Dalam perkembangannya, penyidik Polres Gumas pada Tahun 2011 lalu menetapkan status Ibrahim Lisaholit sebagai tersangka.


Setelah berkas dinyatakan lengkap dan dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Kuala Kurun dan menuntut terdakwa di Pengadilan Negeri Palangka Raya. Namum, putusan PN Palangka Raya No. 406 / PID.SUS / 2011 / PN.PL.R. tanggal 07 Februari 2012 membebaskan terdakwa dari segala dakwaan.


Atas putusan PN Palangka Raya tersebut, kemudian pada tanggal 17 Februari 2012 Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Kuala Kurun mengajuka Kasasi, sebagaimana akta tentang permohonan Kasasi No. 04 / Akta / Pid / K /-2012 / PN.PL.R yang dibuat oleh Panitera pada Pengadilan Negeri Palangka Raya.


Berdasarkan uraian-uraian Jaksa, Majelis Hakim MA yang diketuai oleh Djoko Sarwako SH MH dan Prof DR Komariah, Sapardjaja SH serta Sri Murwahyuni SH MH sebagai anggota, mengabulkan permohonan Kasasi tersebut dan membatalkan putusan PN Palangka Raya No. 406 / Pid.SUS / 2011 / PN.PL.R. tanggal 07 Februari 2012.


“Terdakwa Ibrahim Lisaholi bin Husein Lisaholit terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana. Karena kealpaannya mengakibatkan pencemaran dan/ atau perusakan lingkungan hidup dengan menjatuhkan hukuman 1 tahun penjara dan denda Rp 200 juta,” kata Ketua Majelis MA sebagaimana dikutip dalam Direktori Putusan MA RI, putusan.mahkamahagung.go.id.

Selasa, 20 Agustus 2013

Laporkan Kelakuan PT SMG, Warga Desa Anjang Dikriminalkan


“Warga Desa Ajang, Kecamatan Permata Kecubung, Kabupaten Sukamara melaporkan Management Perusahaan pekebunan sawit PT Sumber Mahardhika Graha (PT SMG) ke Bareskrim Polri, BPN Pusat, dan Kementrian Kehutanan. Ironisnya, malah diproses pihak polisi Sukamara atas tuduhan telah melakukan tindakan kurang menyenangkan terhadap PT SMG.”

SUKAMARA - Perwakilan masyarakat Desa Ajang Kabupaten Kecamatan Permata Kecubung Kabupaten Sukamara, Kalimantan Tengah melaporkan manajemen PT. SUMBER MAHARDHIKA GRAHA ke-Kepolisian terkait Dugaan Tindak Pidana Perusakan Kawasan Hutan Produksi & Pembiaran Penebangan Liar di Wilayah Desa Ajang Kec. Permata Kecubung Kabupaten Sukamara, Kalimantan Tengah.

Berdasarkan penuturan masyarakat, mereka mengelola lahan tersebut sejak tahun 1978 yang sampai sekarang masih dikelola oleh warga desa Anjang dengan penggara sekitar 600 Kepala Keluarga (KK) untuk bercocok tanam seperti, karet, padi gunung dan buah-buahan dengan laus lebih dari 2.400 Ha. Di kawasan ini juga trdapat tanah hak Ulayat Desa (Hutan desa) seluas 4.892 Ha yang telah habis digarap dan diambil hasil hutanya berupa kayu oleh perusahaan perkebunan sawit PT SMG tanpa ada pemberitahuan kepada pihak desa maupun kepada pemilik lahan.

“Kami tidak tahu persis bagaimana kejadiannya, pada saat itu kami tidak berada di desa dan jarak antara desa dan lahan tersebut cukup jauh,” ungkap seorang warga. PT MSG yang mengantongi izin Hak Guna Usaha (HGU) tertanggal 02 Agustus 2007 dengan luas 7.292 Ha, melakukan penggarapan pada awal tahun 2012 yang kemudian berujung pada konflik antara pihak perusahaan dengan masyarakat yang pada tanggal 28 April 2013 warga desa Ajang turun langsung ke lokasi meminta agar pihak perusahaan segera menghentikan segala aktivitasnya dengan menyita alat berat.

Penyitaan alat berat ditandai dengan menyegel 1 unit Buldozer dan mengusir para pekerja dari lahan dengan alasan pihak perusahaan belum sepenuhnya memiliki izin untuk menggarap lahan milik warga tersebut. Mengetahui hal tersebut pihak perusahaan kemudian memanggil beberapa orang perwakilan warga untuk melakukan koordinasi lebih lanjut terkait aksi yang di lakukan oleh warga desa Ajang. 

Dalam kesempatan tersebut M. Andriansyah. SH dan Eddy Sulistya, selaku perwakilan warga meminta kepada management perusahaan agar tidak melakukan penggarapan dan meminta agar perusahaan menghentikan aktivitas sampai adanya penyelesaian permasalahan dengan masyarakat atau memenuhi tuntutan warga agar lahan masyarakat yang di gusur oleh Perusahaan dikembalikan. 


“Kami (warga desa Ajang, red) meminta kepada PT Sumber Mahardhika Graha (PT SMG) agar mengembalikan lahan masyarakat yang digusur dan segera menghentikan segala aktivitasnya tanpa izin yang sesuai dengan prosedur dan membayar konpensasi (ganti rugi) kepada masyarakat atas beberapa jumlah kayu yang di tebang kemudian diambil guna bahan material pembuatan barak bagi pekerja,” ucap M. Andriansyah. SH, (28/04/2013) lalu.

Namun setelah beberapa waktu pihak perusahaan belum membuat keputusan atas tuntutan warga, sehingga atas insiataif warga kemudian melaporkan pihak PT SMG ke- Bareskrim Polri dan Polres Kabupaten Sukamara dengan tuduhan telah melakukan aktivitas perusakan lingkungan dan dugaan illegal loging yang dilakukan oleh PT SMG pada awal tahun 2012 lalu. Selain itu juga disampaikan bahwa SMG melakukan penggarapan lahan masyarakat Desa Ajang, tanpa ada surat izin yang sesuai dengan prosdur yang berlaku. Namun malang bagi pelapor, (Edi Sulistya als. Herman Bin Mahmudin, warga Desa Ajang RT.04 Kec. Permata Kecubung Kab. Sukamara Kalteng) yang berharap ketegasan dari pihak terkait malah dilaporkan dan dipenjarakan oleh pihak perusahaan dengan pasal Perbuatan Tidak Menyenangkan. 

Sebelumnya pihak kepolisian telah mengaman salah seorang perwakilan warga lainnya yang di jemput langsung dirumahnya setelah beberapa saat pulang dari Jakarta oleh pihak kepolisian Sukamara pada Mei 2013 siang. Pihak perusahaan juga beserta Polres Sukamara juga mengancam akan menangkap salah satu warga masyarakat (M. Andriansyah. SH, red) yang ikut serta ke Jakarta (Masyarakat yang melaporkan Aktivitas PT. Sumber Mahardika Graha kepada Pemerintah Pusat), apabila tidak menghadiri panggilan. “Kakak saya di jemput dirumah oleh polisi tanpa ada surat penangkapan, dan mengancam apabila salah seorang rekan kakak saya tidak menyerahkan diri maka akan di jemput paksa juga,” ucap adik Edi yang pada saat itu berada di rumah.

Di tempat terpisah, berdasarkan progres pelepasan Kawasan Hutan untuk Budidaya Perkebunan Tahap Persetujuan Prinsip Pelepasan Tahun 2011 tercatat Pemohon PT. Sumber Mahardika Graha nomor : 964/MENHUT-VII/97 tertanggal 27 Agustus 1997 Luas areal dimohon 17.500 Ha sampai sekarang Izin Pelepasan Belum dikeluarkan oleh Kementerian Kehutanan. Bahwa Permohonan Persetujuan Prinsip yang dimohon oleh Pihak PT. Sumber Mahardika Graha kepada Menteri Kehutanan, belum bisa dikatakan dapat Melakukan Aktifitas/Kegiatan Produksi dan land Clearing karena PT SGM sebelum memiliki Izin Pelepasan Kawasan Hutan dari Kementerian Kehutanan RI.“PT Sumber Mahardhika Graha (PT SMG) memang belum mengantongi Surat Izin Pelepasan Kawasan Hutan dari Kementrian Kehutanan dan areal tersebut tidak dikatakan sebagai lahan terlantar tapi merupakan kawasan Hutan Produksi,” ujar Supardi selaku Biro Hukum Kementrian Kehutanan, (14 Mei 2013). 

Hal senada sebelumnya juga disampaikan oleh Badan Pertanahan Nasional pusat tanggal 13 Mei 2013, melalui Deputi Empat-nya Suheru Andrian,“Hak Guna Usaha (HGU) PT. Sumber Mahardhika Graha sudah dikeluarkan Surat Keputusan (SK) penetapan tanah terlantar oleh kepala BPN RI, sehingga kawasan tersebut berada dalam status QUO,” dan BPN pusat telah memberikan surat tembusan mengenai status Izin Hak Guna Usaha tersebut kepada kepala Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Sukamara tentang pencabutan Izin Hak Guna Usaha (HGU) PT Sumber Mahardhika Graha (PT SMG) seluas 7.292 Ha, yang berlokasi di Desa Ajang, Kecamatan Permata Kecubung, Kabupaten Sukamara, Kalimantan Tengah.

\Pernyataan tersebut di benarkan oleh kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Sukamara, bahwa telah menerima surat tembusan dari Badan Pertanahan Nasional pusat terkait Izin Hak Gun Usaha PT Sumber Mahardhika Graha (PT SMG) yang telah dicabut. “Kami telah menerima surat tembusan dari BPN pusat, bahwa Izin Hak Guna Usaha (HGU) atas nama PT. Sumber Mahardika Graha (PT SMG) seluas 7.292 Ha, telah di cabut,” ucap Sihombing, Kepala Dinas Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Sukamara.

Warga Desa Ajang yang di krimialkan oleh pihak perusahaan pada Mei 2013 lalu sampai sekarang ini masih menjalani proses peradilan. “Saudara Edi sulistya masih dalam proses pemeriksaan dan juga beberapa saksi telah kami periksa sekarang tinggal menunggu hasil proses selanjutnya” ucap BiBag Ops Polres Sukamara Briptu Kharima Daniel.

Rabu, 26 Juni 2013

Delapan Bulan, Putusan MA Belum Turun

Eksekusi Manager Estate PT KHS Ibrahim Lisaholit Tunggu Putusan

Palangka Raya – Manager Estate perusahaan perkebunan besar swata (PBS) PT Kalimantan Hamparan Sawit (KHS) Ibrahim Lisaholit Bin Husein Lisaholit di Tumbang Talaken, Kecamatan manuhing, Kabupaten Gunung Mas (Gumas) Kalimantan Tengah (Kalteng) tampak masih menghirup udara segar.

Pasalnya, delapan bulan putusan Mahkamah Agung (MA) nomor 1363 K/PID/.SUS/2012, tanggal 10 Oktober 2012 yang menetapkan terdakwa bersalah melakukan tindak pidana “melakukan kealpaannya mengakibatkan pencemaran Dan/ atau perusakan lingkungan hidup” dengan hukuman kurungan penjara 1 tahun dan denda sebesar Rp200.000.000, belum juga diterima oleh Kejaksaan Negeri Kuala Kurun.

Kepala Kejaksaan Negeri Kuala Kurun, Jaja SH ketika di konfirmasi Via Telepon, senin (24/6) sore mengatakan, hingga saat ini, pihaknya belum menerima salinan putusan MA, sebgai mana yang dimaksud. Karena itu, dia memerintahkan Jaksa untuk menelusuri putusan MA Nomor. 1363 K/PID.SUS/2012 tersebut.

“Hingga saat ini, kami belum juga menerima salinan putusan. Tetapi saya sudah memerintahkan Jaksa untuk menelusurinya. Kalau memang sudah ada salinan putusan MA tersebut, tidak ada alasan bagi kami untuk tidak mengeksekusinya, sesuai amar putusan MA dimaksud ,”tukasnya.
Seperti diketahui, perkara yang menjerat Ibrahim Lisaholit satu tahunpenjara dan denda Rp200 juta, dengan ketentuan apabila tersebut tidak dibayar, maka kepada terpidana dikenakan pidana pengganti berupa pidana kurungan selama enam bulan, bermula dari kasus pembiayaan terjadinya kasus kebakaran dilokasi PBS PT KHS sekitar tahun 2009 lalu.

Kasus tersebut ditangani oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kabupaten Gunung Mas yang kemudian berkasnya dilimpahkan ke Polres Gunung Mas. Dalam perkembangannya, penyidik polres Gumas pada tahun 2011 lalu menetapkan status Ibrahim Lisaholit sebagai tersangka.

Setelah berkasnya dinyakan lengkap dan berkasnya dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Kuala Kurun sebagai penuntut, menuntut terdakwa di Pengadilan Negeri Palangka Raya. Namun, putusan Pengadilan Negeri Palangka Raya nomor 406/Pid.SUS/2011/PN.PL.R tanggal 7 Februari 2012 membebaskan terdakwa dari segala dakwaan Jaksa pengadilan Negeri Kuala Kurun.

Atas putusan PN Palangka Raya tersebut, kmudian tanggal 17 februari 2012 Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan negeri Kuala Kurun mengajukan permohonan kasasi terhadap putusan Pengadilan Negeri, sebagai akta tentang permohonan kasasi nomor 04/Akta/Pid/K/-2012/PN.PL.R yang dibuat oleh Panitera pada Pengadilan negeri Palangka Raya.

Dalam uraian direktorat Putusan MA, berdasarkan alasan-alasan yang diuraikan oleh Jaksa Penuntut, Mahkamah Agung berpendapat, bahwa Putusan Pengadilan Negeri Palangka Rayanomor 406/Pid.SUS/2011/PN.PL.R tanggal 7 Februari 2012 tidak dapat dipertahankan lagi, oleh karena itu harus dibatalkan .

Karena permohonan kasasi oleh pemohon kasasi/Jaksa/Penuntut Umum dikabulkan dan Terdakwa dijatuhi Pidana, maka tingkat peradilan dan dalam tingkat kasasi dibebankan kepada terdakwa sebagaimana Pasal 42 Ayat (1) Undang Undang Nomor. 23 Tahun 1997, Undang Undang Nomor. 48 Tahun 2009.

Undang Undang Nomor. 8 Tahun 1981, Undang Undang Nomor. 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang Undang Nomor. 5 Tahun 2004, dan perubahan kedua Undang Undang nomor 3 tahun 2009 serta peraturan perundang-undangan lain yang bersangkutan.

Berdasarkan uraian  Jaksa Penuntut, Majelis Hakim MA yang di ketuai oleh Djoko Suwarko SH MH dan Prof Dr Komariah E Sapardjaja SH serta Sri Murwahyuni SH MH sebagai Anggota, mengabulkan permohonan kasasi dari pemohon kasasi: Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Kuala Kurun tersebut.  Kemudian membatalkan putusan Pengadilan Negeri Palangka Raya nomor 406/ Pid.SUS/PN.PL.R. tanggal 07 Februari 2012.


“Terdakwa Ibrahim Lisaholit bin Husein Lisaholit terbukti secara syah meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana ‘karena kealapaanya mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup’ dengan menjatuhkan hukuman satu penjara dan denda Rp200 juta,” ujar Ketua Majelis Hakim MA, sebagaimana dikutip dalam direktori putusan MA RI. putusan mahkamahagung.go.id

Minggu, 09 Juni 2013

Ancaman Pembukaan Hutan Gambut untuk Perkebunan Kelapa Sawit Berskala Besar

Oleh : Gwirman (ucuy)

Pembangunan hakekatnya merupakan upaya sadar dan terencana yang diarahkan dengan tujuan ’mulia” yakni meningkatkan kapasitas dan kualitas tatanan kehidupan sosial yang lebih baik dengan sasaran akhirnya untuk memberikan kemakmuran dan kesejahteraan bagi rakyat. Wilayah yang memiliki potensi untuk memberikan kesejahteraan tersebut meliputi segala kekayaan yang ada diperut bumi ini, yakni berupa hutan-tanah-air-beserta isinya.

Namun demikian, sadarkah kita kalau ”rayuan” kesejahteraan atas nama pembangunan itu seringkali malah jauh dari harapan? Kebijakan pembukaan kawasan hutan skala besar melalui perkebunan monokultur (sawit) boleh menjadi bukti betapa kebijakan pembangunan disektor ini telah memberikan sejumlah dampak yang tidak menguntungkan bagi masa depan lingkungan, maupun terhadap kondisi sosial dan budaya masyarakat kita yang sebagian besar mengandalkan hidup dan kehidupannya dari hasil sumber daya alam selama ini.

Atas nama pembangunan, hutan-tanah-air sebagai sumber hidup dan kehidupan diambang kehancuran. Hutan sebagai ”apotik dan supermarket” masyarakat selama ini secara pasti hilang, karena pembukaan kawasan hutan skala besar tanpa menyisakan sebatang pohon pun seperti perkebunan sawit sama artinya dengan menghilangkan fungsi hutan. Kebijakan perluasan perkebunan sawit melalui program pembangunan dalam kenyataannya lebih mengedepankan aspek keuntungan ekonomi semata, sementara aspek sosial, adat-budaya dan ekologi yang harusnya mendapatkan tempat teratas yang turut menjadi pertimbangan justru seringkali ”diabaikan”.

Akibatnya, cita-cita pembangunan itu malah kandas dan menyisakan masalah bagi warga. Bila demikian, pantaskah kebijakan dengan ”rayuan” kesejahteraan tersebut dikatakan sebagai sebuah pembangunan bila hasilnya bukan malah memberikan kemakmuran, tetapi malah merugikan masyarakat dan lingkungannya yang harusnya dilindungi oleh Negara (Pemerintah) ?

Dengan demikian, upaya menumbuhkan kesadaran rakyat dengan memahami sejumlah dampak sebagai akibat dari kebijakan perluasan perkebunan monokultur yang juga sekaligus sebagai potensi ancaman bagi kehidupan sosial dan ekologi menjadi penting. Ketika rakyat kian kritis berjuang secara sadar dan berdaulat atas sumber daya alam, maka sesungguhnya negara berhasil ”mencerdaskan” warganya. Sebaliknya, bila warganya hanya menjadi penonton dan bukan tuan serta hanya bersifat acuh (tidak peduli) terhadap kebijakan pembangunan (tidak memiliki keinginan untuk berpartisipasi) pengelolaan sumber daya alam misalnya, maka patut dipertanyakan serta dapat menjadi sebuah refleksi bahwa sesungguhnya negara (pemerintah) gagal “mencerdaskan” warganya.

Sedikitnya ada sejumlah persoalan yang MENJADI potensi ANCAMAN (Tulah) yang dihadapi terkait dengan pembukaan kawasan hutan skala besar melalui perkebunan monokultur diantaranya;

·         Tanah masyarakat diambil perusahaan,
·         Konflik terjadi di masyarakat,
·         Kriminalisasi terhadap masyarakat,
·         Budaya di masyarakat hilang,
·         Krisis pangan di kampung,
·         Hutan menjadi hilang,
·         Binatang dihutan Musnah,
·         Tumbuhan obat-obatan di hutan hilang,
·         Terjadi bencana banjir,
·         Terjadi bencana kekeringan,
·         Terjadi bencana asap,
·         Terjadi krisis air bersih,
·         Tanam tumbuh dan Tembawang masyarakat menjadi lenyap,
·         Sungai-sungai menjadi rusak,
·         Penyumbang emisi karbondioksida diatmosfir,
·         Penyumbang terjadinya pemanasan global dan perubahan iklim, dan
·         Lahan Gambut Rusak.

Komitmen Pemerintah untuk melakukan ”moratorium” dalam pengelolaan sumber daya alam khususnya hutan seiring dengan upaya mengurangi dampak dari pemanasan global yang menjadi pemicu terjadinya perubahan iklim sejatinya baik adanya. Karena dalam dalam tataran realita dilapangan akumulasi emisi akibat aktifitas manusia telah memberikan pengaruh negatif bagi sistem sosial budaya, ekologi, produktifitas hasil pertanian warga, maupun hasil tangkapan perikanan para nelayan.

Namun demikian, dengan lahirnya Permentan Nomor 14/Permentan/PL.110/2009 yang memberikan ruang untuk pemanfaatan Lahan Gambut untuk dapat di konversi Budidaya Perkebunan Sawit. Padahal sebagaimana diketahui kawasan Gambut merupakan areal penting yang perlu diselamatkan. Ketika hutan tropis maupun kawasan gambut sebagai kawasan penyangga, pengatur hidrologi air, penyerap emisi (karbondioksida/CO2) digunduli oleh kebijakan investasi perkebunan sawit, maka jelas berkontribusi menambah meningkatnya suhu bumi (emisi).

Ekosistem lahan gambut sangat penting bagi lingkungan hidup karena merupakan penyangga hidrologi (penyimpan air, pencegah banjir) dan sebagai penyimpan cadangan karbon yang sangat besar. Gambut merupakan ekosistem penting yang dapat memberikan sumbangan terhadap kestabilan iklim global. Sebagai kawasan dengan tipe lahan basah, salah satu hal penting dari lahan gambut dapat mengatur keseimbangan pelepasan air, juga sebagai kawasan sumber flora dan fauna (sumber daya alam hayati).


Lahirnya Peraturan Menteri Pertanian Nomor 14/Permentan/PL.110/2/2009 ini jelas menjadi ancaman bagi ekosistem gambut dan masa depan bumi. Aspek legal mengenai konservasi lahan gambut juga telah diatur dalam Keppres Nomor 32 tahun 1990 tentang Kawasan Lindung. Lahan gambut Kalbar seluas 1,72 juta Ha perlu diselamatkan dari kebijakan yang hanya mengutamakan keuntungan ekonomi semata, karena kita tidak punya cadangan bumi baru. Peran serta semua pihak menjadi urgen untuk melakukan antisipasi bersama dengan menekan laju dampak perubahan iklim yang telah mempengaruhi iklim kehidupan ekonomi, sosial, budaya, adat istiadat masyarakat.

Kamis, 30 Mei 2013

Perusahaan Abaikan Peringatan

SAMPIT, Peringatan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kotawaringin Timur (Kotim) terhadap perusahaan besar swasta (PBS) kelapa sawit PT Tunas Agro Sumber Kencana (TASK) untuk membuka aliran sungai yang ditutup perusahaan di Desa Patai, Kecamatan Cempaga, diabaikan. Sungai yang ditutup itu belum juga dibuka oleh pihak perusahaan, padahal, kecaman dari beberapa pihak sudah cukup keras.

“Perusahaan belum mengembalikan kondisi sungai seperti yang kami minta beberap waktu lalu di DPRD Kotim,” kata perwakilan masyarakat Desa Patai, Agus, kemarin.

Agus menegaskan, pihaknya meminta kejelasan terkait masalah itu. Dia juga mempertanyakan sikap pemerintah daerah terkait tindakan yang akan diambil dan langkah kebijakan untuk menyikapi masalah yang dihadapi warga setempat. “Jika pemerintah sudah melayangkan surat untuk menindak lanjuti hasil RPD, lantas pihak perusahaan juga tidak mengubris surat itu, ada apa?,” katanya.

Dia menilai perusahaan tidak patuh terhadap aturan dan perundang-udangan yang berlaku. “Kami masyarakat sangat dirugikan. Saat ini sungai tersebut tidak lagi bisa kami gunakan untuk jalur sungai sebagai alternatif transportasi keseharian warga desa kami,” jelasnya.

Sebelumnya, Asisten II Pemkab Kotim Halikinor mengaku sudah menindaklanjuti hasil RDP beberapa waktu lalu. “Saat ini kami sudah melayangkan surat peringatan pertama kepada pihak perusahaan untuk menormalisasi kondisi sungai itu seperti semula,” katanya.

Halikin mengatakan, seperti yang dikeluhkan oleh sejumlah masyarakat ke DPRD Kotim melalui RDP, Kondisi sungai tersebut diduga kuat terjadi pencemaran yang disinyalir ada kesengajaan pihak perusahaan dalam melakukan dan memindahkan aliran sungai tersebut ketempat yang tidak seharusnya.

“Dalam peringatan pertama yang kami layangkan kepada pihak perusahaan tersebut, tidak akan hanya berhenti disitu saja. Artinya, apabila tidak digubris, kami akan melayangkan peringatan kedua dan sanksi seterusnya. Yang jelas, kita pemerintah daerah memberikan jalan serta solusi dimana investor yang datang ke Kotim bisa nyaman begitu pula dengan masyarakatnya. Investor bisa datang ke Kotim, asalkan mengikuti aturan yang ada didaerah ini,” tegasnya.

Pihak PT TASK sebelumnya telah berjanji kepada DPRD Kotim untuk secepatnya bisa mengembalikan aliran sungai yang ditutup itu berdasarkan hasil rekomendasi. Namun, ternyata janji itu belum direalisasikan, terbukti masih adanya protes dari warga setempat.